Rayan dan rai, sepasang suami-istri, pasangan muda yang sebenarnya tengah di karuniai anak. namun kebahagiaan mereka di rampas paksa oleh seorang wanita yang sialnya ibu kandung rai, Rai terpisah jauh dari suami dan anaknya. ibunya mengatakan kepadanya bahwa suami dan anaknya telah meninggal dunia. Rai histeris, dia kehilangan dua orang yang sangat dia cintai. perjuangan rai untuk bangkit sulit, hingga dia bisa menjadi penyanyi terkenal karena paksaan ibunya dengan alasan agar suami dan anaknya di alam sana bangga kepadanya. hingga di suatu hari, tuhan memberikannya sebuah hadiah, hadiah yang tak pernah dia duga dalam hidupnya dan hadiah itu akan selalu dia jaga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happypy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh belas
" aku harus memberitahukan ini pada rai " ucap dina, Dina hampir saja berdiri, bersiap untuk bergegas menemui Rai dan mengungkapkan kebenaran yang mengejutkan itu. Namun, sebelum ia sempat melangkah, Rahma dengan cepat meraih tangannya, menahannya di tempat. Rahma menggeleng pelan, air mata masih mengalir tanpa henti dari matanya yang penuh dengan rasa sakit. "Jangan," lirihnya, suaranya nyaris tak terdengar.
Dina menatap Rahma dengan tatapan penuh kebingungan "Kenapa?" tanya dina dengan suara serak, hatinya yang tadinya penuh tekad kini dipenuhi oleh kekhawatiran.
Rahma menahan isaknya, matanya berkaca-kaca, dan suaranya bergetar saat ia menjawab. "Karena... jika ibu rai tahu bahwa anak rai ada di sini, dia akan membunuhnya " bisik rahma, suaranya nyaris hancur oleh kenyataan yang ia ucapkan.
"Ibu Rai tidak pernah menyukai anak rai, apalagi suaminya."
Dina terperangah, kata-kata Rahma seperti petir yang menyambar tanpa ampun. "Apa?" bisik Dina, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Maksudmu... ibu Rai... dia sekejam itu?" Dina masih terkejut, pikirannya berputar antara ketakutan dan ketidakpercayaan.
Rahma mengangguk, air matanya tak berhenti mengalir. "Dia mengusir suami Rai di malam hari, Dia tidak akan segan melakukan hal lebih buruk jika tahu anak rai ada disini." Rahma menunduk, hatinya merasa sesak dengan kenyataan yang harus disimpan dalam diam.
Dina merasa gemetar, kengerian merayap di dalam dirinya. Rahma tak perlu mengatakan lebih banyak lagi. Kini, Dina menyadari bahwa kebenaran ini lebih rumit dan berbahaya dari yang ia kira.
Dina menatap rahma dengan sorot mata penuh kegelisahan. "Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanyanya pelan, seolah-olah berharap rahma memiliki jawabannya. Dina kemudian melanjutkan dengan suara serak..
"Setiap hari, Rai menangis merindukan mereka. Sekarang, anaknya ada di sini bersamanya, tapi dia tidak tahu..."
Rahma terdiam, pikirannya buntu. Dia tahu betapa rumitnya situasi ini. Ancaman ibu rai terhadap rayan kembali terngiang di kepalanya, membuatnya takut mengambil langkah yang salah. Bagaimana mereka bisa mengungkap kebenaran ini tanpa membahayakan nyawa zeline dan rayan?
Tiba-tiba, Dina menyuarakan sebuah ide. "Begini saja," katanya dengan nada yang lebih optimis. "Besok Rai ada acara fanmeet. Racheline dan kalian datanglah besok untuk melihatnya." Dina menyarankan, berharap itu bisa menjadi awal dari sebuah rencana untuk mempertemukan mereka.
Rahma menatap dina dengan harapan baru yang mulai tumbuh di hatinya. "Baiklah, besok kami akan datang," katanya mantap. Ia tahu ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk menyatukan mereka tanpa menimbulkan kecurigaan.
Rahma kemudian menarik napas dalam-dalam dan menatap Dina dengan penuh keyakinan. "Dina, maukah kau bekerja sama denganku? Kita satukan kembali mereka. Rai, Rayan, dan zeline... mereka harus bersama lagi," ucap Rahma, tekadnya semakin kuat.
Dina tersenyum tipis, matanya berkilat dengan semangat yang sama. "Aku mau," jawabnya tanpa ragu. "Aku ingin Rai bersatu lagi dengan keluarga nya. Kita akan bersama-sama menyatukan mereka."
Mereka berdua saling mengangguk, seolah berjanji dalam hati bahwa apa pun yang terjadi, mereka akan melakukan yang terbaik untuk memperbaiki kebahagiaan keluarga yang hancur itu. Besok, fanmeet akan menjadi momen penting, dan mereka akan berusaha agar semuanya berjalan sesuai rencana.
Tak lama kemudian, Pemotretan berakhir dengan sempurna. Zeline, dengan wajah polos, langsung berlari ke arah sania sambil bertanya, "Kakak, susu adek mana?"
Rai, yang sedang berdiri tak jauh dari mereka, memperhatikan setiap gerak-gerik zeline. Matanya mengikuti langkah gadis kecil itu saat zeline melepaskan genggaman tangannya dan berlari menuju sania. Ada sesuatu dalam cara zeline berbicara dan bertingkah yang membuat hati Rai tersentuh, meski dia tidak bisa menjelaskan kenapa.
Sania membuka tasnya dan mengeluarkan botol susu, menyerahkannya kepada zeline. "Nih, susu zeline. Duduk ya dek, minumnya," kata Sania dengan lembut, mengajak zeline duduk di bangku terdekat. Zeline menurut, duduk manis sambil memegang botol susunya, menghisap dot dengan tenang.
Sementara itu, Rai menghampiri dina dan Rahma yang tampak sedang berbincang di sudut ruangan. Dengan senyum kecil, Rai duduk di samping dina dan bertanya, "Lagi ngobrolin apa nih?"
Dina dan Rahma saling menoleh sesaat sebelum serempak menggeleng. "Ah, random aja sih " jawab Dina cepat, berusaha menyembunyikan kecemasan yang sebenarnya mereka rasakan. Dina tahu dia harus menyembunyikan rahasia besar yang baru saja rahma ungkapkan, dan perasaannya sedikit terguncang.
Rai menatap mereka dengan rasa ingin tahu, namun dia memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh. "Oh, baiklah," ucapnya santai, sambil melirik ke arah zeline yang masih duduk di bangku, sibuk dengan botol susunya. Hatinya masih tak bisa lepas dari gadis kecil itu, tapi untuk sekarang, dia memilih menyimpan perasaannya sendiri.
Sementara itu, di dalam hati dina dan rahma, perasaan tegang masih menyelimuti mereka. Rahasia yang mereka ketahui terlalu besar untuk dibicarakan begitu saja, dan keduanya tahu bahwa waktunya akan tiba, waktu untuk mengungkap kebenaran kepada rai.
Tiba-tiba zeline yang asyik menyusu akhirnya mulai mengantuk, matanya berat dan rengekannya mulai terdengar lembut. "Kakak, bobok," kata zeline dengan suara manja, memanggil sania.
Mendengar rengekan itu, Sania seketika memiliki ide. Kesempatan ini tidak boleh dilewatkan. Dengan nada yang sedikit dibuat-buat, Sania mengeluh, "Kak rahma, Zeline mau tidur, tapi tanganku sakit. Aku nggak bisa memeluknya." Rahma dan dina langsung menoleh dan menatap sania dalam diam, menyadari maksud tersembunyi di balik perkataan Sania. Perlahan, mereka berdua saling bertukar pandang, paham apa yang ingin dilakukan Sania.
Dina, dengan senyum lembut, langsung mengambil inisiatif. "Rai, coba kamu pangku zeline, kasihan gadis kecil itu, dia mau tidur," ucap dina dengan nada yang tenang, namun cukup mendesak.
Rai tampak terkejut mendengar permintaan dina. Dia menatap gadis kecil yang merengek manja pada sania. Hatinya tersentuh melihat wajah polos zeline, tapi dia masih ragu. Namun, setelah beberapa detik, Rai bangkit dari duduknya, perlahan mendekati sania dan zeline.
Dengan lembut, Rai mengulurkan tangannya, memangku zeline dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Zeline, yang merasa nyaman dalam pelukan rai, langsung tenang. Gadis kecil itu menggeliat sesaat, lalu memejamkan matanya, jatuh tertidur dengan tenang dalam dekapan ibunya sendiri, meskipun rai belum menyadari kebenaran yang menyentuh ini.
Dina dan rahma menyaksikan momen tersebut dengan hati yang penuh haru. Dalam diam, mereka tahu bahwa ini adalah langkah kecil menuju penyatuan keluarga yang sudah terlalu lama di pisahkan. Sania pun tersenyum, merasa lega bahwa setidaknya untuk saat ini, meski tanpa sadar, Zeline berada di pelukan ibunya.
Rai menatap wajah damai zeline yang tertidur dalam dekapannya. Ada perasaan aneh yang muncul dalam hatinya, perasaan yang sulit ia artikan, seakan ada ikatan tak terlihat yang menghubungkannya dengan gadis kecil ini. Perlahan, tanpa sadar, tangannya terulur, jemarinya yang halus mengelus lembut rambut Zeline. Sentuhan itu terasa begitu alami, seolah rai telah melakukannya sejak lama.
Rahma, Dina, dan Sania berdiri tak jauh, menyaksikan adegan itu dengan penuh haru. Mereka tahu betul betapa besarnya momen ini, walaupun Rai dan zeline belum menyadari kebenaran yang mengikat mereka. Mata rahma mulai berkaca-kaca, Dina memalingkan wajahnya agar tidak terlihat menangis, dan sania, meski mencoba untuk tetap kuat, hatinya teriris melihat ibu dan anak yang akhirnya bertemu, meski dalam ketidaktahuan.
Tanpa disadari oleh rai, hatinya merasakan kehangatan yang aneh tapi menenangkan. Ada sesuatu tentang zeline yang begitu familiar, seakan-akan gadis kecil ini sudah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, meski mereka belum mengenal satu sama lain, takdir telah mempertemukan mereka dalam sebuah momen yang begitu sederhana, namun sarat makna. Hari itu, tanpa kata-kata, ikatan batin ibu dan anak mulai terbentuk kembali.