Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Sebuah Pesta yang Berubah
Adara berdiri di depan cermin, memperhatikan pantulan dirinya dalam balutan gaun merah elegan yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Malam itu, ia diundang ke pesta ulang tahun perusahaan yang diadakan Arga Pratama, CEO yang juga bosnya. Setiap tahun, pesta ulang tahun perusahaan diadakan dengan mewah, mempertemukan berbagai tokoh penting dari dunia bisnis dan pemerintahan. Adara tahu betul bahwa ini adalah kesempatan langka, bukan hanya untuk bersosialisasi, tetapi juga untuk melihat sisi lain dari Arga.
Arga Pratama bukan hanya sekadar CEO, ia adalah sosok yang karismatik dan misterius. Selalu memegang kendali dalam segala situasi, terutama di kantor. Adara masih ingat dengan jelas ketika pertama kali bertemu Arga. Dingin, tegas, dan tak terduga. Namun, semakin lama bekerja bersamanya, semakin ia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebekuan yang ditunjukkan bosnya. Sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan dingin dan senyum tipisnya.
Malam itu, Adara melangkah masuk ke aula megah tempat pesta berlangsung. Lampu kristal besar menggantung di atas, menerangi ruangan yang dipenuhi dengan tamu-tamu berpakaian elegan. Hidangan mewah disajikan di setiap sudut, sementara suara musik lembut mengalun, menambah suasana meriah dan elegan.
Adara mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari Arga. Dalam setiap pesta perusahaan, Arga selalu menjadi pusat perhatian, tak terkecuali malam ini. Dikelilingi oleh rekan bisnis, investor, dan beberapa pejabat pemerintah, ia berbicara dengan karisma yang memukau semua orang. Ketika akhirnya Adara menangkap tatapannya, ia merasa jantungnya berdegup lebih cepat.
Tanpa pikir panjang, Arga melangkah mendekatinya dengan senyum tipis yang sangat khas. “Adara, kau terlihat sangat anggun malam ini,” katanya dengan suara rendah yang selalu terdengar menenangkan dan sedikit misterius. Pujian itu membuat pipi Adara memerah, namun ia berusaha mengendalikan dirinya agar tetap tenang.
“Terima kasih, Pak Arga,” balas Adara, berusaha menjaga formalitas meskipun dalam hatinya ada perasaan yang sulit ia jelaskan.
Mereka pun berbincang singkat. Arga menanyakan kabar, dan sedikit menyinggung beberapa proyek yang sedang berjalan. Namun, kali ini Adara merasa ada yang berbeda. Tatapan Arga lebih lembut dari biasanya, dan ada jeda panjang dalam setiap kalimat yang diucapkannya, seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih.
Percakapan mereka terhenti ketika seorang tamu menghampiri Arga untuk menyampaikan salam. Dengan anggukan pelan, Arga memberi isyarat kepada Adara untuk menunggu. Dalam hatinya, Adara merasa sedikit kecewa, namun ia berusaha menenangkan diri. Ia berpikir mungkin hanya terlalu berharap.
Adara pun berjalan menuju sudut ruangan, di mana meja-meja kecil dikelilingi kursi-kursi nyaman. Di sini, ia bisa menikmati hidangan tanpa perlu berdiri berlama-lama. Sambil menikmati sepotong kue kecil, Adara mengamati Arga yang tengah berbincang dengan tamu lain. Ada sesuatu yang berbeda malam ini. Arga terlihat lebih tenang, namun ada kilatan di matanya yang sulit dijelaskan, seolah ia menyimpan sesuatu.
Beberapa menit berlalu, dan suasana pesta semakin meriah. Para tamu mulai berdansa diiringi alunan musik klasik yang berubah menjadi lebih cepat. Tanpa diduga, Arga tiba-tiba mendekati Adara dan mengulurkan tangannya. “Maukah kau berdansa denganku?” tanyanya dengan nada yang lebih rendah dari biasanya.
Adara terdiam sejenak, terkejut dengan tawaran yang tak terduga itu. Namun, melihat tatapan serius Arga, ia mengangguk pelan dan meletakkan tangannya di atas tangan Arga. Mereka berjalan menuju lantai dansa, dan dengan gerakan yang lembut namun tegas, Arga menarik Adara ke dalam pelukannya. Mereka mulai berdansa mengikuti irama musik yang perlahan.
Selama beberapa saat, mereka terdiam, membiarkan gerakan mereka berbicara. Adara merasa jantungnya berdetak cepat, sementara tangan Arga memegangnya dengan lembut namun tegas. Ia bisa merasakan kehangatan dari tubuh Arga yang mendekapnya erat. Tak ada kata yang terucap, namun keheningan itu terasa penuh makna.
Tiba-tiba, Arga membisikkan sesuatu di telinga Adara, “Aku senang kau datang malam ini, Adara. Aku tak menyangka kita akan berdansa seperti ini.”
Suara Arga yang begitu dekat membuat Adara merasa semakin gugup. “Saya juga senang berada di sini, Pak Arga,” jawabnya pelan.
Ketika musik berhenti, Arga tetap memegang tangan Adara, enggan melepaskannya begitu saja. Ia menarik Adara ke sudut ruangan yang lebih sepi, di mana tak ada orang yang bisa mendengar percakapan mereka. Dengan tatapan yang lebih serius dari sebelumnya, Arga menatap mata Adara dalam-dalam.
“Adara, ada sesuatu yang ingin kubicarakan,” ucapnya.
Adara merasa gugup namun tetap mencoba bersikap tenang. “Apa itu, Pak Arga?”
Arga terdiam sejenak, tampak ragu. Namun akhirnya, ia menghela napas panjang dan berkata, “Adara, selama beberapa waktu ini aku merasa… kau membawa warna baru dalam hidupku. Kau membuatku merasa lebih berarti. Namun, aku juga tahu ini bukan hal yang mudah, mengingat posisiku sebagai atasanmu.”
Kata-kata itu membuat Adara terkejut. Ia tak menyangka Arga akan berbicara seperti itu. Rasa gugup dan bingung memenuhi pikirannya. “Pak Arga, saya… saya tidak tahu harus berkata apa,” jawabnya dengan suara pelan.
Arga tersenyum tipis, namun sorot matanya penuh ketulusan. “Aku tidak mengharapkan jawaban malam ini, Adara. Aku hanya ingin kau tahu apa yang kurasakan.”
Suasana hening untuk beberapa saat. Keduanya terdiam, membiarkan perasaan mereka saling berbicara tanpa perlu banyak kata. Namun, sebelum mereka sempat melanjutkan percakapan, seseorang tiba-tiba menghampiri Arga. Tamu itu memanggilnya untuk menyelesaikan beberapa urusan penting terkait acara malam itu. Dengan berat hati, Arga berpamitan pada Adara.
Sebelum pergi, ia menatap Adara dalam-dalam dan berkata, “Kita akan berbicara lagi nanti.” Ada janji tersirat dalam kata-katanya, dan Adara tahu bahwa momen ini belum berakhir.
Setelah Arga pergi, Adara tetap berdiri di sudut ruangan, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Hatinya berdebar kencang, dan ia merasa seolah dunia berputar lebih cepat dari biasanya. Ia tak menyangka bahwa perasaannya yang selama ini ia pendam ternyata dirasakan pula oleh Arga. Namun, di balik kebahagiaan itu, Adara merasa ada keraguan. Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Bagaimana dengan posisi mereka sebagai atasan dan bawahan? Apakah ini keputusan yang benar?
Pesta yang semula tampak biasa saja bagi Adara, malam ini berubah menjadi sesuatu yang tak terduga. Ada rasa bahagia yang terselip, namun juga kekhawatiran yang perlahan menyusup ke dalam hatinya. Namun, di balik semua itu, ia merasa senang bisa melihat sisi lain dari Arga yang selama ini hanya ia kenal sebagai bos yang tegas dan dingin.
Ketika malam semakin larut dan pesta mulai sepi, Adara melangkah keluar dengan perasaan campur aduk. Angin malam yang sejuk menyambutnya, seolah ingin menghapus keraguannya. Ia tahu, sejak malam itu, hubungan mereka tak akan pernah sama lagi.