Setelah Danton Aldian patah hati karena cinta masa kecilnya yang tidak tergapai, dia berusaha membuka hati kepada gadis yang akan dijodohkan dengannya.
Halika gadis yang patah hati karena dengan tiba-tiba diputuskan kekasihnya yang sudah membina hubungan selama dua tahun. Harus mau ketika kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan seorang pria abdi negara yang justru sama sekali bukan tipenya.
"Aku tidak mau dijodohkan dengan lelaki abdi negara. Aku lebih baik menikah dengan seorang pengusaha yang penghasilannya besar."
Halika menolak keras perjodohan itu, karena ia pada dasarnya tidak menyukai abdi negara, terlebih orang itu tetangga di komplek perumahan dia tinggal.
Apakah Danton Aldian bisa meluluhkan hati Halika, atau justru sebaliknya dan menyerah? Temukan jawabannya hanya di "Pelabuhan Cinta (Paksa) Sang Letnan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Malam Horor
Malam itu, hujan tiba-tiba mengguyur kota kecil Lembang. Padahal siang tadi panas mendera. Pantas saja sore tadi Haliza merasa kegerahan tidak seperti biasanya, rupanya malam ini kota kecil yang terbilang dingin ini diguyur hujan.
Haliza merasa tenggorokannya haus, ia segera bangkit dan keluar dari kamar. Aldian yang sejak menunaikan sholat Isya di mushola, belum masuk lagi ke kamar. Mungkin saja ia sedang mengaji, karena malam-malam seperti biasanya, Haliza sering mendapati Aldian mengaji apalagi malam Jumat seperti ini. Aldian sengaja mengaji Yasin kadang diikuti Al-Kahfi, untuk ditujukan pada leluhurnya yang sudah meninggal.
Sambil berjalan menuju tangga, Haliza tidak henti memikirkan nilai plus di dalam diri Aldian. Diakuinya, saat pertama bertemu, Aldian memang terlihat tipe lelaki yang alim, tapi Haliza tidak percaya begitu saja dari luar. Biasanya penampilan luar justru membohongi. Kalau boleh jujur, Aldian justru sekarang terlihat galak dan bawel. Dan pada kenyataannya memang galak dan bawel, setelah beberapa bulan hidup serumah dengannya.
"Penampilan luar biasanya menipu. Kalau ngaji, siapapun bisa mengaji," cibirnya seraya berjalan menuju dapur. Namun sebuah suara dari beranda tamu, cukup membuat Haliza penasaran. Haliza memberanikan diri menghampiri beranda tamu, ingin tahu suara apakah itu.
Dengan langkah pelan, Haliza berjalan menuju ruangan itu dan berhenti di samping tembok beranda tamu. Haliza melihat Aldian sedang memainkan Hp nya dan akan menghubungi seseorang. Kecurigaan Haliza dimulai di sini, ia akan mencari tahu siapakah yang akan dihubungi Aldian malam-malam begini di beranda tamu. Pikiran Haliza justru mengarah pada hal negatif, ia beranggapan kalau Aldian akan menghubungi perempuan lain.
Panggilan itu terhubung, terdengar dari nadanya, nud, nud. Meskipun Haliza mengintip dari balik tembok, tapi nada panggil telpon itu masih terdengar oleh telinganya.
"Assalamualaikum, Ma, sehat. Bagaimana kabar papa dan Alda?"
Kalimat itu yang didengar Haliza, ternyata Aldian menghubungi mertuanya. Untuk itu, Haliza akan lebih seksama lagi mendengarkan obrolan apa yang akan dibicarakan Aldian dengan mertuanya, jangan-jangan Aldian akan menjelekan dia di hadapan mama mertuanya.
"Kabar mama, papa, serta Alda sehat walafiat." Begitu balasan Mama Hana, ibu mertua Haliza. Masih kalimat basa-basi yang terdengar sampai Haliza hampir angkat kaki, karena menurutnya pembicaraan itu standar dan tidak penting.
Namun, tiba-tiba saja Aldian menyebut nama Haliza, sejenak Haliza terkejut dan semakin merapatkan tubuhnya di tembok. Dia berpikir, pasti Aldian akan menjelekan dirinya pada mertuanya.
"***Haliza belum hamil, Ma. Doakan kami segera hamil agar rumah tangga ini semakin ramai***."
Kali ini dada Haliza terhenyak saat ia mendengar kalimat bernada penuh harap dari seorang Aldian, lelaki yang dianggapnya psikopat itu. Mau hamil bagaimana kalau selama ini dia meminum pil KB.
"Mas Aldian sangat berharap aku hamil, sementara aku saat ini sedang mengonsumsi pil KB," desahnya. Haliza menegakkan tubuh, lalu dia perlahan meninggalkan tempat itu membiarkan Aldian masih bicara dengan mamanya di telpon.
Aldian tersenyum lega sesaat setelah kepergian Haliza. Dia tahu Haliza mengintipnya dari balik tembok, terlihat dari bayang-bayang yang ia tangkap dari tembok.
"Ketahuan kamu, Haliza. Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu sedang mengintip. Malam ini kebetulan malam Jumat, hujan pula. Suasananya sangat mendukung untuk horor sekaligus romantis. Tahu rasa, akan aku kerjai dia," senyumnya penuh rencana.
"Walaupun aku masih kesal, tapi untuk malam Jumat ini, aku tidak boleh melewatkannya. Biar Haliza cepat hamil," gumamnya lagi semakin melebarkan senyum.
Secepat kilat Aldian menuju tangga lalu ke kamar, membawa sesuatu sebagai propertinya. Rasa rindunya pada Haliza, sudah menggebu-gebu, tidak peduli perempuan yang mengaku introvert itu masih belum mencintainya. Yang penting malam ini dia bisa melaksanakan sunahnya, meskipun dengan berbagai cara.
Aldian kembali ke bawah dengan cepat. Dia sudah merencanakan segala sesuatunya dengan rapi. Aldian berjalan perlahan menuju dapur yang lampunya sudah menyala. Di sana ia sudah melihat Haliza duduk di salah satu kursi meja makan, dengan air bening satu gelas dan buah anggur di atas piring.
Aldian bersembunyi di balik tembok, lalu meraih Hp nya dan menyalakan sebuah suara horor yang sudah dia download sebelumnya. Tujuannya memang untuk menakuti Haliza biar dia kapok dan tidak mau jauh-jauh darinya.
Suara hujan yang semakin deras terdengar di atap baja yang masih ikut menghujani canopy garasi mobil rumah itu, sehingga suara jatuhnya terdengar sampai dapur.
"Wusssss, serrr, serrrr, meonggggggg."
"Ahahhahhh, suara apa itu?" kejut Haliza seraya berdiri dari kursi dengan perasaan sangat takut. Jantungnya kini berdebar kencang. Baru kali ini dia mendengar suara aneh seperti itu di rumah Aldian. Tubuh Haliza mulai bergetar disertai keringat dingin, matanya memutar ke segala arah mencari sosok meong yang bersuara tadi.
"Puss, itu kamu? Pusss, meng, meng, kamu di mana? Jangan menakuti aku, kalau kamu menakuti aku, maka aku tidak akan kasih kamu makan ikan lagi di luar," ucapnya menegarkan diri dengan suara bergetar.
Haliza memang biasa mengajak kucingnya berbicara saat di Yogya dulu. Tapi kini di rumah ini, dia tidak memliki kucing, yang selalu dia kasih makan ikan seperti katanya tadi, hanyalah kucing liar dan punya tetangga.
"Meonggggg." Suara kucing mengeong kembali terdengar. Haliza masih merasa takut karena ia belum menemukan sosok kucing itu.
"Pussss, di mana kamu? Lagi pula, dari mana dia bisa masuk ke dalam rumah ini, padahal pintu dapur selalu tertutup," gumamnya heran.
"Gubrakkkkk kolentrangggg."
"Mas Aldian, Massssss. Aku takutttttt," jerit Haliza memanggil Aldian yang tadi berada di beranda tamu.
Beberapa saat kemudian Aldian datang tergopoh dengan wajah kaget dan heran. "Ada apa kamu teriak-teriak, memangnya ada hantu?" tanyanya pura-pura tidak tahu seraya menunggu reaksi Haliza.
Haliza merangkul lengan Aldian dan memegangnya erat. "Tadi ada suara wusss, werrr sama meongan kucing, tapi saat aku panggil tidak ada," adunya masih dengan kepala merunduk dan bersembunyi di balik tangan Aldian.
"Apa-apaan kamu ini, penakut banget sih. Suara itu bisa saja ditimbulkan dari atap canopy yang ditimpa hujan. Dengar hujannya saja sangat deras."
"Tapi, tadi ada suara kucing tetangga meong, tapi kucingnya tidak ada," adunya lagi dengan wajah takut.
"Alah, kamu ini ngada-ngada saja. Ayo, balik badan dan berdiri yang benar. Kamu ini sedang ketakutan. Tidak ada tuh suara kucing lagi. Sepertinya tadi si Belang memang masuk, karena aku sempat buka pintu," ujar Aldian seraya menatap Haliza yang sudah menghadapnya.
"Ayolah kita masuk kamar, lagipula aku sudah tidak sabar ingin membuat kamu hamil," ceplos Aldian langsung. Haliza menahan langkah kakinya setelah mendengar Aldian berkata seperti itu.
Aldian sedikit kecewa, lalu dengan cepat ia bergegas meninggalkan Haliza.
"Werrrrr, surrrrr." Suara horor itu kembali terdengar membuat Haliza mematung, langkah kakinya seakan beku tidak bisa berjalan karena takut.
"Massss, tunggu!"
Aldian tersenyum seraya menahan langkahnya.