Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Magis Dalam Darah
Dari dalam rumah, Surya mendengar suara langkah dan panggilan Arya yang diikuti oleh suara wanita tua yang membuatnya merasa lega. Ketika sosok Mbah Rejo memasuki rumah, perasaan cemas Surya seketika mereda.
"Alhamdulillah, Mbah Rejo pun rawuh," bisiknya penuh syukur.
Mbah Rejo hanya mengangguk dengan tatapan yang penuh ketenangan.
"Ndi bojomu?" tanyanya sambil melirik ke arah kamar.
Surya segera menuntun sang dukun ke tempat Selviawati, yang akrab dipanggil Selvi, terbaring lemah menahan sakit. Senyumnya hilang, berganti dengan tatapan tajam penuh pengamatan.
Tanpa banyak bicara, Mbah Rejo mulai menyiapkan segala peralatan yang dibawanya, dari pisau bedah kecil hingga kain steril, siap menghadapi kemungkinan apa pun. Meski dikenal sebagai dukun bayi, alat-alat medis Mbah Rejo cukup lengkap untuk seorang praktisi tradisional.
Selvi, yang tengah berjuang dengan kontraksi hebat, meringis kesakitan, tubuhnya menggeliat ketika Mbah Rejo mengumumkan, "Ini sudah pembukaan tujuh, Nduk. Sedikit lagi."
Selvi menjerit ketika kontraksi semakin intens. Dengan cermat, Mbah Rejo mengambil pisau bedah untuk membuat sedikit sayatan demi membantu ketuban keluar sedikit demi sedikit.
"Tarik napas, Nduk! Lepaskan dan tarik, lalu lepaskan lagi," arahannya bergema lembut, mencoba memberi ketenangan.
Selvi menggeliat dan menggenggam kain kuat-kuat, "Mbah... mules, Mbah!"
"Tarik lagi, lepas. Pelan-pelan ya, Nduk," Mbah Rejo menuntunnya dengan sabar. Surya, yang setia di samping, tampak ikut mengatur napas, seolah-olah beban itu juga menjadi miliknya.
Mbah Rejo memperhatikan, lalu menyindir dengan senyum tipis, "Le, kenapa kamu malah ikut-ikutan ambil napas?" Surya hanya tersipu, sementara keringat bercucuran deras di wajahnya, menyaksikan penderitaan wanita yang dicintainya.
Selvi meringis lagi, merasa semakin tak nyaman, "Saya mau ke belakang, Mbah! Saya gak kuat kalau ngangkang begini. Saya lebih baik jongkok!"
"Tidak, kalau mau BAB, keluarin di sini saja," jawab Mbah Rejo tegas, tahu itu hanya efek dari kontraksi yang semakin intens. Selvi menggigit bibir, menahan desakan yang semakin kuat.
Selvi terus berjuang, kedua tangannya diletakkan di belakang kepala sesuai arahan Mbah Rejo, dan sesekali ia mengangkat kepala, menarik napas, dan menghembuskannya perlahan.
Malam semakin larut, gerhana bulan hampir sempurna, dan di dalam rumah yang sederhana itu, sebuah keajaiban tengah terjadi di tengah perjuangan seorang ibu dan cinta seorang suami yang tak lekang oleh waktu.
Malam semakin larut, dan suasana tegang terasa menyelimuti rumah Surya. Tangan Mbah Rejo bergerak cepat, seraya melirik bulan yang semakin meredup menuju gerhana penuh.
"Tolong ambilkan handuk atau sapu yang bersih," perintahnya dengan nada genting. Rembesan air ketuban tak kunjung muncul, membuat Mbah Rejo was-was. Ia berbisik pada dirinya sendiri.
“Sebentar lagi gerhana bulan akan datang, bayi ini harus segera lahir.” Waktu seakan berpacu dengan setiap detik yang berlalu.
Surya, dengan wajah penuh kecemasan, segera meminta Laila, istri Arya, untuk mencari kain yang bersih. Tak lama kemudian, Laila bergegas kembali dengan sapu tangan yang ia bawa dari kamar Selvi dan menyerahkannya kepada Mbah Rejo.
“Taruh di mulut istrimu! Agar ia tidak menggigit lidahnya sendiri!” instruksinya tajam namun penuh perhatian, dan Surya hanya bisa mengangguk, menuruti setiap perintah.
Selvi mengejan dengan kuat, membuat Surya makin gelisah. Ia mulai merasa lelah, tetapi rasa cinta dan khawatir membuatnya bertahan. Melihat itu, Mbah Rejo menyuruhnya beristirahat sementara Laila yang bergantian menjaga Selvi. Namun, kontraksi hebat kembali terjadi, memaksa Selvi untuk mengejan dengan kekuatan yang tersisa.
Saat itulah, Mbah Rejo mengambil keputusan yang sangat mendesak. Ia melakukan tindakan untuk memberikan ruang bagi Selvi. Meskipun darah segar mengalir, air ketuban tetap tidak keluar.
Tanpa ragu, Mbah Rejo memanggil Arya. “Arya! Ambil peralatan dapur, panci, wajan, atau apa saja!” teriaknya, suaranya menggema di seluruh rumah.
“Njih, Mbah!” jawab Arya, bingung namun segera bergerak.
“Buat apa coba, Mbah minta panci wajan, kayak nggak masuk akal!” bisik Surya.
“Dituruti saja, Kang, demi keselamatan Mbak Selvi. Aku juga gak ngerti buat apa,” jawab Arya, setengah yakin.
Teriakan Mbah Rejo kembali terdengar. “Cepat, Arya! Jangan dicuci, bawa saja meski kotor!”
Di dalam rumah sederhana yang sebagian berdinding papan kayu dan anyaman bambu, teriakan dan perintah bersahutan. Kecemasan tergantung di udara, bersamaan dengan aroma tanah yang diterpa angin kencang gerhana bulan.
“Nduk, mengejan yang kuat, ya,” ujar Mbah Rejo, memberikan semangat pada Selvi. Keringat nenek tua itu bercucuran, diusapnya sesekali dengan selendang yang melingkar di leher.
“Mbah, ini alat dapurnya,” Arya datang dengan membawa panci tua dan wajan kecil.
“Arya! Tabuh panci di depan pintu!” titah Mbah Rejo lagi.
Arya, dengan wajah bingung, mulai mengetukkan panci dengan sebatang kayu, menciptakan denting suara yang bergema di malam sunyi.
“Aargh!” teriakan Selvi terdengar semakin keras, tubuhnya bergetar hebat di tengah proses persalinan yang menguras tenaga.
Mbah Rejo mengambil gunting lagi dan menekan sedikit perineum Selvi, berharap kali ini air ketuban akan keluar. Darah semakin banyak mengucur, namun ia tetap fokus.
“Tabuh terus pancinya, Arya! Jangan berhenti!” titah Mbah Rejo sambil terus mengatur napas dan menenangkan Selvi.
“Njih, Mbah!” Arya menabuh dengan irama yang semakin kuat, suara itu melawan sunyi malam yang mencekam.
“Mas, hawa malam ini bikin merinding!” ucap Arya sambil memandang ke arah Surya, yang juga merasakan keanehan.
“Ya, gerhana bulan memang sering bawa hawa begini,” sahut Surya, matanya tak lepas dari Selvi yang tengah berjuang.
Di luar, kampung kecil mereka hanya dihuni oleh lima belas keluarga yang bekerja di Perhutani. Di tengah keheningan desa, di bawah langit gerhana bulan yang mengintimidasi, satu keluarga sedang berjuang, ditemani suara tabuhan panci, doa yang terucap lirih, dan cinta yang tak tergoyahkan.
Sekali lagi, Mbah Rejo meminta Selvi untuk mengejan dengan sekuat tenaga. Namun, wanita berhidung mancung itu tampak kehabisan tenaga, tubuhnya lemas, dan wajahnya pucat.
"Haus, Mas!" keluhnya lirih, suara itu nyaris tenggelam di antara gemuruh dalam dirinya. Mendengar keluhannya, Laila segera menyodorkan air, memberi dukungan penuh pada Selvi, membisikkan semangat untuknya agar kuat bertahan.
Dengan sisa tenaga yang ada, Selvi kembali mengejan. Tangannya menggenggam erat sprei, berusaha menahan rasa sakit yang semakin memuncak. Mbah Rejo berdiri di sampingnya, mengelus perut Selvi dengan tangan penuh doa dan harap, sembari berkomat-kamit melafalkan mantra kuno:
Marmati Kakang Kawah Adi Ari-Ari Getih puser jabang bayine bin Surya Khatulistiwa. Ya, Allah ya Gusti, paringono dumateng kulo sedaya kebebasan saking musibah dunyo kelawan akhirat. Paringono kulo petunjuk ingkang leres kersanipun kulo kalian sederek kulo, Selvi lan larenipun ugi Panjenengan paringi pitulungan. Panjenengan paringi welas asih kekalihipun ugi saged gesang. Sedulur papat kalimo pancer ingkang katon lan ingkang mboten keton, ingkang kerumat lan mboten kerumat. Kalian ingkang medal saking margaino kalian ingkang mboten. Kadang Ingsun ingkang medal sedinten sedoyo. Bopo wonten ing ngajengan lan ibu wonten mburi, paringono kelancaran.
"Nduk, kamu harus kuat, ya," suara Mbah Rejo kembali terdengar di sela-sela mantra yang panjang, penuh kekhusyukan.
Selvi hanya mengangguk, bibirnya mengatup erat, berjuang mengatasi rasa sakit.
"Sekali lagi, Nduk. Yang kuat!" aba-aba terakhir itu terdengar seperti hentakan yang menyulut nyala tekadnya. Ia mengejan dengan sekuat tenaga, dan di saat bersamaan, bayangan gerhana bulan mulai menutupi langit malam.
Saat itulah, bayi yang dikandung Selvi akhirnya lahir, namun terbungkus kantung plasenta utuh. Mbah Rejo menghela napas panjang, pandangannya penuh makna.
“Surya! Kamu di mana?” panggilnya dengan suara yang menggema, memecah keheningan. Surya berlari dari dapur dengan wajah panik, melihat sang bayi yang masih terbungkus dengan takjub sekaligus kaget.
“Gigit pembungkus plasenta ini dengan gigimu, Surya!” perintah Mbah Rejo sambil menyerahkan bayi itu kepada ayahnya.
Tangan Surya gemetar saat mencoba menggigit kantung plasenta, tetapi aroma anyir dan pemandangan darah membuatnya mual. Berkali-kali Surya mencoba, tapi selalu gagal, mulutnya bergetar, dan akhirnya ia menyerah, terpaksa meminta bantuan.
Mbah Rejo, memahami keraguan dan ketakutan Surya, menyarankan pilihan lain.
“Kalau tidak bisa kamu lakukan, aku yang akan membuka selaput ini. Tapi kamu harus tahu, ada risikonya.” Dengan anggukan penuh kepasrahan, Surya memberi izin.
Mbah Rejo menempatkan bayi mungil itu di atas ranjang dan dengan hati-hati menggunakan pisau bedah untuk menyobek plasenta. Ketika selaput terbuka, air ketuban akhirnya keluar, membasahi lantai bambu. Suara tangis bayi itu memenuhi ruangan, getarannya menyentuh hati semua yang hadir.
“Namanya Kusuma Magnolya,” kata Mbah Rejo sambil menggendong bayi yang masih penuh darah itu, suara doa lirih mengalir dari bibirnya.
Ia memotong tali pusar bayi dengan cekatan, lalu menidurkannya di atas Selvi, memberikan waktu bagi ibu dan anak untuk merasakan ikatan pertama mereka.
Tak lama kemudian, Mbah Rejo mengangkat bayi itu lagi untuk memandikannya. Sementara itu, Surya mengumandangkan adzan di telinga Kusuma, suaranya bergetar menahan haru. Suara tangis bayi kecil itu terasa seperti nyanyian kehidupan, memenuhi ruang sempit dalam rumah kayu mereka yang sederhana.
Selvi terbaring, tubuhnya lelah namun hatinya penuh syukur. Malam itu, pengalaman berat yang dilaluinya seakan terbayar lunas ketika mendengar tangis buah hatinya yang pertama.
Rasa takut dan sakit bercampur menjadi satu, namun kini ia merasa hangat, ditemani bayinya yang telah lahir di bawah bulan gerhana, membawa kisahnya sendiri.
"Selvi, jangan tidur dulu. Tunggu sampai kamu bisa kentut, baru nanti boleh makan dan beristirahat," Mbah Rejo berpesan, mengingatkan Selvi dengan lembut.
Selvi mengangguk pelan, menahan kantuk sambil sesekali mengelus pipi bayi mungil di pelukannya.
Setelah semuanya selesai, Mbah Rejo mendekati Surya, berbicara dengan nada penuh arti. "Ingat baik-baik, Surya. Jangan biarkan anakmu terluka oleh benda tajam seperti gunting atau pisau, karena kekebalan anakmu akan berkurang jika ia terluka oleh benda-benda itu," ujarnya.
Surya mendengarkan dengan seksama, menyadari bahwa nasib putrinya bukan hanya sekadar kisah lahirnya.
Malam itu, di desa terpencil yang hanya dihuni oleh lima belas keluarga, mereka merasakan kehadiran bayi istimewa yang lahir di bawah lindungan sedulur papat kalimo pancer. Di desa Sindarasa, kisah tentang bayi yang lahir terbungkus plasenta dalam gerhana bulan akan menjadi legenda, menyatu dengan malam sunyi, doa yang terlantun, dan suara tangis yang kelak membawa harapan.