Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Gila
Haryo menatap Kirana yang terbaring di sofa dengan kondisi lemah, tetapi tatapan gadis itu tetap menunjukkan ketakutan bercampur tekad. Ia mencoba duduk meskipun tubuhnya terasa berat akibat obat yang diberikan Haryo.
“Tolong... aku ingin pulang,” bisik Kirana, suaranya lemah namun masih penuh harapan.
Haryo mendekat, senyumnya dingin. “Tenang, Kirana. Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin membuatmu nyaman.”
Kirana berusaha menjauh, tangannya bergetar saat mencoba menopang tubuhnya. “Jangan... aku bilang, jangan dekati aku!” teriaknya dengan suara serak, tetapi tubuhnya tak mampu memberikan perlawanan yang cukup.
Haryo mendekatkan wajahnya, mencoba menenangkan dengan nada manis yang menyembunyikan maksud jahatnya. “Aku akan melakukannya dengan lembut, Kirana. Kamu hanya perlu percaya padaku.”
Air mata mulai mengalir di pipi Kirana. Ia menatap Haryo dengan pandangan penuh permohonan. “Aku mohon... aku nggak mau. Tolong, biarkan aku pergi.”
Namun, Haryo tidak berhenti. Tangan dinginnya mencoba menyentuh bahu Kirana, tetapi sesuatu di dalam diri gadis itu mendorongnya untuk melawan. Meski tubuhnya lemah, ia berusaha menepis tangan Haryo.
“Tidak! Jangan sentuh aku!” jerit Kirana, tangannya menggapai vas bunga di meja kecil di sebelah sofa. Dengan sekuat tenaga, ia melemparkan vas itu ke arah Haryo. Vas itu mengenai bahu pria itu, membuatnya mundur selangkah.
“Apa-apaan kamu?!” bentak Haryo, kini suaranya berubah keras, menghapus semua kepura-puraan.
Kirana memanfaatkan momen itu untuk merangkak menjauh. Tangannya gemetar saat mencoba membuka pintu kamar, tetapi tubuhnya tidak cukup kuat untuk berdiri tegak. Napasnya tersengal, tetapi tekadnya tidak goyah.
“Tolong... siapa pun! Tolong aku!” teriak Kirana sekuat tenaga.
Teriakan itu memancing perhatian dari lorong hotel. Seorang pelayan yang sedang lewat berhenti, mendengar suara gadis itu dari dalam kamar. Dengan cepat, pelayan itu mengetuk pintu.
“Permisi, ada yang bisa saya bantu? Saya dengar suara seseorang meminta tolong,” kata pelayan itu dari luar.
Wajah Haryo memucat seketika. Ia tahu situasinya bisa menjadi buruk jika seseorang mengetahui apa yang terjadi. Dengan cepat, ia menghampiri pintu dan berteriak, “Tidak apa-apa! Teman saya hanya mabuk dan sedang istirahat.”
"Baiklah, jika kalian butuh sesuatu, bisa hubungi tim resepsionis" ujar pelayan tersebut yang langsung pergi, Haryo kembali menutup pintu kamar dan menatap tajam Kirana "Memangnya kau bisa pergi dari sini dengan mudah?" Haryo mendekati Kirana dan menyentuh wajah Kirana lembut "kau sangat cantik, kau hanya tinggal menikmati malam ini dengan tenang, jika kau turut kepada saya" ujar Haryo
Haryo menggendong tubuh lemah Kirana dan menidurkannya di atas ranjang, Haryo merangkak di atas tubuh Kirana dan langsung mencium Kirana dengan lembut "Tolong pak, biarkan saya pergi" Kirana masih meronta ronta, namun Haryo seolah tidak mendengar ucapan Kirana, Haryo terus menciumi tubuh wangi Kirana dan terus melucuti baju Kirana tubuh Kirana sudah polos tanpa sehelai benangpun.
"Wow, tidak menyesal saya menghargaimu dengan harga mahal" Haryo mengaggumi tubuh Kirana, Kirana yang sudah lemah bahkan sudah sangat sulit untuk membuka matanya.
Malam itu Haryo berhasil bermain dengan tubuh perawan Kirana, Haryo merasa puas dengan apa yang di lakukan kepada Kirana, malam itu Haryo penuh kepuasan, sementara air mata Kirana tidak berhenti berjatuhan.
...****************...
Pagi itu, sinar matahari yang menembus tirai tebal kamar hotel membuat Kirana perlahan membuka matanya. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lemah, dan perasaan tidak nyaman menyeruak di seluruh tubuhnya. Ia memandang sekeliling dengan bingung, hingga matanya tertuju pada bercak darah di seprai putih.
Ia terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang terjadi. Lalu, kenyataan menghantamnya seperti badai. Kirana memeluk tubuhnya yang tidak tertutup sehelai benang pun, perasaan malu dan marah bercampur jadi satu.
Langkah-langkah berat terdengar mendekat. Pintu kamar mandi terbuka, dan Haryo muncul dengan hanya mengenakan handuk di pinggangnya. Ia menyeringai, santai seperti tidak ada yang salah.
"Kenapa… kenapa kau melakukan ini padaku?" teriak Kirana, suaranya parau, nyaris menangis.
Haryo menatapnya tanpa rasa bersalah. "Kenapa? Aku sudah membayar mahal untukmu, Kirana. Mana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan ini."
Kirana merasa seperti disambar petir. Ia menggelengkan kepala, tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. "Membayarku? Apa maksudmu?!"
Haryo mendekat, memasang ekspresi yang seolah menganggap pertanyaannya naif. "Ibumu yang membuat kesepakatan. Dia tahu betul nilaimu. Gadis muda, cantik, polos… Itu bukan tawaran yang datang setiap hari. Aku hanya memanfaatkan apa yang sudah dibeli."
"Bohong! Mamah tidak mungkin melakukan ini!" Kirana berteriak, air matanya mengalir deras.
Haryo tertawa kecil, dingin. "Tanyakan saja padanya nanti. Aku hanya menyelesaikan kesepakatan kami. Lagipula, bukankah ibumu yang membawamu ke sini? Kamu tidak bodoh, Kirana. Kamu pasti sudah menyadari ada sesuatu yang salah."
Kirana memeluk dirinya lebih erat, menggigil. Ia merasa dunia di sekelilingnya runtuh. "Kau… kau menghancurkan hidupku," bisiknya lemah, tetapi penuh kepedihan.
Haryo mendekat, menunduk untuk menyamai pandangannya. "Hancur? Justru ini awal dari semuanya. Kamu tahu berapa banyak gadis yang bermimpi ada di posisimu? Hidupmu bisa berubah total jika kamu bermain dengan cerdas. Dan aku bisa membantumu, Kirana."
Kirana menatapnya tajam, kebencian membakar matanya. "Aku tidak mau bantuanmu. Aku tidak butuh apa pun darimu!"
Haryo berdiri tegak kembali, mengangkat bahu dengan santai. "Itu terserah kamu. Tapi uang sudah ditransfer ke ibumu. Jika aku jadi kamu, aku akan menerima kenyataan ini dengan lebih bijak."
Kirana tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia menutupi wajahnya dengan tangan, tubuhnya bergetar karena emosi.
Melihat itu, Haryo hanya menghela napas. "Aku akan memberimu waktu untuk tenang. Kamu bisa mandi dan ganti pakaian. Jangan lupa, aku sudah memesankan sarapan untukmu."
Setelah itu, Haryo berjalan keluar kamar, meninggalkan Kirana yang terpuruk dalam keputusasaan. Ia merasa sendirian, dikhianati oleh orang yang seharusnya melindunginya. Dalam pikirannya, hanya satu pertanyaan yang terus menggema,Bagaimana ini bisa terjadi?
...****************...
Di siang hari yang cerah, telepon Arini berdering, menampilkan nama Mirna di layar. Tanpa pikir panjang, Arini segera mengangkatnya, berharap kabar baik yang ia tunggu-tunggu.
"Halo, Mirna?" suara Arini terdengar penuh harap.
"Rin, aku mau mengabarkan bahwa transaksi kita sudah selesai. Uangnya sudah masuk ke rekeningmu. Tentu saja, aku potong sepuluh persen untuk jasa penyaluran, seperti biasa," ujar Mirna santai, suaranya terdengar puas.
Arini tersenyum lebar, merasa lega mendengar kabar itu. "Terima kasih, Mir. Kamu memang selalu bisa diandalkan. Ini benar-benar membantu kami keluar dari masalah."
"Tentu saja, Rin. Aku kan profesional," Mirna tertawa kecil. "Oh, dan ngomong-ngomong, Haryo bilang Kirana punya potensi besar. Kalau kamu tertarik untuk kerja sama lagi, pintu selalu terbuka."
Arini mengangguk meski Mirna tidak bisa melihatnya. "Aku akan pikirkan itu nanti, Mir. Untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati hasilnya dulu."
Setelah telepon berakhir, Arini segera memeriksa ATM-nya. Saat melihat saldo rekening yang bertambah banyak, wajahnya cerah. Ia merasa beban yang menghimpitnya selama ini perlahan terangkat.
"Ini yang kita butuhkan," gumamnya pada diri sendiri, seolah membenarkan tindakannya. Ia tidak memikirkan apa yang mungkin dirasakan oleh Kirana, anak yang baru saja ia korbankan untuk kenyamanan hidupnya.
Dalam pikirannya, uang itu adalah solusi untuk semua masalahnya. Dengan dana itu, ia bisa kembali menunjukkan eksistensinya di lingkungan sosialitanya dan mempertahankan citra yang selama ini ia banggakan.
Namun, di kamar hotel yang lain, Kirana sedang berjuang menghadapi trauma yang akan membekas seumur hidup. Sementara itu, ibunya hanya memikirkan saldo rekening, mengabaikan kenyataan bahwa hidup putrinya baru saja dihancurkan oleh keegoisannya sendiri.