Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8
"Adira, ini aku, " kata Ricardo sambil menunggu beberapa detik, membiarkan kata-katanya meresap masuk ke dalam ruangan.
...FLASHBACK ON...
Adira duduk gelisah di depan jendela kaca dalam ruangan Ricardo, dadanya sesak oleh ketakutan dan kecemasan yang tak kunjung reda karena ditinggal sendirian disana.
Suara langkah kaki di luar, desiran angin yang melewati jendela, semuanya membuatnya cemas.
"Aku aman disini?," ucap Adira mengingat perkataan Ricardo sesaat sebelum ia pergi tadi.
"Yang benar saja, " Adira mendengus kesal.
"Mereka yang berjaga disini kan yang telah menculik ku, Ricardo gak tau aja bagaimana orang-orang nya itu menatap ku sebelum dia datang, " Adira menyenderkan kepalanya ke kaca jendela.
"Kalau saja Ricardo tak datang, entah bagaimana nasib ku sekarang, " ucap Adira dengan nada lemas.
Adira saat ini rasa nya ingin sekali pulang, tapi perkataan Ricardo saat sarapan tadi membuat nya cemas.
"Apa aku bisa pulang?Aku takut berada disini," gumam nya pelan
Tiba-tiba Adira tersentak, ia mendengar suara langkah kaki mendekat, dan samar-samar terdengar pembicaraan dua orang pria dengan bahasa spanyol.
"Gimana kalau mereka tiba-tiba masuk?,"
Kecemasan Adira pun berubah menjadi ketakutan, Adira berpikir untuk mengganjal pintu masuk itu dengan sesuatu, agar tak ada yang bisa masuk.
Ketika Adira melihat sekeliling ruangan, Adira sempat menyerah karena tak menemukan sesuatu yang bisa dijadikan alat untuk mengganjal pintu. Namun, saat dia melihat meja kerja Ricardo yang cukup besar itu Adira pun berdiri.
"Berat gak ya meja itu?," kata Adira dengan semangat nya melangkah mendekati meja.
Adira mencoba menggeser meja itu sedikit,
"Agak berat sih, tapi bisa," ucap nya semangat mengumpulkan tenaga nya.
Adira pun mendorong meja kerja Ricardo yang berat itu ke depan pintu, untuk menciptakan sebuah penghalang antara dirinya dan siapa pun yang mungkin mencoba masuk ke dalam ruangan.
"Maaf Ricardo aku membuat kacau ruangan mu," ucap Adira sambil terus menggeser meja itu dengan sekuat tenaga nya.
Adira benar-benar merasa bahwa di luar ruangan itu sangat berbahaya tanpa kehadiran Ricardo di dekatnya.
Setelah meja besar itu tergeser di depan pintu, Adira pun terduduk di atas lantai dengan napas tersengal. Tenaga nya yang sudah banyak habis karna menggeser meja pun membuat Adira lelah dan tanpa sadar ia tertidur.
...FLASHBACK OFF...
Tiga ketukan lembut di pintu terdengar, Adira pun terbangun. Suara Ricardo yang terdengar hangat dan tenang menyapa nya dari balik pintu,
"Adira..ini aku."
"Oh! Dia kembali," ucap Adira yang tanpa ia sadari senyuman terukir di wajah nya, suara Ricardo begitu familiar dan entah bagaimana memberinya sedikit ketenangan.
Adira pun bangkit dan mulai mendorong meja kerja itu kesamping pintu. Setelah berhasil, Adira berdiri terpaku, menatap pintu yang kini terbuka sedikit. Adira sebenar nya masih merasa takut, tapi juga lega karena Ricardo kembali. Setidak nya, tatapan Ricardo padanya tak membuat nya merasa terancam seperti tatapan orang-orang Ricardo yang telah menculiknya.
Ricardo pun membuka pintu perlahan, dan sosoknya langsung terlihat oleh Adira yang masih berdiri di dekat meja.
"Masuklah, " kata Ricardo sambil melangkah masuk, diikuti oleh Heriberto yang menjaga jarak di belakangnya.
Ricardo berdiri di dekat meja yang menjadi penghalang pintu, mengamati kondisi ruangan nya yang berbeda dan juga wajah Adira.
Ricardo, mengambil beberapa file dari atas meja kerjanya dan menyerahkan file-file tersebut kepada Heriberto,
"Kau urus ini, " kata Ricardo dengan nada dingin.
"Baik, ketua." jawab Heriberto sambil mengambil file tersebut.
"Kau bisa pergi sekarang," ucap Ricardo lagi pada Heriberto.
Heriberto pun mengangguk permisi dan beranjak pergi, meninggalkan Ricardo dan Adira berdua di dalam ruangan.
Saat pintu ruangannya tertutup, Ricardo menatap Adira dan ia pun melangkah mendekat, wajahnya serius namun lembut. Dengan gerakan tenang, Ricardo duduk di tepi meja, posisinya kini membuat mereka saling berhadapan.
Jika mereka berdiri, Ricardo terlihat lebih tinggi dan lebih besar, perbedaan tinggi di antara mereka sangat mencolok. Ricardo yang mencapai sekitar 195 cm, tampak menjulang di atas Adira yang hanya sekitar 165 cm.
Namun saat ini, duduk di atas meja membuat tinggi mereka setara sedikit, memberikan kemudahan untuk Adira menatap Ricardo tanpa mendongak kan wajah nya.
Tatapan Ricardo dalam dan penuh perhatian, seolah mencoba menembus tembok ketakutan nya Adira.
"Kau takut sendirian disini?, " ucap Ricardo sambil mengamati Adira.
Adira hanya mengangguk pelan.
"Walaupun ada yang jaga di luar?," ucap Ricardo, mata nya kini menatap Adira dengan hangat, seperti ingin mengungkapkan kerinduan yang telah lama ia pendam.
Ricardo, merasakan kerinduan yang aneh, sesuatu yang tidak biasa baginya. Dalam hidupnya yang dikelilingi oleh kekerasan dan ancaman, Adira hadir sebagai cahaya yang menyinari kegelapan di hidup dan hati nya.
Ricardo seperti mencoba menyampaikan semua perasaan nya itu tanpa kata, berharap Adira dapat merasakannya juga.
Ricardo melirik pipi kanan Adira, melihat betapa lembut dan bersihnya kulitnya, meskipun ada sedikit keringat yang muncul di dagu akibat ketegangan yang dialaminya.
Dengan hati-hati, ia mengangkat tangan kiri, mendekatkan telunjuknya ke pipi kanan Adira. Perlahan, dia menyentuh wajah Adira, gerakannya lembut dan penuh perhatian.
"Kau cantik, sungguh." ucap Ricardo dalam hati.
Saat telunjuknya menyentuh pipi, Ricardo menggerakkan ibu jarinya untuk menghapus keringat yang mengalir di dagu Adira.
"Kau tak usah takut, " kata Ricardo dengan tatapan lembut, seolah ingin menenangkan Adira.
"Aku tak kan membiarkan mu disakiti seujung jari pun," sambung Ricardo.
degh!
Adira terkejut mendengar kata-kata itu, perkataan itu tak asing baginya. Adira pun jadi merasa seakan semua beban di pundaknya menjadi sedikit terangkat.
Ricardo kembali memandangi mata Adira.
Bagi Ricardo, mata Adira adalah bagian favoritnya. Sebuah jendela ke dalam jiwa yang penuh ketulusan dan kepedulian.
Kini Ricardo menatap bulir keringat yang ada di batang hidung Adira dan dengan lembut Ricardo menghapus keringat itu. Pergerakannya halus dan penuh perhatian.
Adira yang sedari tadi hanya menatap mata biru Ricardo, sebenarnya sangat ingin bertanya sesuatu. Dan saat Adira akhirnya membuka mulutnya untuk berbicara, mata Ricardo langsung terfokus padanya,
"Ricardo... " tanya Adira lembut.
"Ya..? " balas Ricardo lebih lembut lagi.
"Apa kita pernah ketemu sebelumnya?" tanya Adira, suaranya lirih namun penuh rasa ingin tahu.
Pertanyaan itu lantas menggantung di udara dan Ricardo merasakan jantungnya berdetak cepat. Tiba-tiba kenangan lima tahun lalu muncul dalam pikirannya, momen ketika mereka bertemu saat Adira berusaha menolong dirinya yang sedang terluka.
Ricardo rasanya ingin sekali menjelaskan, tapi kata-kata terasa sulit baginya untuk diucapkan.
....
(ehemmm/Shhh//Shy/)