Kisah cinta si kembar Winda dan Windi. Mereka sempat mengidamkan pria yang sama. Namun ternyata orang yang mereka idamkan lebih memilih Windi.
Mengetahui Kakanya juga menyukai orang yang sama dengannya, Windi pun mengalah. Ia tidak mau menerima lelaki tersebut karena tidak ingin menyakiti hati kakaknya. Pada akhirnya Winda dan Windi pun tidak berjodoh dengan pria tersebut.
Suatu saat mereka bertemu dengan jodoh masing-masing. Windi menemukan jodohnya terlebih dahulu dibandingkan Kakaknya. Kemudian Winda berjodoh dengan seorang duda yang sempat ia tolak lamarannya.
Pada akhirnya keduanya menjalani kehidupan yang bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi
Noval memanggil Windi untuk menemuinya di ruangannya. Windi pun pergi menemui Noval. Windi melaporkan hasil kerjanya hari ini.
"Baguslah Mbak. Berarti Tuan Javier sudah cocok."
"Hem, iya. Noval, aku mau kembali kerja dulu."
"Iya, Mbak."
Windi kembali lagi ke ruangannya.
Satu jam kemudian.
Tidak terasa jam kerja sudah usai. Windi merapikan meja kerjanya yang berantakan.
"Ayo Ein, pulang!"
"Iya Mbak Dinda, duluan. Aku mau shalat dulu."
"Oke."
Setelah selesai merapikan mejanya, Windi pergi ke Mushalla untuk shalat ashar. Kebetulan Doni juga shalat ashar. Mereka masih sempat bertegur sapa.
Selesai shalat, Windi langsung turun ke parkiran. Ia sudah siap-siap akan pulang. Namun Doni masih mengajaknya bicara.
"Sudah mau pulang, Win?"
"Iya, Pak."
"Rumahmu di mana?"
"Rumah saya. Itu daerah Wiyung."
"Lumayan jauh ya."
"Iya Pak. Mari, saya duluan."
"Iya, silahkan."
Entah kenapa Doni penasaran kepada Windi. Doni pun tancap gas untuk pulang ke rumah.
Javier baru saja sampai di rumah sakit. Ia membawa buah dan roti untuk menjenguk Ari. Javier masuk ke ruang rawat inap Ari. Bu Nining sangat senang saat orang yang menolong anaknya datang. Ia tidak bisa berkata apa-apa selain ucapan Terima kasih berkali-kali.
"Maaf, bu. Setelah ini, tolong jaga Ari baik-baik. Jangan biarkan dia jualan koran lagi."
"Iya, Tuan. Saya sudah melarangnya. Tapi anak ini kekeh mau membantu saya. Kami memang hidup pas-pas an bahkan kekurangan. Ini anak saya yang sudah menikah juga hidup seadanya, Tuan."
"Tolong jangan panggil saya Tuan bu. Panggil saja nama saya, Javier. Bu, nanti saya akan berikan Ibu modal agar bisa jualan di rumah. Agar Ari tinggal sekolah dan belajar saja. Apa Ibu mau?"
"Masyaallah, Tuan. Eh Javier. Anda ini siapa sebenarnya? Kenapa anda sangat baik kepada kami?"
"Jangan dipirkan saya ini siapa. Saya hanya hamba Allah. Ini bu, uang untuk Ibu. Setelah ini saya juga akan melunasi perawatan Ari sampai satu minggu ke depan. Maaf saya tidak bisa setiap hari datang ke sini. Karena saya sangat sibuk."
"Tidak apa-apa, saya mengerti. "
Setelah pulang dari rumah sakit, Javier pergi ke basecamp tempatnya berkumpul dengan teman-temannya. Namun saat di jalan, Kirana menghubunginya.
" Hallo Honey... "
"Biasakan ucapkan salam, Kiran."
"Iya, maaf lupa. Saking senangnya aku. Honey, makasih sudah dikirim uangnya. Aku sudah membeli skin care dan beberapa alat make-up. Lihatlah ini!"
"Iya."
"Honey, ini juga demi menjaga aset untuk calon istrimu lho. Kamu pasti tidak mau calon istrimu ini jelek, kusam, dan tidak menarik,ya kan?"
"Iya, tapi kamu juga harus pintar mengelola keuangan. Jangan bisanya belanja terus. Boleh saja kamu belanja, tapi jangan berlebihan."
"Oh itu sudah pasti, honey. Kamu kok jadi perhitungan gini sih sama aku?"
"Bukan begitu juga. Aku tidak masalah uang itu kamu pakai untuk apa pun. Yang penting digunakan sebaik-baiknya. Banyak orang di luaran sana yang susah mencari uang."
"Jangan mulai lagi deh, honey! Setelah ini aku tidak akan minta lagi. Kamu fokus untuk seserahan dan acara pernikahan kita nanti."
"Sudah dulu, ya. Aku masih di jalan. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Javier memilih menutup telponnya untuk menghindari perdebatan yang pasti akan berujung pertengkaran. Ia menyetel lagu pop barat untuk menemani perjalanannya. Tidak lama kemudian, ia pun sampai di basecamp. Beberapa temannya sudah menunggu.
Sementara Windi baru saja sampai di rumah jam 17.09.
"Windi ini ada undangan."
"Dari siapa, Bunda?"
"Katanya teman kamu, namanya Shita."
"Oh Shita. Ah dia beneran nikah ternyata. Tanggal 20. Berarti satu minggu lagi. Makasih ya, Bun."
"Iya."
"Mbak Winda ada di rumah, Bun?"
"Ada, seharian dia di rumah saja tuh."
"Oh..."
Windi pun naik ke atas dan masuk ke dalam kamarnya.
Hari sudah malam. Semua orang orang di rumah itu tidur dengan nyenyak.
Windi melihat Reno jatuh dari motornya. Ia ingin menghampiri Reno. Namun ada sebuah tangan yang mencegahnya.
"Kak Reno... "
Reno hanya bisa merintih kesakitan. Namun ia berhasil bangun karena dibantu oleh seorang perempuan. Windi melihatnya dari kejauhan. Mungkin Reno kecewa. Namun uluran tangan wanita itu membuatnya sedikit tersenyum.
Windi berusaha melepaskan tangannya dari orang yang saat ini menggenggam lengannya. Namun tangan itu lebih kuat. Windi juga berusaha melihat wajahnya, namun pria itu memakai surban yang dipakai di kepalanya untuk menutup wajahnya sehingga hanya matanya yang terlihat. Saat Windi melihat mata itu, ia pun terbangun dari mimpinya.
"Astagfirullah... Alhamdulillahilladzi achyanaa ba'da maa amaa tanaa wailaihin nushur."
Ia mengatur nafasnya yang tersenggal-senggal. Ia mengingat lagi mimpinya.
"Ya Allah, mimpi apa aku ini."
Ia melihat jam dinding yang menunjukkan angka 2.
Windi beranjak ke kamar mandi.Ia tak melewatkan waktunya untuk shalat malam.
Malam ini hatinya gelisah. Ia bermunajat kepada Allah meminta ampun dan meminta ketenangan hati dan kelancaran dalam pekerjaannya.
Keesokan harinya.
Windi menghabiskan waktunya di rumah karena hati ini wekeend, kerjanya libur. Sedangkan Winda, ia keluar untuk membuat persiapan usahanya. Sebenarnya Windi ingin ikut kembarannya. Namun ia berubah pikiran karena ingin istirahat mengumpulkan tenaga untuk pekerjaannya yang belum selesai.
Winda pamit kepada Bunda dan Abinya.
Setelah kepergian Winda, Windi pergi ke taman belakang. Ia duduk di pinggir kolam ikan sambil memberi makan ikan. Bunda Salwa menghampirinya.
"Windi... "
"Aduh kaget aku, Bun."
"Lha kamu ngasih makan ikan spa mau bikin ikannya mati? Lihat itu pakannya kamu tuang semua."
"Astagfirullah.... "
Windi baru sadar dengan perbuatannya.
"Lagian kamu kenapa kok melamun? Kalau pekerjaanmu membuatmu setres, mending kamu ndak usah kerja deh. Nikah saja!"
"Bunda... ujung-unungnya malah disuruh nikah sih? Aku ndak mumet gara-gara pekerjaanku, Bunda. Tapi karena hal lain."
"Apa itu? Coba cerita sama Bunda."
Windi pun menceritakan tentang mimpinya semalam. Bunda Salwa menjadi pendengar yang baik untuknya.
"Boleh Bunda kasih masukan?"
"Tentu."
"Windi, mungkin kamu merasa bersalah kepada Reno, makanya sampai kebawa mimpi. Meski kamu berbohong demi kebaikan, yang namanya bohong tetap saja dosa. Coba kamu minta maaf dan bilang yang sejujurnya."
"Huft... Bunda benar sih. Tapi.... "
"Bunda dan Abi tidak pernah mengajarkan kalian berbohong. Setidaknya kamu bilang kalau kamu menolaknya karena ingin menjaga hati kembaranmu. Itu saja. Kalau masalah kamu bilang sudah dijodohin, ya.... mungkin omonganmu bisa jadi do'a."
"Bunda... nggak mau ya aku dijodohin. Bunda jangan gitu dong."
"Hehe... ndak. Maksud Bunda Allah yang
nge-jodohin kamu nanti. Sudah ayo ke dalam. Itu keponakanmu minta tolong dijagain. Ayah sama Bundanya mau ke kondangan."
"Iya, Bunda."
Dalam angan Windi, ia masih memikirkan sosok pria yang memegang tangannya di dalam mimpi.
Bersambung...
...****************...
semangat menulis dan sukses selalu dengan novel terbaru nya.
apa lagi ini yang udah 4tahun menduda. 😉😉😉😉😉😉