Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingin Bahagia
Karina tidak mendengar suara apa pun dari arah dapur ketika ia keluar dari kamar. Melangkah pelan, Karina tidak menemukan Nino di sana. Ia melihat beberapa sayuran yang tergeletak begitu saja di counter table. Matanya beralih pada lemari kitchen set atas yang terbuka.
Terkejut, Karina segera menyadari jika ia menyembunyikan pisau di sana. Ia segera mencari keberadaan Nino.
"Mas!" panggilnya dengan langkah cepat menuju ruang baca. Karina tidak menemukannya di sana. Lalu, bergegas kembali menuju halaman belakang dan Nino berdiri di sana dengan pakan ikan di tangannya.
"Mas."
Nino menoleh, lalu tersenyum walau sedikit dipaksakan. Sisa-sisa ketegangan masih terlihat di wajahnya.
"Kamu ngapain?" tanya Karina bingung. Tidak biasa melihat suaminya memberi makan ikan di pagi buta seperti ini.
Nino mengangkat pakan ikan yang berada di stoples kecil dalam genggamannya. "Ngasih makan ikan."
Karina memerhatikan wajah pria itu. Nino sempat menarik napas dalam beberapa kali.
"Kamu gak apa-apa, Mas?"
"Aku gak apa-apa." Nino melemparkan lagi pakan ikan itu dan ikan-ikan di kolam kecil di sana menyambutnya dengan antusias. Sadar terus ditatap oleh Karina, Nino membuang napas panjang. Lalu, menoleh. "Sebenarnya enggak, aku … sempat terkejut karena lihat pisau di lemari."
Karina segera memeluk Nino. "Maaf, aku menyimpannya di tempat yang salah." Karina mendongak. "Harusnya aku gak diam-diam menyimpan benda itu."
Nino tersenyum kaku. Ia menutup stoplesnya sebelum membalas pelukan Karina. "Enggak, Karin. Harusnya aku yang mulai membiasakan diri lagi. Aku gak mau terus-menerus seperti ini."
"Kamu jangan terlalu memaksakan diri."
"Tapi … Karin." Nino merenggangkan pelukannya. "Gimana kamu tahu tentang ini? Kayaknya aku gak pernah cerita kalau …."
"Ibu yang kasih tahu, Mas. Aku sengaja tanya waktu Mbak Tika bilang pernah dimarahi karena simpan pisau di sini, tapi Ibu gak bilang alasannya. Aku gak tanya kamu karena takut kamu gak nyaman."
"Harusnya aku bilang semuanya dari awal sama kamu." Nino mengusap wajah Karina yang memerah dengan ibu jarinya. Merasa suhu tubuh Karina lebih hangat, Nino meletakkan punggung tangan di dahinya. "Kamu demam lagi, sebaiknya kamu istirahat, ya."
Karina mengangguk. Nino merangkul pundak Karina dan mengantarnya ke kamar. Nino masih sedikit tidak nyaman dengan kejadian tadi. Bayangan hari itu, terus menerus melintas dalam benaknya. Namun, sebisa mungkin ia menyembunyikan kepanikannya dari Karina. Walau ia yakin, Karina masih bisa melihatnya dengan jelas.
***
Nino berlutut di hadapan Karina yang duduk di tepi ranjang. Ia memegang kedua tangan wanita itu, lalu menciumnya. Hati Karina menghangat, hanya diperlakukan begitu saja, Karina merasa sangat dicintai.
Nino mendongak menatap Karina. "Kamu gak apa-apa di rumah sendiri, kan? Aku gak bisa izin hari ini, soalnya ada meeting penting siang nanti."
"Gak apa-apa kok." Karina tersenyum.
Nino beranjak berdiri, lalu duduk di samping Karina tanpa melepaskan genggaman tangannya. "Tapi aku janji hari ini gak akan pulang malam. Sebisa mungkin, aku pulang lebih awal."
"Kamu jangan maksain pulang awal kalau banyak kerjaan." Karina balik memegang tangan Nino. "Kamu juga jangan terlalu khawatir sama keadaan aku. Aku baik-baik aja, kok."
Seulas senyum terbit di bibir pria itu. "Oke. Kalau gitu, aku siapin makan dulu buat kamu, ya."
Karina mengangguk. Setelah itu, ia berbaring dan Nino berjalan keluar kamar. Karina terus memandangi punggung suaminya sampai menghilang di balik pintu. Ia lebih mengkhawatirkan Nino daripada dirinya sendiri.
Akhir-akhir ini, banyak sesuatu yang mengingatkan Nino pada masa lalu dan berakibat pada traumanya. Terutama ketika dia merasa khawatir.
Semalam, ia sempat menghubungi Amira untuk bertanya apa saja yang harus dihindari agar tidak mengingatkan Nino pada kejadian masa lalu yang sebenarnya Karina belum tahu detailnya.
Dan, Amira mengatakan jika Karina bisa menghubungi Nino sesekali agar suaminya tidak merasakan kekhawatiran yang berlebihan saat mereka berjauhan, atau ketika Karina bepergian sendiri. Karina merenung cukup lama, tanpa sadar membuat Karina mengantuk dan akhirnya tertidur.
***
Nino menuangkan sup ayam dengan uap yang masih mengepul ke dalam mangkuk. Selama mereka menikah, ini pertama kalinya Karina sakit. Walaupun hanya demam biasa, sebenarnya cukup membuat Nino panik dan khawatir. Lagi-lagi, sebisa mungkin ia harus menyembunyikan rasa khawatir dan paniknya. Meskipun sejak tadi, ia merasa tangannya sedikit gemetar.
Nino membuka pintu kamar dengan hati-hati dan ia melihat istrinya sedang terlelap. Nino berjalan pelan menuju tempat tidur. Walaupun jika langkahnya lebih cepat pun Karina tidak akan terbangun, tetapi dengan sangat hati-hati menghampiri wanita itu.
Meletakkan punggung tangan di dahi Karina, ia masih demam. Merasakan sentuhan di area wajah, Karina membuka mata perlahan.
"Kamu belum berangkat kerja, Mas?" tanya Karina setengah mengantuk.
"Sebentar lagi. Aku udah siapin makan buat kamu. Sebelum aku berangkat, kamu makan dulu, ya."
Karina sedikit mengeluh. Ia merasa tubuhnya tidak lebih baik dari sebelumnya, sekarang malah membuat kepalanya bertambah berat. Namun, ia segera ingat, Karina tidak boleh membuat Nino khawatir. Ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya sekarang. Dengan sedikit dipaksakan, Karina bangun dari posisi berbaringnya.
"Aku bawa makanannya ke sini, ya."
Karina menahan tangan Nino saat ia beranjak untuk mengambil makanan yang sudah disiapkan olehnya tadi. "Aku bisa ambil sendiri, kok."
"Enggak, kamu tunggu aja di sini." Nino mencium singkat puncak kepala wanita itu. Kemudian bergegas keluar dari kamar.
Nino meletakkan mangkuk berisi sup dan sepiring nasi ke nampan. Tidak lupa dengan segelas air. Nino melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Ia sudah meminta izin karena akan datang sedikit terlambat hari ini.
Kemudian, Nino membawa nampannya ke kamar. Ketika ia masuk, Karina sedang menatap keluar jendela besar kamar itu. Sepertinya keadaan istrinya tidak membaik. Nino jadi semakin khawatir meninggalkannya sendirian.
"Sayang."
Karina menoleh begitu mendengar suara suaminya. Ia tersenyum saat melihat Nino yang berjalan ke arahnya sambil membawa nampan.
Nino duduk di tepi ranjang dan untuk kesekian kalinya ia meletakkan punggung tangan di dahi istrinya.
"Demam kamu belum turun. Apa sebaiknya kita periksa ke dokter aja?"
Karina menggeleng pelan. "Gak usah, cuma agak sedikit pusing, tapi aku gak apa-apa, kok."
"Kalau gitu, nanti aku suruh Mbak Tika sampai sore di sini, ya. Biar kamu gak sendirian di rumah."
Karina diam sejenak. Inginnya menolak, tetapi ia tidak ingin membuat Nino khawatir karena meninggalkannya sendirian di rumah. Akhirnya, Karina mengangguk. Nino mengulas senyum saat Karina menyetujui usulannya. Kemudian, ia mulai menyuapi istrinya.
Nino tidak pernah melepaskan tatapannya dari Karina. Ia hanya mengalihkan tatapnya hanya saat menyendokkan nasi untuk wanita itu. Entahlah, ia tidak mengerti kenapa bisa begitu mencintai Karina. Ia bersedia memberikan apa pun asalkan dia bahagia. Ia ingin selalu membuatnya tersenyum.
Perlahan, Nino memerhatikan pipi istrinya semakin memerah dan selalu melarikan pandangannya. Mungkin, dia sadar karena ditatap terus menerus.
"Ngapain sih lihatin aku dari tadi, Mas?" Karina akhirnya mengutarakan keheranannya yang membuat dirinya salah tingkah.
Nino terkekeh, lalu ia kembali menyendok makanannya. "Emang gak boleh, ya?"
Karina mengatupkan bibirnya. "Aku malu tahu ditatap terus."
Nino meletakkan piring di meja dan menyodorkan air minum untuk Karina.
"Aku heran aja kenapa bisa secinta itu sama kamu."
Karina hampir saja tersedak mendengar kata-kata itu. Ya, meskipun bukan pertama kali mendengarnya, ia masih saja selalu terkejut.
"Kamu bahagia kan menikah sama aku?"
Karina menatap mata Nino yang selalu memancarkan kehangatan dan penuh kasih sayang. Karina tersenyum, lalu menggenggam kedua tangan pria itu. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu keluar dari mulut suaminya dan sebanyak apa pun pertanyaan itu jawabannya akan tetap sama, ia bahagia. Sangat. Sangat bahagia, juga beruntung mempunyai suami seperti Nino. Dia selalu berusaha menjadi suami terbaik untuknya.
"Sangat," jawab Karina tanpa ragu. "Aku sangat bahagia."
Ada keraguan di mata pria itu saat Karina menjawab jujur pertanyaannya.
"Aku punya banyak kekurangan, aku juga merasa … gak senormal orang lain."
Senyuman Karina sedikit memudar. Kemudian, ia menghela napas pelan.
"Aku belum bisa—-"
"Mas," Karina mengeratkan genggaman tangannya. "Kamu gak usah terbebani karena masalah itu. Aku bahagia menikah sama kamu. Sangat."
Nino merasa terharu. Ia menarik wanita itu ke dalam dekapannya.
"Suatu hari nanti, kita akan punya keluarga kecil yang bahagia. Punya anak perempuan yang mirip kamu dan anak laki-laki yang mirip denganku atau mungkin sebaliknya."
Tidak terasa air mata Karina menetes mendengar ucapan itu dari Nino.
"Itu sudah lama aku mimpikan, dan aku ingin segera mewujudkannya." Nino semakin mengeratkan pelukannya.
Dalam angan-angannya selalu terbayang, bagaimana mereka punya anak perempuan dan laki-laki yang mewarnai hari-hari mereka. Ia ingin mendengar seseorang memanggilnya dengan sebutan Papa. Ia ingin mendengar kata pertama dari malaikat kecilnya ketika sedang belajar berbicara. Ia ingin mengajarkan bagaimana cara berjalan yang benar ketika anaknya memasuki masa usia emasnya. Mimpi yang sederhana, tetapi sangat sulit untuk dicapai olehnya.
Semua disebabkan karena ketidakmampuannya, ia masih merasa takut. Walaupun Karina tidak mengalami hal yang sama seperti Clarissa, tetapi bayangan itu selalu saja menghantui. Bagaimana Clarissa selalu histeris ketika disentuh dan suara tangisannya yang meraung-raung karena teringat hari yang mengerikan itu. Semua itu tidak bisa hilang begitu saja dalam ingatan Nino.
Nino ingin segera lepas dari segala mimpi buruk masa lalu yang membelenggunya. Ia tidak ingin semua itu menjadi penghalang menuju kebahagiaannya bersama Karina.
"Aku ingin kita bahagia, Karina." Nino berujar setengah berbisik.
"Kita bisa, Mas. Kita pasti bisa," ucap Karina dengan isak tangis yang tertahan.