Aiden Valen, seorang CEO tampan yang ternyata vampir abadi, telah berabad-abad mencari darah suci untuk memperkuat kekuatannya. Saat terjebak kemacetan, dia mencium aroma yang telah lama ia buru "darah suci," yang merupakan milik seorang gadis muda bernama Elara Grey.
Tanpa ragu, Aiden mengejar Elara dan menawarkan pekerjaan di perusahaannya setelah melihatnya gagal dalam wawancara. Namun, semakin dekat mereka, Aiden dihadapkan pada pilihan sulit antara mengorbankan Elara demi keabadian dan melindungi dunia atau memilih melindungi gadis yang telah merebut hatinya dari dunia kelam yang mengincarnya.
Kini, takdir mereka terikat dalam sebuah cinta yang berbahaya...
Seperti apa akhir dari cerita nya? Stay tuned because the 'Bloodlines of Fate' story is far form over...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta yang Tumbuh
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apapun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Aiden merasa jantungnya berdebar, meski ia tahu seharusnya ia tak merasakan hal itu. Keheningan malam yang sepi seolah mendukung momen itu, membungkus mereka dalam keintiman yang tak terduga. Kehadiran Elara begitu memikat, aroma manis bercampur dengan hangatnya nafas yang perlahan mengisi udara di antara mereka.
Tangan Elara yang dingin masih menyentuh bibir Aiden dengan lembut, membuat pikirannya kabur antara logika dan keinginan yang tak terjelaskan. Dalam sekejap, ia menunduk, menyerah pada dorongan yang tak mampu ia lawan, dan mencium bibir Elara.
Saat bibir mereka bersentuhan, waktu seolah berhenti. Ciuman itu lembut, penuh kehangatan dan rasa yang asing bagi Aiden, seorang vampir yang telah lama terkunci dalam dinginnya kehampaan. Namun, di balik kesederhanaan itu, ada gelombang perasaan yang begitu kuat mengalir melalui dirinya.
Selanjutnya
Aiden membuka matanya sedikit, ingin memastikan bahwa ia tak memaksakan dirinya pada Elara. Yang ia temukan membuatnya semakin tak karuan saat Elara tidak menghindar. Wajahnya bahkan terlihat menikmati, bibirnya sedikit bergerak, merespons ciuman itu. Tetapi, jauh di lubuk hatinya, Aiden tahu ini adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi.
“Ini salah,” pikirnya sambil menarik diri perlahan.
Ia menatap Elara yang kini memejamkan mata, dengan senyum samar yang menghiasi wajahnya. Mungkin karena pengaruh anggur, mungkin juga karena sesuatu yang lebih dalam. Namun, Aiden tahu ia telah melewati batas.
“Elara…” bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada gadis itu.
Rasa bersalah dan keraguan memenuhi hatinya. Ia tahu ia memiliki tugas yang lebih besar melindungi Elara dan dunia dari ancaman Monvok, bukan membiarkan dirinya terhanyut dalam perasaan yang semakin sulit ia abaikan.
Aiden menyibakkan rambut Elara yang jatuh di wajahnya, membenarkan posisi tubuhnya di tempat tidur, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh mungil gadis itu.
“Maafkan aku,” katanya pelan, lebih terdengar seperti doa yang putus asa.
Ia berbalik dan meninggalkan kamar, langkahnya berat, pikirannya dipenuhi kebimbangan yang semakin menghantui dirinya. Apa yang baru saja terjadi? Dan kenapa ia merasa tidak ingin menyesalinya?
❦┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ Bloodlines of Fate
Pagi itu, Elara terbangun dengan kepala yang terasa berat dan sedikit pusing. Cahaya matahari yang menyelinap melalui tirai membuat matanya sedikit silau. Dia mendesah sambil memegangi kepala, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Lalu, pikirannya melayang pada Kevin. Ia tersenyum kecil, mengingat kebodohan malam itu yang mungkin menjadi penyebab kepalanya terasa seperti dihantam palu sekarang.
Namun, senyumnya perlahan memudar ketika sebuah ingatan samar muncul. Ciuman lembut. Sekilas, ia teringat ada seseorang yang mengantarnya ke kamar dan... bibir itu. Ia duduk tegak dengan cepat, wajahnya memerah. "Apa itu benar-benar terjadi?" gumamnya.
Elara menggelengkan kepalanya keras-keras, mencoba mengusir pikiran aneh itu. Siapa yang dia cium semalam? Dia tidak ingat, tapi perasaan malu langsung membanjiri dirinya. Dengan cepat, dia bangkit dari tempat tidur, mengambil handuk, dan bergegas mandi. Air dingin membasahi tubuhnya, membantu menyegarkan pikirannya yang kalut. Namun, meski sudah berusaha, dia tetap tidak bisa mengingat detailnya.
❦┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ Bloodlines of Fate
Setelah selesai mandi dan berpakaian, Elara keluar dari kamar. Dia berjalan menuju ruang makan, menemukan Kevin dan anggota keluarga lainnya sudah berkumpul di meja makan. Mereka terlihat santai, menikmati sarapan masing-masing.
"Selamat pagi, El," sapa Kevin dengan nada riang.
Elara hanya tersenyum kecil sambil memandangnya dengan seksama, mencoba mencari tanda-tanda. Tapi Kevin terlihat seperti biasa, tidak ada yang aneh.
Mereka duduk bersama menikmati sarapan. Namun, di tengah suasana itu, Elara tak bisa mengabaikan rasa penasaran yang mengganggunya. Siapa yang membawanya ke kamar semalam? Dan... siapa pemilik bibir itu?
Ketika Kevin selesai makan, dia mengambil nampan yang berisi gelas berisi darah segar. Itu jelas untuk Aiden. Elara langsung menawarkan diri. "Biar aku saja yang membawanya," katanya cepat.
Kevin menaikkan alis, tersenyum curiga. "Kau ingin memastikan Aiden baik-baik saja, ya?"
Elara mencoba menahan wajahnya agar tidak memerah, tapi Kevin sudah terlalu tajam untuk dilewati. "Tidak juga, aku hanya... ingin membantu," jawabnya gugup.
"Hmm," Kevin tersenyum lebar, lalu mendekatkan wajahnya. "Ada sesuatu, ya? Apa yang terjadi semalam? Apa Tuan Aiden melakukan sesuatu padamu?" godanya sambil memainkan jari di atas meja.
Elara terdiam, bingung harus menjawab apa. Wajahnya semakin panas saat Kevin melanjutkan, "Kau tahu, aku melihat bos kita keluar dari kamarmu semalam. Wajahnya merah seperti tomat, dan dia terlihat panik."
"Kevin!" Elara memotong dengan nada setengah panik. Dia langsung bangkit dan membawa nampan itu ke atas, meninggalkan Kevin yang tertawa kecil.
"Aku tahu ada sesuatu," gumam Kevin sambil tersenyum penuh kemenangan.
❦┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ Bloodlines of Fate
Di depan pintu kamar Aiden, Elara berhenti. Napasnya sedikit memburu, dan ingatan tentang ciuman itu tiba-tiba menyeruak ke permukaan. Dadanya terasa berdebar saat akhirnya dia menyadari sesuatu: Aiden-lah orangnya.
Dia tersenyum kecil, tak tahu harus merasa bagaimana. Perlahan, dia mengetuk pintu dan membuka pintu kamar dengan hati-hati.
Aiden sedang duduk di sofa, mengenakan kemeja hitam yang sebagian kancingnya terbuka, memperlihatkan sedikit kulitnya yang pucat sempurna. Ia memegang seekor kucing hitam di pangkuannya, mengelus bulunya dengan lembut. Saat mendengar pintu terbuka, tatapannya langsung tertuju pada Elara. Matanya tajam, penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan.
"Selamat pagi," sapa Elara, mencoba terdengar santai meskipun jantungnya berdebar hebat. Dia meletakkan nampan itu di meja di depan Aiden.
Namun, saat dia berbalik hendak pergi, bayangan muncul di benaknya dia membayangkan bayangan Aiden yang mendekat, menahannya, lalu berbisik di telinganya, ‘Apa kamu menikmatinya?’ Bayangan itu begitu nyata, membuatnya mematung.
Elara bisa membayangkan tangan Aiden menyentuh pinggangnya, menariknya mendekat, dan bibir itu lagi sebuah sentuhan yang sama seperti malam tadi. Lamunan itu bahkan membawa bayangan Aiden menyeretnya ke tempat tidur, menciuminya dengan penuh gairah "Ughh..." Elara membayangkan desahannya.
“Elara.” Suara Aiden memecah lamunannya.
Elara tersentak, wajahnya memerah seketika. Ia merasa begitu bodoh atas pikirannya barusan. Aiden memandangnya dengan tatapan yang sulit ditebak.
"Kau baik-baik saja?" tanya Aiden sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.
"Iya... iya, aku baik," jawab Elara tergagap. Ia berusaha menenangkan dirinya.
Aiden tidak berkata apa-apa sejenak, hanya memandangi Elara dengan tatapan dalam. "Apa kau ingat apa yang terjadi semalam?" tanyanya tiba-tiba.
Elara terdiam. Kata-kata itu menusuknya seperti panah. Haruskah dia mengaku atau berpura-pura tidak tahu? Dia memutuskan yang terakhir.
"Tidak... tidak banyak yang kuingat," katanya sambil berpura-pura mengalihkan pandangannya. "Aku terlalu mabuk, mungkin."
Aiden mengangkat alisnya sedikit, seolah tidak percaya. Namun, ia tidak mendesak lebih jauh.
"Kalau begitu, anggap saja tidak ada yang terjadi," katanya pelan sambil mengambil gelas berisi darah di meja.
Elara mengangguk, tetapi hatinya terasa kacau. Saat hendak keluar dari kamar, ia merasa tatapan Aiden masih mengikutinya, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi ditahan.
Di luar kamar, Elara menekan dadanya, mencoba mengatur napas. Kenapa aku harus berpura-pura? pikirnya. Ada bagian dari dirinya yang menikmati kenangan tentang ciuman itu, tetapi ada juga rasa malu yang membuatnya tak ingin mengaku.
Sementara itu, di dalam kamar, Aiden menatap pintu yang baru saja ditutup oleh Elara. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Dia mengingatnya," gumamnya pelan. "Tapi dia memilih untuk menyangkal."
Aiden berdiri, memandang keluar jendela besar di kamarnya. Pikirannya penuh dengan bayangan Elara. Ia tahu ini salah. Ia tahu ia tidak boleh terlibat terlalu jauh. Tapi Elara... gadis itu memiliki cara untuk membuatnya lupa akan segala logika.
"Ini tidak boleh terus seperti ini," katanya pada dirinya sendiri. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu ia sudah terlalu dalam terjebak.