NovelToon NovelToon
TARGET OPERASI

TARGET OPERASI

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Bullying di Tempat Kerja / Mata-mata/Agen / TKP / Persaingan Mafia
Popularitas:536
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?

Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5: Kasus pertama

Arga yang sudah mulai merasa seperti anak ayam kehilangan induk, duduk sendirian di meja dengan ekspresi bingung. Semua orang sudah berlarian ke lapangan, sementara dia hanya bisa menghabiskan waktu dengan mengklasifikasi dokumen-dokumen yang berserakan di atas meja. Tumpukan kertas itu seolah menjadi musuh yang tak ada habisnya, dan Arga mulai merasa seperti pegawai kantor biasa, bukan seorang polisi yang siap menyelamatkan dunia.

Dia baru saja mulai memilah-milah dokumen yang entah penting atau tidak, ketika pintu ruangannya terbuka perlahan. Seorang wanita dengan penampilan serba tertutup masuk, mengenakan topi besar, kacamata hitam yang sepertinya lebih cocok untuk artis, dan masker yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Hanya bagian mata yang terlihat, dan dari tatapan mata itu Arga bisa merasakan aura ketakutan yang jelas—seperti orang yang sedang takut ditangkap karena melanggar aturan.

Arga langsung mendongak, sedikit terkejut melihat penampilan wanita itu yang tampaknya lebih mirip dengan agen rahasia daripada orang yang hendak melapor ke polisi. “Ehm, ada yang bisa saya bantu?” Arga bertanya dengan sedikit canggung, merasa lebih cocok sebagai resepsionis daripada seorang polisi yang sedang bertugas.

Wanita itu menatapnya sebentar, lalu melangkah maju dengan hati-hati. Dia melirik kanan-kiri, memastikan tidak ada orang lain yang melihat, seolah-olah dia sedang membawa rahasia besar yang sangat berbahaya. “Saya… saya ingin melapor tentang kasus penganiayaan,” katanya dengan suara pelan, hampir berbisik. “Itu… itu terjadi pada sahabat saya.”

Arga sedikit bingung, tapi segera mencoba untuk tampil profesional, meskipun dalam hatinya dia masih merasa lebih cocok untuk mengklasifikasi dokumen daripada mendengarkan laporan. “Oh, baik. Silakan duduk dulu, Bu... eh, Nona,” Arga berkata sambil menunjuk kursi di depan meja. “Apa yang bisa saya bantu lebih lanjut?”

Wanita itu duduk dengan sangat hati-hati, seolah khawatir ada yang melihatnya. "Sahabat saya... dia dipukuli oleh pacarnya. Tapi... tapi dia takut melapor karena ancaman pacarnya itu." Suaranya semakin pelan dan ketakutan. "Saya ingin membantu dia, tapi saya juga takut kalau dia malah jadi semakin berbahaya."

Arga yang mendengar itu langsung merasakan keseriusan situasi ini, meskipun ia masih agak bingung dengan penampilan wanita tersebut. “Jadi, sahabat Anda... dia butuh perlindungan?” Arga bertanya sambil mulai mencatat. Dia berusaha untuk terlihat tenang, padahal hatinya berdegup kencang—ini kasus pertama yang melibatkan penganiayaan yang dia dengar langsung, meskipun datang dengan cara yang sangat tidak biasa.

Wanita itu mengangguk pelan. "Iya... saya hanya ingin sahabat saya aman. Tapi saya takut kalau dia melapor, malah akan berbahaya bagi dia."

Arga mencoba mengendalikan emosinya. Dia menyadari ini bukan hanya soal laporan biasa. Ini tentang seseorang yang butuh perlindungan. “Baik, saya akan mencatat semuanya, dan kita akan cari jalan terbaik untuk melindungi sahabat Anda. Anda sudah melakukan langkah pertama yang penting—melapor. Jangan khawatir, kami akan bantu,” Arga berkata dengan penuh keyakinan, meskipun sedikit bingung sendiri karena ini adalah pengalaman pertama dia menangani kasus serius.

Wanita itu tampak sedikit lega, meskipun masih ragu-ragu. "Terima kasih," katanya pelan, hampir seperti berbisik.

Saat Arga masih asyik menulis laporan, tangan wanita itu tiba-tiba bergetar. Teleponnya berdering dengan nada yang sangat menegangkan—seperti suara klakson truk besar yang tiba-tiba menghentak kesunyian. Wajah pelapor bernama Rosa itu, langsung berubah panik. Matanya melotot lebar, bibirnya sedikit bergetar. Arga bisa melihat kalau dia sedang mencoba keras untuk tetap tenang, tapi itu jelas bukan hal yang mudah.

Dengan tangan gemetar, Rosa menjawab teleponnya, berbicara dengan suara pelan yang bahkan Arga kesulitan mendengarnya. Beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah menjadi cemas. "Ya Tuhan, dia... dia... sedang dipukul lagi! Dia butuh bantuan sekarang!" teriak Rosa panik, sampai-sampai Arga merasa seperti mendengar suara alarm kebakaran yang hampir meledak.

"Pak polisi,! Tolong, saya mohon, selamatkan dia!" Rosa hampir menangis, suaranya penuh ketakutan.

Arga yang seharusnya merasa siap untuk membantu, kini merasa seakan terjebak dalam dilema besar. Di satu sisi, dia tahu dia harus membantu—ada orang yang membutuhkan pertolongannya di depan matanya. Tapi di sisi lain, dia baru saja diberi tugas yang sangat jelas oleh Gunawan: tetap di sini dan tunggu instruksi lebih lanjut. Keputusan yang harus diambil pun seperti berada dalam jebakan yang sulit dilepaskan.

Arga memandang Rosa yang mulai tampak hampir putus asa, matanya berkaca-kaca, dan tanpa berpikir panjang, dia melihat ke arah Rahmat yang sedang duduk santai di sudut ruangan. Rahmat menatapnya sekilas, lalu memberi isyarat dengan gelengan kepala yang sangat jelas—tidak boleh keluar dulu. Rahmat pun melanjutkan mengunyah cemilan dengan ekspresi yang sangat santai, seolah sedang menikmati konser musik, bukan berada di kantor polisi.

Arga merasa otaknya berputar cepat. "Tapi... saya nggak bisa tinggal diam," gumam Arga, merasa bingung. Rosa menatapnya dengan penuh harap, seolah dia adalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan temannya.

“Mbak Rosa, saya... saya ingin membantu, tapi saya nggak bisa meninggalkan pos saya tanpa instruksi dari atas,” Arga akhirnya berkata, mulutnya kering, merasa seperti pemain film laga yang terjebak di antara pilihan yang sangat sulit.

Rosa, yang sudah di ujung kesabaran, hampir menangis. “Tapi dia akan dibunuh kalau tidak segera ada yang datang! Saya mohon, tolong bantu dia!”

Arga memandangnya dengan kebingungan. Di satu sisi, rasa ingin menolongnya sangat kuat. Namun, di sisi lain, Gunawan dan timnya pasti akan meledak kalau dia meninggalkan pos tanpa izin. “Gimana, ya?” pikir Arga, merasa seperti sedang berdiri di atas garis tipis antara menjadi pahlawan atau menjadi anak magang yang baru belajar aturan.

Dengan berat hati, Arga akhirnya melihat ke arah Rahmat lagi, yang kali ini tampak tidak sedikit pun terpengaruh dengan kekacauan yang ada. Rahmat hanya mengangkat bahu dan memberi senyum bodoh. “Bro, kamu harus sabar dulu. Kompol Gunawan akan kembali, dan dia pasti ngasih instruksi lebih jelas,” kata Rahmat, seolah menenangkan Arga yang sedang hampir meledak kebingungannya.

...****************...

Di tengah kegelisahan dan ketegangan yang semakin memuncak, naluri Arga akhirnya berbicara lebih keras daripada semua aturan yang ada. Dia merasa harus bersikap selayaknya seorang polisi sesuai dengan sumpahnya, meskipun belum berpengalaman—dan bahkan meskipun itu berarti melanggar perintah yang baru saja diberikan oleh komandannya, Gunawan. “Nggak bisa! Nyawa lebih penting dari sekadar menunggu di sini!” serunya dalam hati.

Rosa, yang sudah hampir putus asa, menatap Arga dengan penuh harapan. Matanya mengisyaratkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar permintaan. Itu adalah panggilan untuk bertindak—untuk tidak tinggal diam, untuk menjadi seseorang yang bisa diandalkan. "Tolong, Pak Polisi. Temanku… dia sudah nggak kuat lagi," kata Rosa dengan suara tercekat, hampir berbisik.

Arga menatapnya sejenak, dan dalam satu detik yang penuh ketegangan itu, dia memutuskan. Dengan tegas, dia bangkit dari kursinya, meninggalkan meja yang penuh dengan laporan yang belum selesai, dan berjalan ke arah pintu. “Saya nggak bisa tinggal diam, Rahmat,” katanya dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya, seolah memberi peringatan pada dirinya sendiri. "Ada nyawa yang dipertaruhkan di sini, dan itu lebih penting daripada aturan."

Rahmat, yang dari tadi hanya duduk santai, langsung melompat dari kursinya. "Eh, eh, Arga! Kamu nggak bisa melanggar aturan!" seru Rahmat, dengan ekspresi cemas dan bingung. "Gimana kalau Komandan Gunawan tahu? Bisa-bisa kita semua kena masalah! Jangan ceroboh gitu dong!"

Tapi Arga tidak peduli. Dia sudah mengambil keputusan. "Maaf, Rahmat. Saya harus pergi," jawab Arga, tanpa sedikit pun ragu. "Teman Rosa di luar sana butuh pertolongan, dan saya nggak bisa hanya diam di sini."

Rahmat menggelengkan kepala, masih berusaha menghalangi. “Arga, ini bukan film superhero! Kamu nggak bisa bertindak sembarangan! Kalau Komandan Gunawan tahu, bisa-bisa kita dibui!” Rahmat bahkan sampai menahan pintu agar Arga tidak bisa keluar.

Namun, Arga merasa keberanian yang muncul dari dalam dirinya lebih kuat daripada rasa takut. "Jangan khawatir, aku bakal kembali dan menyelesaikan pekerjaanku semua," katanya, membulatkan tekadnya. "Tapi saat ini, aku harus bertindak. Mungkin aku masih baru di sini, tapi aku nggak bisa tinggal diam.”

Akhirnya, dengan sedikit dorongan yang lebih kuat, Arga berhasil membuka pintu dan melangkah keluar. Rosa yang sudah menunggu dengan cemas, langsung mengikuti Arga dengan langkah cepat, tak sabar untuk segera sampai ke tempat sahabatnya.

Rahmat hanya bisa menggelengkan kepala, masih terkejut dengan keputusan Arga yang nekat. "Gila… ini pasti bakal jadi masalah besar," gumamnya, sambil mengamati Arga yang semakin jauh meninggalkan kantor.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!