Namanya Erik, pria muda berusia 21 tahun itu selalu mendapat perlakuan yang buruk dari rekan kerjanya hanya karena dia seorang karyawan baru sebagai Office Boy di perusahaan paling terkenal di negaranya.
Kehidupan asmaranya pun sama buruknya. Tiga kali menjalin asmara, tiga kali pula dia dikhianati hanya karena masalah ekonomi dan pekerjaannya.
Tapi, apa yang akan terjadi, jika para pembenci Erik, mengetahui siapa Erik yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Erik
Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam. Di sebuah rumah mewah, nampak seorang wanita duduk dengan gelisah. Matanya sesekali menatap pintu utama rumah yang dia huni. Sepertinya, wanita itu sedang menunggu seseorang.
"Kamu tidak istirahat, Sayang?" tanya seorang pria dari arah ruang tengah, sembari menenteng secangkir kopi.
Wanita itu menoleh, menatap suaminya dengan kening sedikit berkerut. "Kenapa Mas tidak pake baju?" bukannya menjawab sang suami, wanita itu malah melempar pertanyaan pada pria yang yang hanya mengenakan celana pendek.
Sang suami tersenyum dan memilih duduk di dekat istrinya. "Kenapa? Kamu pasti suka tubuh suamimu ini kan? Pengin raba tidak?" godanya sambil cengengesan.
"Dih.." sang istri mencibir, lalu berpaling. Sedangkan suaminya terkekeh bahagia.
"Erik kenapa nggak pulang-pulang sih, Mas?" wanita itu kembali melempar pandangannya sejenak ke arah jendela kaca yang terpampang di di samping kiri pintu utama rumah tersebut.
"Emang kenapa? Baru juga jam 9. Lagian kan dia pergi bareng Tantenya," sang suami malah menanggapinya dengan sampai, tapi sang istri langsung mendengus.
"Bukan masalah pergi sama siapanya. Tapi dia belanja kaya udah mau buka toko. Aku tidak suka, dia terlalu menghamburkan uang," protes Namira.
Castilo menggeleng heran. "Ya nggak apa-apa, Sayang. Cuma belanja segitu doang. Lagian kan, mungkin semua barang itu memang dibutuhkan Erik."
"Tapi nggak gitu juga caranya Masa membeli barang langsung banyak. Aku cuma nggak mau, mentang-mentang sekarang banyak duit, Erik jadi anak yang konsumtif, terus tumbuh sifat sombong dan malas."
Castilo mengangguk paham. Biar bagaimanapun dia memahami keinginan istrinya. "Mungkin itu sebagian dibelikan Tantenya juga. Udah ya, jangan terlalu khawatir," Castilo berusaha menenangkan sang istri.
Namira kembali mendengus, lalu dia teringat sesuatu sampai dia menatap suaminya. "Ibu kenapa tidak nginep di sini, Mas?"
Sejenak Castilo menyesap kopinya yang mulai mendingin sebelum menjawab pertanyaan istrinya.
"Kamu kan tahu, di sini cuma ada dua kamar. Jadi ya terpaksa mereka nginep di hotel," jawab Castilo enteng.
Bibir Namira mencebik. "Bisa-bisanya ada orang tua ke sini, malah dibiarin nginep di hotel. Harusnya ini kan kesempatanku, agar bisa lebih dekat dengan mereka. Eh, kamu malah sengaja menjauhkan kita lagi. Harusnya rumah segede ini tuh kamarnya banyak. Kaya nggak punya keluarga besar aja."
"Astaga!" Castilo terperangah. Istrinya kalau sudah ngomel, tuduhannya sangat mengejutkan sekaligus menciutkan nyali sebagai pria yang paling disegani.
"Ya sudah, besok kamu atur, ruang mana aja yang pantas dijadikan kamar," Castilo memilih mengalah. Daripada melawan, bisa-bisa dia gagal mengejar misinya untuk menambah anggota keluarga kecilnya.
Namira hanya menanggapinya dengan wajah ketus, lalu dia kembali melempar pandangan ke arah jendela kaca. Namun yang ditunggu belum menampakan diri sama sekali, membuat wanita itu semakin kesal dan khawatir.
"Mas, coba deh, Denada dihubungi. Lagi pada dimana mereka? Masa jam segini belum pada pulang?" Namira seketika memberi perintah.
"Mereka sedang dalam perjalanan pulang, Sayang. Supirnya nganter Denada ke hotel dulu, jadi agak lama," balas Castilo enteng lalu segera meraih cangkir kopi yang dia letakkan di atas meja.
"Astaga!" Namira langsung menampar bahu kiri suaminya.
"Aduh!"
"Kenapa Mas nggak bilang dari tadi?"
"Kan kamu nggak tanya, Sayang."
"Hih!" Namira kesal, sedangkan Castilo malah cengengesan. "Perasaan tadi, mereka tidak bawa supir, Mas?"
"Paling Denada telfon Alex. Lagian kan kamu tadi lihat, barang belanjaan Erik malah sampai duluan. Itu orang kita juga."
Namira sedikit tercenung mendengar jawaban suaminya. Lalu setelahnya, wanita itu mengangguk beberapa kali dengan bibir membulat.
"Emang selama ini, Erik nggak pernah pulang malam apa?" tanya Castilo. Seketika dia penasaran dengan kehidupan anaknya sebelum mereka bertemu.
"Ya jarang. Kalau pulang malam juga, mainnya nggak jauh dari rumah. Makanya aku takut, dia berubah setelah pegang uang banyak."
Castilo mengangguk paham. "Emang dia nggak pernah pegang uang banyak?"
"Ya jarang banget lah. Dia paling pegang uang buat beli bensin kalau pinjam motor temannya, atau buat jajan. Dia tuh hampir tidak pernah belanja-belanja kaya gini. Beli baju juga paling satu. Itu aja nggak tiap bulan."
Castilo terdiam untuk beberapa saat. Ada yang tersentil dalam benaknya mendengar cerita tentang anaknya. Rasa bersalahnya kembali menyeruak hingga dia menghela nafas panjang untuk menetralkan gemuruh di hatinya.
"Apa, dia juga mengalami pembulian?" Pertanyaan Castilo sontak membuat sang istri membalas tatapannya dan mereka saling pandang beberapa detik sampai sang istri kembali melempar pandangan ke arah luar.
"Yah, lumayan sering," balas Namira pelan. "Apa lagi waktu kecil, jamannya baru masuk sekolah. Karena hidup tanpa ayahnya, Erik kerap sekali mendapat perlakuan buruk. Jika dia nakal sedikit, sering dituduh yang tidak-tidak hanya karena dia tidak memiliki ayah. Bahkan dia sering menjadi pelampiasan kemarahanku,hanya gara-gara dia menanyakan ayahnya. Padahal dari kecil, dia anak penurut. Jarang sekali melawan Ibunya. Tapi aku sering bertindak kelewatan jika merengek dan bertanya tentang ayahnya."
Castilo menatap sang istri dengan perasaan yang campur aduk. Penyesalannya semakin melebar, sampai dia tidak bisa mengeluarkan kata untuk sekedar bertanya atau membela diri. Dia sadar, anaknya selama ini menderita karena dirinya, yang menghilang tanpa kabar.
"Maaf," cuma itu yang bisa Castilo ucapkan.
Namira tersenyum. "Sudahlah. Ngapain minta maaf," ucapnya lembut. "Walaupun terlambat, setidaknya dia sekarang bisa menunjukan pada dunia, kalau dia bukan anak haram."
Castilo menangguk setuju dan dia tersenyum hambar.
"Oh iya, Mas, tadi Tuan Carlos bilang, dia akan menyiapkan beberapa orang yang pandai di bidangnya, sebagai gurunya Erik."
"Tuan Carlos? Dia itu mertua kamu, Sayang. Masa manggilnya Tuan sih," protes Castilo.
"Heheheh ..." Namira malah tertawa. "Maaf, orang belum terbiasa."
"Daddy ngomong seperti itu? Kapan?"
"Tadi, waktu aku sama mereka makan bareng. Katanya, Daddy yang akan mengurus semuanya, agar Erik bisa pintar mengurus perusahaan kaya kamu."
'Nggak! Nggak bisa!" diluar dugaan Castilo malah menolaknya dengan tegas.
"Kenapa nggak bisa?" Tentu saja, penolakan Castilo membuat sang istri terkejut dan penasaran.
"Pokoknya aku nggak setuju kalau Daddy yang menyiapkan guru untuk ngajar Erik. Biar aku aja. Aku juga mampu menyiapkan orang yang berkompeten."
"Emang apa masalahnya? Niat Daddy kan baik? Lagian, aku juga sudah menyetujuinya."
"Apa! Kamu menyetujui usulan Daddy?" Castilo malah nampak terkejut. "Kenapa kamu malah menyetujuinya, Sayang?"
"Emang apa salahnya sih? Orang Daddy udah niat baik, ya aku trima. Lagian salah kamu sendiri tadi nggak mau ikut makan. Pakai acara ngambek segala sama Mommy."
"Nggak, nggak, nggak! Intinya aku nggak setuju dengan usulan Daddy, titik!" Castilo langsung bangkit sembari menghubungi seseorang.
"Kenapa Mas Cal malah marah? Aneh," sikap Castilo sontak menumbuhkan banyak pertanyaan dalam benak Namira.