Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Setangkai Mawar Putih
Aroma daging panggang yang bercampur dengan bumbu, menguar tajam dan menggugah selera. Tak dipungkiri, dalam hatinya Nero juga memuji hasil masakan Raina. Entah dari mana Raina mendapatkan resep itu, yang jelas sangat memanjakan lidah. Belum lagi, aneka sayur pendamping yang juga sama-sama lezat. Nero cukup puas menikmati makan malamnya kala itu.
Di hadapannya, Raina juga berulang kali tersenyum tipis. Hatinya luar biasa senang melihat Nero menyukai apa yang dia masak. Raina harap di lain waktu ada lagi kesempatan untuk menyenangkan perut suaminya itu.
"Aku tadi juga bikin cake, Om," celetuk Raina di sela-sela suapannya.
"Kenapa?" tanya Nero tanpa menoleh.
"Cuma pengin aja, dan ... kebetulan Om juga pas pulang." Raina sengaja berbohong. Dia tak mengaku bahwa memasak banyak, termasuk membuat kue karena dirinya sedang ulang tahun. Biarkan saja Nero tak tahu akan hal itu.
"Oh." Nero menjawab singkat, sambil tetap mengunyah makanannya.
Malam itu, mungkin adalah malam terindah bagi Raina setelah dirinya menikah dengan Nero. Karena untuk pertama kalinya dia makan bersama dengan Nero tanpa adanya intimidasi, apalagi semua menunya adalah hasil masakan Raina sendiri. Bahkan, kue yang dibuat olehnya pun ternyata juga cocok di lidah Nero. Sungguh, suatu kebahagiaan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
"Mudah-mudahan besok atau lusa bisa kayak gini lagi," batin Raina.
______
Raina mengerjap sambil menggeliat, lalu menyibak selimut yang menutup tubuhnya dan siap beranjak dari ranjang.
Awalnya semua berjalan normal, layaknya pagi di hari-hari sebelumnya. Namun, setelah bangkit dan tak sengaja matanya menatap ke sofa, Raina tertegun seketika.
Nero, sang suami yang biasa tidur di ruangan yang lain, pagi ini tampak telentang di sofa dengan mata yang masih memejam. Tangannya dilipat di dada, sedangkan kaki satu ditekuk, satu lagi selonjoran. Pakaian yang dikenakan masih kaus dan celana yang semalam. Sementara di meja—di dekat sofa, laptop dan beberapa berkas masih terbuka dan berantakan. Semalam Nero memang lembur di sana, dan mungkin ketiduran saking lelahnya.
"Jadi ... semalam kami tidur sekamar," gumam Raina dengan pelan. Langkahnya untuk turun dari ranjang mendadak gugup setelah menyadari keberadaan Nero di sana. Apa yang harus dia lakukan? Langsung mandi dan membiarkan Nero atau justru membangunkan lelaki itu terlebih dahulu?
"Mandi aja lah. Aku bangunin nanti kalau aku udah rapi," batin Raina sambil melangkah turun, dengan gerakan pelan tentunya. Pun saat dia berjalan menuju kamar mandi, ayunan langkahnya sangat pelan seolah takut mengganggu tidur Nero.
Akan tetapi, sikap Raina terkesan sia-sia. Pasalnya, ketika dia baru keluar dari kamar mandi ternyata Nero sudah bangun. Lelaki itu duduk di sofa sambil mengotak-atik laptopnya.
"Udah bangun, Om?" sapa Raina.
"Bereskan ini dan siapkan baju ganti! Hari ini aku berangkat pagi."
"Baik, Om." Lagi-lagi tanpa membantah, Raina menuruti perintah Nero.
Sekilas Nero menatap leher Raina, ketika wanita itu membungkuk dan membereskan meja di depannya. Kalung dengan liontin bunga lily sudah menggantung di sana, tampak manis dan cantik. Diam-diam Nero tersenyum tipis. Entah apa yang ada dalam pikirannya, yang jelas ... setelah itu dia keramas dengan air dingin sampai setengah jam lamanya.
_______
Jam setengah tujuh malam, Nero baru pulang dari kantor. Kala itu Raina sudah berdandan cantik, karena setelah ini akan menghadiri acara makan malam di tempat Sanjaya. Tubuh sintalnya dibalut gaun panjang warna hitam, rambutnya digerai, meriap menutupi bahu yang setengah terbuka. Anggun dan cantik.
Akan tetapi, itu tak cukup menarik bagi Nero. Buktinya, ia justru menyuruh Raina melepas gaun tersebut dan menggantinya dengan gaun yang baru ia beli sore tadi.
Raina sedikit enggan, pasalnya gaun itu sudah menempel di tubuhnya. Namun, mana bisa dia membantah. Mau tidak mau ya menuruti saja kemauan Nero.
Namun, ketika pertama kali melihat gaun yang dibawa Nero, mata Raina membelalak seketika.
Gaun tersebut sangat mewah. Warnanya hitam dan penuh gemerlap, lengannya model sabrina berenda. Di pinggangnya terdapat manik-manik warna gold, juga berkilauan. Panjangnya, Raina perkirakan akan menutup tumit, modelnya mengembang seperti gaun ala-ala barbie.
"Om, apa ini nggak terlalu mewah?" tanya Raina. Matanya masih terpaku pada gaun yang kini ada di tangannya.
"Kamu kira makan malam ini bukan acara mewah?" sahut Nero.
"Tapi ... ini—"
"Pakai saja! Jangan lupa sanggul rambutmu. Aku mau mandi," pungkas Nero, tidak menerima penolakan lagi.
Sembari menghela napas panjang, Raina pun melakukan apa yang Nero perintahkan. Melepas gaunnya dan mengganti dengan gaun mewah tersebut. Sangat pas di tubuh Raina, dan membuatnya jauh lebih cantik dibanding sebelumnya. Terlebih lagi setelah ia menyanggul rambutnya dengan rapi dan menghiasinya dengan aksesori berbentuk bunga kecil-kecil. Tak hanya itu, Raina juga mengganti anting-antingnya dengan anting yang lebih panjang, agar kesannya makin mewah.
Setelah selesai menata rambut, Raina memoles kembali make up-nya, membuatnya sedikit mencolok agar sesuai dengan gaun yang ia kenakan. Hasilnya benar-benar cantik.
"Begitu lebih pantas," komentar Nero setelah keluar dari kamar mandi. Ia pun sudah rapi dalam balutan kemeja putih dan jas hitam.
"Iya, Om."
Meski merasa berlebihan—layaknya menjadi bintang utama dalam pesta ulang tahun, tetapi Raina memendam perasaan itu dalam hatinya sendiri. Sampai Nero mengajaknya berangkat, Raina tak melayangkan protes lagi. Ia ikuti saja apa kata Nero. Bahkan, ketika sudah masuk mobil dan mulai melaju menyusuri jalanan, Raina dan Nero masih saling diam.
Barulah ketika perjalanan sudah setengah jam lamanya, Nero berdecak kesal, setelah sebelumnya melihat ponsel sekilas.
"Ada apa, Om?" tanya Raina.
"Acaranya batal." Nero menjawab singkat, tanpa menoleh.
"Hah? Terus?" Raina sedikit kecewa. Dia sudah dandan sampai dua kali, tiba-tiba acara batal begitu saja. Sia-sia dong dia duduk lama di depan cermin.
"Kita makan malam sendiri, setelah itu pulang."
"Iya," jawab Raina.
Lagi, keduanya saling diam. Tak ada lagi perbincangan sampai mobil belok memasuki area restoran dan berhenti di sana.
Sebelum turun dari mobil, Raina sempat mengernyit heran. Restoran di hadapannya cukup mewah, tetapi sangat sepi. Bahkan, hanya ada dua mobil yang parkir di sana, tiga dengan milik Nero.
Kendati begitu, Raina tetap diam dan menjajari langkah Nero.
"Selamat datang, Tuan, Nona. Mari, silakan duduk!" sambut pelayan restoran.
Berbeda dengan Nero yang mengangguk sambil tersenyum, Raina justru diam dan larut dalam keheranannya sendiri. Bagaimana tidak, restoran yang luas itu tampak sepi. Tak ada pengunjung satu pun, hanya pelayan barusan yang ada di sana.
Namun, tunggu ... sepertinya ada yang berbeda dengan restoran pada umunya. Di dalam restoran itu banyak sekali bunga-bunga yang ditata sedemikian rupa. Lantas di setiap meja ada lilin-lilin kecil yang tampak serasi dengan lampu restoran yang sedikit temaram. Selain itu, aroma yang menguar sangat manis dan terkesan romantis.
"Ayo!" ajak Nero sembari menggenggam tangan Raina, mengajaknya duduk di meja tengah, meja yang paling besar dari meja lainnya.
Raina hanya tersenyum, sembari mengamati meja yang kini ada di hadapannya. Ada bunga lily putih yang dipajang di sana, bersama lilin-lilin yang ditata dalam wadah yang mewah.
"Restoran besar gini, kenapa nggak ada pengunjungnya, Om?" tanya Raina.
Nero mengedikkan bahu. "Tanyakan sendiri pada pelayannya."
Raina menarik napas panjang. Jawaban Nero sangat tidak memuaskan. Namun, apa yang bisa dia lakukan? Memaksa Nero? Ah, itu sangat mustahil.
Akhirnya, Raina hanya bisa diam sambil menunggu pelayan mengantarkan pesanan.
"Silakan, Tuan, Nona! Jika butuh sesuatu lagi, silakan panggil saya."
Pelayan mengantarkan menu yang dipesan Nero dan Raina.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan menu tersebut, tetapi Raina terpaku pada setangkai mawar putih yang disertakan di dekat makanan miliknya. Apa maksudnya?
"Bunga ini ... aku sering lihat di film-film, dan itu digunakan dalam acara dinner romantis. Tapi ini ...," batin Raina.
Bersambung...