Selama 10 tahun lamanya, Pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni mantan kekasih yang belakangan ini membuat masalah rumah tangganya jadi semakin pelik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#25•
#25
Perlahan, Mobil Dean meninggalkan pelataran parkir, suasana di dalam mobil sangat lengang, Adhis bahkan tak menyalakan ponsel untuk membunuh sepi dan rasa gugup. Padahal pria di sebelahnya sudah nyaris kehabisan gaya, dan seperti kehabisan obrolan.
Dean terus berusaha fokus ke GPS, karena ia tak mengenal kota yang saat ini ia singgahi. Sementara Adhis fokus melihat jalanan yang mereka lalui, selayaknya tempat wisata, Kaliurang banyak didatangi wisatawan setiap harinya, tak heran jika bus-bus wisata berseliweran sepanjang jalan.
Pohon-pohon nan hijau menghiasi tepi jalan, berdampingan dengan banyak depot rumah makan, ada juga warung-warung kecil yang menawarkan aneka hidangan. Mulai dari kudapan ringan, hingga makanan berat.
Cuaca yang cerah dengan langit biru dan awan berarak, sang mentari pun belum terlalu menyengat. Jalanan yang tidak terlalu ramai, membuat perjalanan mereka lancar tanpa kendala.
Sejujurnya Adhis bingung dengan tingkah pria yang saat ini, bukankah dia seorang pria beristri? Kenapa justru mencari masalah, dengan menemani dirinya yang jelas-jelas masih berstatus sebagai istri orang lain? Apakah istrinya tidak cemburu? Karena sejujurnya Adhis takut jika istrinya akan berpikir dirinya dan Dean masih ada hubungan spesial.
“Mau makan dimana?”
“Itu saja,” jawab Adhis, ketika matanya melihat sebuah depot ayam bakar.
Lampu sein segera berkedip cepat, kala mobil bersiap belok ke tempat yang Adhis inginkan.
Mereka berhenti di sebuah depot yang menyediakan menu ayam bakar sebagai hidangan utama. Dan bersyukur sekali bagi Dean, walau sudah lebih dari dua puluh tahun tinggal di London, lidahnya sama sekali tak menolak hidangan lokal Indonesia, yang jumlahnya mencapai ribuan jenis. Baginya masakan khas Indonesia masihlah yang nomor satu, kendati ia pernah mencicipi hidangan lezat dengan citarasa dan tampilan mewah dari berbagai negara.
Dua porsi ayam bakar beserta sambal dan lalapan, kini tersaji di hadapan mereka, Dean juga sengaja meminta buah-buahan yang akan ia nikmati sebelum makan hidangan berat.
Sama seperti dulu, Adhis menyingkirkan sendok dan garpu dari piringnya, ia menuju wastafel guna mencuci tangan. Mungkin jiwa Indonesianya terlalu kental, jadi jika menu makanannya tidak berkuah, Adhis merasa lebih nyaman makan dengan tangan secara langsung. Setidaknya itu adalah hal kecil tentang Adhis, yang Dean ingat tentang Adhis.
“Masih lebih nyaman makan dengan tangan secara langsung?” tanya Dean setelah Adhis memulai suapan pertamanya.
Adhis tersenyum menatap Dean yang bahkan belum mulai makan, “Begitulah, aku dan Ayah punya kebiasaan yang sama, selain makan di angkringan.” Adhis terkekeh, padahal dulu ia selalu mengeluh kesal ketika ayah Bima kerap membawanya makan di angkringan, ketimbang restoran.
Melihat Adhis tersenyum, Dean pun ikut tersenyum hangat, sebisa mungkin ia menahan lidahnya agar tak berbicara hal-hal yang membuat Adhis tersinggung.
“Tapi Daddy juga bilang, bahwa ia bisa makan lesehan di pinggir jalan, karena Om Bima yang mengenalkannya.” Dean ikut menimpali.
“Padahal dulu, duduk di tikar saja Om Dad tak mau, takut banyak kuman,” imbuh Adhis.
Memang tak banyak yang mereka bicarakan, hanya hal kecil tentang persahabatan kedua orang tua mereka, namun keduanya bisa tertawa bersama untuk sesaat. Itu sudah hal luar biasa, dan Dean senang, karena setidaknya Adhis tak terlalu muram seperti tempo hari.
Setelah menikmati sarapan pagi, Mobil Dean kembali melaju, nyaris tak ada percakapan yang berarti, hanya sesekali obrolan ringan, atau ketika Dean menanyakan arah jalan. Dan begitu seterusnya hingga mobil Dean berhenti di depan rumah mewah Adhis.
“Terima kasih, Kak. Karena sudah menemaniku walau tidak secara langsung, tapi aku harap ini yang terakhir.” Dengan berat hati Adhis mengatakan hal itu, walau tak ada hubungan apa-apa diantara keduanya, tapi jika terus berlanjut, orang lain akan tetap salah paham menilai kedekatan mereka.
“Ini adalah batasanku, dan aku harap Kakak juga mengerti batasan Kakak.”
Dean mengangguk paham, ia pun sangat mengerti dimana posisinya saat ini. “Iya, aku mengerti, jangan khawatir.”
Usai mengatakannya, Dean bergegas keluar dari mobil, ia membuka bagasi dan mengeluarkan paperbag yang tadi Adhis bawa serta dari hotel.
“Oh, iya, terima kasih juga untuk ini,” cicit Adhis ketika menerima paperbag dari tangan Dean.
Dean memasukkan kedua tangannya ke saku jeansnya. “Isn't big problem,” jawabnya dengan mengangkat kedua pundaknya. “Lagi pula itu juga bukan barang mahal.”
Adhis tak lagi menanggapi, ia hanya melambai sambil melangkah memasuki gerbang rumahnya.
•••
Beberapa jam sebelum kedatangan Adhis.
“Mas … “
Sepi tak ada suara sahutan, perasaan Anggi mulai tak enak, maka Anggita pun memeriksa setiap ruangan. Berharap segera menemukan Raka, dalam kondisi baik-baik saja.
Pandangan Anggi tertuju pada satu pintu, sepertinya itu pintu kamar utama, karena sejak tadi ia hanya menemukan kamar berukuran kecil dengan single dan double bed.
Tok tok tok!
Sebelum membuka pintu, Angin mengetuk benda berbentuk segi empat tersebut, masuk ke rumah tanpa izin saja sudah salah, ditambah lagi masuk ke kamar pemilik rumah, semakin tak sopan bahkan mungkin dosa, karena ia bukan penghuni rumah ini.
“Mas …” ucap Anggi di sela- sela ketukan kedua. Namun seperti ketukan pertama, kali ini pun Anggi tak mendengar sahutan Raka.
Klak!
Suara handle pintu ketika Anggi memutarnya, tak jauh beda dari semua ruangan yang ada, kamar ini pun gelap tanpa cahaya sedikitpun. Tapi Anggi bisa bernafas lega, karena samar-samar ia mendengar dengkuran halus sang suami yang sangat ia kenali.
Langkah kakinya mendekat, mencoba memanggil sang suami, “Mas … ” Suara Anggi begitu lirih, ia bahkan mengguncang pundak Raka, agar pria itu membuka matanya.
Tapi Raka terlalu lelah, berhari-hari ia mengelilingi Yogyakarta mencari sang istri, Raka bahkan izin cuti mendadak agar bisa lebih fokus dengan pencariannya. Namun hingga hari ke lima pencariannya, Raka tak kunjung berhasil menemukan Adhis, seluruh hotel sudah ia datangi, tapi tak ada satupun yang menjadi tempat tujuan Adhis. Jadi dimana sebenarnya Adhis?
Raka begitu menyesal dengan apa yang terjadi hari itu, hanya karena dirinya yang memaksa mendudukkan Qiran di pangkuan Adhis, membuat istrinya marah, dan berakhir sebuah tamparan dari Bu Dewi. Sejak saat itu Raka tak bisa menjumpai istrinya, entah berapa puluh kali dalam sehari ia melewati rumah sang mertua, namun tak sedikitpun petunjuk ia peroleh dari sana.
Raka frustasi, marah, kesal dengan kebodohannya sendiri, tadinya ia ingin menghangatkan hubungan Bu Dewi dengan istrinya. Walau Raka tahu itu sangat menyakitkan, tapi Raka semakin salut dengan kebesaran hati Adhis yang tidak lagi membicarakan perceraian, kendati tahu bahwa dirinya yang telah mendua. 😡
Sret!
Merasa ada yang menyentuh keningnya, Raka menangkap tangan mungil tersebut, “Mas, kamu demam.” Lirih Anggi berucap dengan penuh kekhawatiran.
“Sayang, kamu datang.” Raka segera bangkit, kamar yang gelap, ditambah tubuhnya demam serta menggigil, membuat Raka berhalusinasi hingga salah mengenali Anggi.
Raka memeluk erat Anggi, padahal yang ada dalam pandangan serta akalnya adalah Adhis, bahkan Ia tak memberi anggi kesempatan untuk menjawab, karena ia buru-buru membungkam bibir merah muda tersebut. Menyesapnya penuh rindu. “Akhirnya kamu kembali, maafkan Mas, Sayang. Mas janji tak akan memaksamu lagi untuk datang ke rumah Ibu, yah sesuai permintaanmu, dunia kecil kita hanya disini, dan cukup cinta kita yang mewarnai. Mas hanya mencintaimu, hanya kamu yang Mas butuhkan sebagai istri.”
Kalimat itu meluncur, bak anak panah yang dilepas dari busurnya, menghujam tepat di titik sasaran.
Prak!
Membuat Hati Anggi retak seketika.
Selama ini ia terima semua pemberian raka, ia juga terima jika Raka hanya membutuhkan rahimnya untuk melahirkan penerus keluarga Adhitama. Bahkan ketika Raka menyentuh tubuhnya, yang pria itu bayangkan serta dengungkan di sela-sela rasa nikmat, adalah nama Adhisty. Pun dengan besar hati Anggi menerimanya, karena memang itulah tugasnya sebagai ganti biaya pengobatan Bu Ema.
Tapi kini, hatinya seolah memberontak, ia marah, dan akal sehatnya mulai berunjuk rasa. Bagaimanapun ia tetap seorang istri, mendambakan cinta suami adalah fitroh alami.
Jadi ketika saat ini Raka menghujaninya dengan ciuman dan kata-kata cinta yang selama ini ia rindukan, hati kecilnya tak kuasa menolak, akalnya ikut bersorak. Hingga rindu itu pun melebur jadi satu, dalam desah rasa nikmat yang terbalut peluh kerinduan. Raka yang terlalu merindukan Adhis, sementara Anggita rindu diperlakukan hangat selayaknya seorang istri yang dicintai.
Anggi tak peduli, kendati ruangan itu bukan miliknya, satu hal yang pasti ia juga adalah istri dari pria yang kini menikmati tubuhnya.
Jadi tak ada dosa diantara mereka karena ada ikatan sah yang menghalalkannya.
Detik berganti menit, hingga menit berganti jam, entah berapa lama mereka bertukar peluh, hingga tak menyadari ada sepasang mata yang diam membatu di depan pintu.
Brak!!!
…
Wis … ajur lur … ajur … 🤧🤧