Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ALBUM LAMA
Sehari sebelum pernikahan Nadine, Annisa dan Damian tiba di rumah orang tua Annisa. Mata Annisa berbinar saat melihat rumah tempatnya tumbuh besar, penuh kenangan hangat bersama keluarga. Damian tetap tenang, tetapi jelas terpancar kehangatan di balik wajahnya yang biasanya dingin. Ada sesuatu tentang tempat ini yang membuatnya sedikit melunak—rumah dari Arum dan keluarga yang ia anggap berharga.
Di pintu depan, Bunda Annisa menyambut mereka dengan pelukan hangat. “Annisa, Damian! Alhamdulillah kalian datang,” katanya sambil menepuk punggung Annisa penuh kasih.
Annisa tertawa kecil. “Bunda, Ayah mana?”
“Di belakang, sedang bersih-bersih buat acara besok. Ah, Bunda jadi tidak sabar ketemu sama kalian.”
Damian mengangguk sopan, senyum kecil tersungging di wajahnya saat ia menyapa Bunda. Meski dalam hati, ia juga merasakan kerinduan yang sama terhadap orang tua Arum. Mereka bertiga melangkah masuk, menuju ruang keluarga.
Ayah Annisa muncul dari arah dapur, wajahnya terangkat dengan senyum cerah. “Annisa, Nak Damian, akhirnya pulang juga,” katanya sambil menepuk bahu Damian ramah. Damian membalasnya dengan anggukan hangat, merasa ada kedekatan emosional di setiap gerak-gerik orang tua Annisa.
Setelah melewati makan malam yang penuh kehangatan dan canda, malam pun tiba. Annisa duduk bersama Bunda di ruang keluarga, berbincang santai tentang persiapan pernikahan Nadine.
“Damian, kau sudah mulai betah di sini, ya?” tanya Ayah tiba-tiba, menatap Damian yang duduk santai di samping mereka.
Damian mengangguk, tersenyum tipis. “Saya selalu merasa nyaman di sini, Yah.”
Annisa melirik ke arah Damian dengan mata lembut, tersentuh melihat suaminya akhirnya mau membuka diri. Ia menyandarkan diri sedikit ke kursi, merasa damai di antara orang-orang yang paling ia cintai.
Saat malam semakin larut, Bunda membawa keluar sebuah album foto usang dari lemari ruang tamu. Ia duduk di sebelah Annisa, membuka halaman demi halaman penuh kenangan. Damian melirik sekilas, tidak bisa menahan rasa penasaran, sementara Ayah duduk di sofa sebelah mereka, tersenyum hangat melihat nostalgia yang kembali dihidupkan.
“Lihat, ini waktu kalian baru saja masuk SD,” Bunda menunjukkan foto dua gadis kecil yang berdiri di depan gerbang sekolah. Arum, yang lebih tinggi, merangkul Annisa sambil tersenyum lebar. Annisa kecil tampak malu-malu, bersembunyi setengah di belakang Arum.
Annisa tertawa pelan. “Aku ingat waktu itu, Mbak Arum selalu membawakan bekal untukku juga. Kadang sampai rela nggak makan bekal sendiri biar aku makan lebih banyak.”
Bunda mengusap foto itu dengan lembut, seolah bisa menyentuh kembali masa-masa itu. “Arum memang sangat sayang padamu, Nak.”
Damian menatap foto itu lebih dalam, merasa ada getaran emosi yang sulit dijelaskan. “Arum selalu punya hati besar,” katanya lirih, mengenang istrinya yang telah tiada.
Ayah mengangguk pelan. “Dia selalu menjaga Annisa, bahkan sejak kecil. Kalau ada yang menggoda Annisa di sekolah, Arum yang pertama kali maju membelanya.”
Annisa tertawa lagi, mengingat tingkah laku kakaknya yang begitu melindungi. “Bahkan sampai SMA, Mbak Arum tetap seperti itu. Dia selalu bilang, ‘Kamu nggak perlu takut selama ada aku.’”
Damian tersenyum tipis, menyembunyikan perasaannya yang sedikit campur aduk. Dalam hati, ia mengakui bahwa Arum memang sosok yang sangat berarti bagi semua orang di ruangan ini, termasuk dirinya. Namun, melihat kedekatan Annisa dengan kenangan-kenangan itu membuatnya sedikit tersentuh.
“Lihat, ini foto waktu kalian liburan ke pantai,” Bunda menunjukkan foto Annisa dan Arum bermain di tepi pantai, wajah mereka dipenuhi tawa lepas. Rambut mereka berantakan karena angin, tapi keduanya tampak begitu bahagia.
“Waktu itu, Mbak Arum langsung lari ke air, aku sampai takut-takut dulu,” kenang Annisa, tersenyum hangat.
Bunda menepuk tangan Annisa pelan. “Kalian memang seperti dua sisi mata uang—saling melengkapi.”
Ayah menghela napas dalam, ikut terbawa suasana. “Semoga saja Arum bahagia di sana, melihat kita semua mengenangnya dengan baik.”
Damian menatap lurus ke depan, merasa ada hal yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Annisa menoleh padanya sejenak, lalu menggenggam tangannya dengan hangat, memberi Damian dukungan yang tersirat.
Malam itu, kenangan bersama Arum terasa begitu hidup, membawa mereka pada kehangatan yang lama tak mereka rasakan. Damian yang biasanya tertutup pun perlahan merasakan ikatan yang kuat di keluarga ini—ikatan yang kini juga menyelubungi Annisa.
•••
Pagi itu, Annisa terbangun lebih awal dengan semangat yang terpancar. Ia langsung bergegas ke dapur, membantu Bunda mempersiapkan segala hal untuk pernikahan Nadine. Meski wajahnya masih terlihat mengantuk, Annisa tak bisa menahan senyum setiap kali memikirkan sepupunya yang akan menikah hari ini. Pagi yang tenang diiringi aroma kopi dan suara riuh persiapan menjadi awal yang sempurna untuk hari bahagia tersebut.
“Bunda, butuh bantuan apa lagi? Ini aku sudah bawa beberapa hidangan ke rumah Nadine,” ucap Annisa sambil menata beberapa kotak berisi kue dan hidangan lainnya.
Bunda tersenyum sambil mengusap punggung Annisa. “Terima kasih, Nak. Nadine pasti senang sekali kamu ikut sibuk di sini.”
Mereka berdua kemudian berjalan ke rumah Nadine, yang hanya lima langkah dari rumah orang tua Annisa. Rumah Nadine tampak hidup dengan dekorasi pernikahan dan beberapa orang keluarga yang sudah mulai berdatangan untuk membantu.
Nadine, yang masih mengenakan baju santai, menyambut Annisa dengan pelukan hangat. “Mbak Annisa! Aku deg-degan,” katanya dengan senyum lebar.
Annisa tertawa kecil, menepuk punggung Nadine. “Aduh, tenang saja. Semua sudah siap kok. Kamu tinggal menikmati saja hari ini,” ujar Annisa sambil menatap Nadine dengan penuh kasih. “Lagian, aku di sini buat bantu apa pun yang kamu butuhkan.”
Nadine mengangguk. “Terima kasih banyak, Mbak. Kalian semua luar biasa.”
Bunda pun ikut tersenyum melihat kebersamaan mereka. “Kalian berdua memang sudah seperti kakak adik. Semoga bahagia selalu, Nak Nadine.”
Dengan begitu, pagi itu dipenuhi canda, tawa, dan kenangan manis di antara Annisa, Nadine, dan keluarga lainnya. Persiapan berjalan dengan lancar, membawa perasaan hangat dan damai di hari yang penuh cinta ini.
Saat matahari mulai meninggi, rumah Nadine dipenuhi dengan sanak saudara dan teman-teman dekat yang datang untuk menyaksikan momen sakral pernikahannya. Annisa dan beberapa anggota keluarga lainnya sibuk mengatur tamu, memastikan setiap orang duduk di tempat yang sudah disediakan. Suasana terasa khidmat, dihiasi dengan senyum dan harapan dari semua yang hadir.
Nadine duduk di ruang tengah, mengenakan kebaya putih yang anggun dan riasan yang sederhana namun membuatnya terlihat begitu memesona. Ia tampak gugup, mengatupkan kedua tangannya erat-erat di pangkuan, sementara pandangannya sesekali melirik ke pintu tempat calon suaminya akan masuk.
Annisa mendekat, menyentuh bahu Nadine dengan lembut. “Nadine, kamu cantik sekali hari ini. Tenang saja, semua sudah siap. Ini akan jadi hari yang indah untukmu.”
Nadine menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Terima kasih, Mbak Nisa. Aku benar-benar nggak menyangka hari ini akhirnya datang.”
Tak lama, sang calon suami, Ryan, masuk ke ruangan. Ia tampak gagah dengan baju adat yang dipilihnya, wajahnya sedikit tegang namun penuh keyakinan. Annisa melihat senyum lembut yang tak bisa ia sembunyikan saat matanya bertemu dengan pandangan Nadine.
Acara akad nikah pun dimulai. Para saksi, penghulu, dan orang tua memimpin jalannya prosesi dengan penuh hikmat. Ayah Nadine, dengan sedikit bergetar, memulai ijab kabul, menyerahkan putrinya kepada Ryan dalam kalimat-kalimat penuh makna.
“Ryan bin Fadly Faisal Anwar, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak kandung saya, Nadine binti Adwiko Ardianto, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Suasana hening, seluruh hadirin menahan napas. Ryan, dengan suara tegas, menjawab, “Saya terima nikahnya Nadine binti Adwiko Ardianto dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”
Sekejap setelahnya, semua orang bersorak dan mengucapkan syukur. Air mata haru mulai terlihat di beberapa wajah, termasuk Annisa yang meneteskan air mata bahagia untuk sepupunya.
Bunda Nadine mendekap putrinya dengan perasaan campur aduk antara bahagia dan haru. “Nak, mulai sekarang hidupmu akan bersama orang lain. Semoga bahagia dan penuh berkah.”
Annisa ikut memeluk Nadine, membisikkan doa di telinganya. “Selamat, Nadine. Semoga rumah tanggamu selalu diberi kebahagiaan. Kamu layak mendapatkannya.”
Dengan akad yang selesai, suasana menjadi lebih rileks. Nadine dan Ryan saling tersenyum, lega dan bahagia menyadari bahwa mereka kini sah sebagai suami istri. Para tamu satu per satu memberikan ucapan selamat, menambah kebahagiaan di hari yang tak akan terlupakan ini.