NovelToon NovelToon
Pamit

Pamit

Status: tamat
Genre:Tamat / Poligami / Cerai
Popularitas:607.5k
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Bagaimana perasaanmu jika jadi aku? Menjadi istri pegawai kantoran di sudut kota kecil, dengan penghasilan yang lumayan, namun kamu hanya di beri uang lima puluh ribu untuk satu minggu. Dengan kebutuhan dapur yang serba mahal dan tiga orang anak yang masih kecil.
Itulah yang aku jalani kini. Aku tak pernah protes apalagi meminta hal lebih dari suamiku. Aku menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Namun, semua berubah ketika aku menemukan sebuah benda yang entah milik siapa, tapi benda itu terdapat di tas kerja suamiku.
Benda itulah yang membuat hubungan rumah tangga kami tak sehat seperti dulu.
Mampukah aku bertahan dengan suamiku ketika keretakan di rumah tangga kami mulai nampak nyata?
Jika aku pergi, bisakah aku menghidupi ke tiga anakku?
Ikuti perjalanan rumah tangga ku di sini. .

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

8. Winda Ku

"Terus mau kamu apa? Kamu keberatan dengan uang nafkah lima puluh ribu ini, uang yang nggak seberapa ini? Kenapa nggak kamu talak aku? Kamu punya simpanan dan sudah berhubungan badan kan? Kenapa kamu nggak ceraikan aku dan hidup bahagia sama wanita itu? Kamu muak dengan tingkah aku yang begini? Ini hal kecil mas, apa lagi aku yang mendapat perlakuan tidak baik dari suami dan ibu mertuaku sendiri? Coba jawab! Yang harusnya empet, muak, bosan, aku atau kamu?" tanyaku dengan menatap intens mata laki-laki yang sudah memberiku kebahagiaan semu.

"Kenapa jadi meleber kemana-mana pembahasan kamu? Kenapa kamu jadi mata duitan? Kurang kamu aku kasih lima puluh ribu?"  Dia membalas ucapanku dengan pertanyaan yang konyol sekali.

"Jelas lah. Uang dua ratus ribu perbulan itu nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan pemasukan kamu yang sudah lima belas juta perbulan."

Mas Anang terlihat sangat terkejut, aku melihat dia yang tanpa sadar sedikit membuka matanya lebar. Dia pun kesusahan menelan ludahnya sendiri, mungkin kerongkongannya juga tercekik dengan ucapanku, sehingga dia tak mengeluarkan sepatu katapun.

"Kenapa? Kaget? Bingung aku tahu dari mana?" tanyaku mengejek.

Mas Anang masih diam.

"Ayo jawab! Sekarang apa yang bisa kamu banggakan di diri kamu coba? Ibumu selalu bilang kalau aku harusnya bersyukur punya kamu, punya ibu mertua seperti dia. Sekarang jawab pertanyaan ku yang sederhana ini, aku harus bersyukur di sisi yang mana? Hal apa yang harus aku syukuri? Kalau aku saja masih putar otak, masih nyumbang tenaga buat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan laki-laki yang mengaku suamiku ini punya pendapatan yang tidak kecil. Apa mungkin uangnya selama ini tidak hanya lari pada ibu saja? Pada wanita ****** itu juga?" Aku masih mengejek dengan mendekatkan kepala ku ke wajah mas Anang.

"Lancang sekali kamu bicara, Ayu. Tindakan kamu sudah terlalu jauh, beraninya kamu mengacak acak privasi ku."

"Privasi? Yang mana? Buku tabungan adalah privasi mu? Untuk apa menyimpan privasi dari pasangan sendiri? Kamu sudah pernah tanpa sehelai benang pun di depanku, lidahmu juga pernah bermain di mulut ku. Apa lagi yang kamu anggap privasi?" tanyaku dengan nada sedikit tinggi.

"Memang susah bicara sama wanita yang tidak tahu diuntung seperti kamu, Ayu!" Mas Anang bangkit pergi setelah mengatakan itu.

Aku mengusap wajah kasar. Aku tidak bisa lagi berpikir, bagaimana bisa aku terjebak dalam keluarga yang aneh ini. Hampir tujuh tahun pula, astaga aku sungguh tak tahu dosa apa yang aku perbuat sampai aku bisa bersuami seperti dia, sudah salah, ngegas pula.

Setelah selesai setrika, aku menjalankan niatku. Aku kembali mengacak-acak kamar untuk mencari sertifikat rumah. Ibu bilang aku tidak tahu diri, aku masih berdiri di tanah beliau kan? Baiklah, mereka jahat sekali padaku, aku juga bisa seperti mereka.

Setelah beberapa saat mencari, aku ambil surat itu dan aku simpan di tempat yang aman. Suatu saat nanti akan aku buktikan pada mereka bahwa mereka berurusan dengan orang yang salah. Aku diam dan menerima caci maki bukan berarti aku tak sakit hati, bukan berarti aku merelakan harga diriku di tindas, tidak. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk berulah, itu saja.

Saat hendak keluar kamar, aku mendengar bunyi ponsel yang bergetar. Aku yakin itu bukan milik ku, karena hape ku tak pernah memakai mode getar. Aku mengikuti sumber suara dan langkahku terhenti di ranjang.

Rupanya hape mas Anang tertinggal. Aku meraihnya, dan tertera nama 'Winda ku' di layar. Aku baru sadar, ternyata aku begitu bodoh dengan memberikan kepercayaan seratus persen padanya.

Aku menggeser tombol hijau tanda menerima panggilan. Aku mendekatkan hape ke telinga tanpa bersuara.

"Sayang, nanti jemput aku di jam istirahat kamu ya. Shakila kan waktunya imunisasi." Wanita yang bernama Winda itu berbicara tanpa basa-basi.

Shakila? Imunisasi? Apa maksudnya? Siapa Shakila? Kalau waktunya imunisasi memang kenapa? Kenapa dia harus bilang ke mas Anang, kenapa harus mas Anang yang mengantar? Winda ku, apa wanita ini yang jadi gundik mas Anang? Wanita bersuami? Astaga, hidup suamiku ternyata penuh dengan teka-teki, baiklah akan aku cari tahu sendiri.

"Mas, sayang, kok diem aja sih?" ucapnya lagi setelah sekian lama tak mendengar jawaban.

"Hem." Hanya itu yang bisa aku lakukan, tak mungkin aku bicara. Aku memutuskan sambungan telepon setelah itu.

Aku beralih pada aplikasi hijau bergambar telepon. Ah sial, ternyata mas Anang menguncinya dengan pola. Aku tak mau menyerah, masih berusaha dengan asal menggambar pola yang sekiranya bisa membuka aplikasi.

Belum berhasil membuka aplikasi, terdengar derit pintu yang terbuka. Aku menoleh ke belakang, ternyata mas Anang yang datang, mungkin dia sadar bahwa ponselnya tertinggal. Matanya langsung tertuju pada tangan kanan ku yang memegang benda yang mungkin saja banyak rahasia juga di dalamnya.

Mas Anang lalu berjalan cepat dan mengambil hapenya dengan kasar. Nampak wajahnya yang merah padam. Sejak hubungan rumah tangga kami tak baik-baik saja, mas Anang sedikit-sedikit menampakkan wajah amarahnya, meskipun itu hanya hal sepele saja.

"Semakin lama kok kamu semakin lancang ya, ngapain kamu cek-cek hape aku?" tanyanya dengan nada kesal.

"Kenapa? Aku hanya pegang loh tadi, aku cuman mau ganti sprei, itu sebabnya hapenya aku pegang maksudnya mau aku pindahkan. Aku nggak ngecek hape kamu loh. Masih ada rahasia yang kamu jaga?" tanyaku menyelidik.

Mas Anang tak menjawab. Sangat terlihat dia bingung hendak jawab apa. Aku heran sebenarnya dengan laki-laki ini, dia masih masih berhubungan dengan wanita lain di belakang ku. Tapi dia tak mau berpisah dariku. Apa yang sedang dia rencanakan sebenarnya?

"Bukan, bukan itu maksudnya. Aku..."

"Sudah cukup. Memang alangkah baiknya jika kita sudah tidak sama-sama lagi, mas. Hubungan kita ini sudah tidak sehat. Nggak ada untungnya jika di teruskan."

"Nggak usah sok-sok an ngajak pisah. Kamu nggak akan bisa urus tiga anak sendirian. Mau pulang kemana? Kamu sudah tidak punya siapa-siapa. Jadi tolong, ayu, jangan berulah."

"Kamu sudah berubah mas."

"Aku nggak pernah berubah, Ayu. Aku begini karena kamu juga. Memang benar kata ibu, kamu nggak pandai bersyukur. Masih banyak wanita di luaran sana yang lebih menderita dari kamu. Yang banting tulang sendirian tanpa mengeluh, tapi coba lihat diri kamu. Kamu masih ada yang kasih nafkah, kamu nggak kehujanan, nggak kepanasan, tapi kamu sama sekali nggak ada alhamdulillah nya, masih saja ngeluh dan protes." Dengan percaya dirinya mas Anang bicara lantang di depanku.

"Nggak pandai bersyukur kamu bilang? Hal yang wajar jika aku mengeluh mas, kamu kasih uang lima puluh ribu per minggu nya. Sedangkan kebutuhan dapur banyak, kita punya anak tiga. Kemana lo....."

"Kenapa itu terus yang kamu bahas? Kamu tahu aku biayain kuliah Fadil juga kan? Aku juga nanggung biaya hidup ibu."

"Ya sudah, kamu hidup saja dengan mereka. Akan aku bawa anak-anak pergi dari sini, tidak ada gunanya jika aku di sini, tapi tidak dihargai."

Aku berjalan menuju pintu tanpa mendengar jawaban dari mas Anang. Namun, apa yang keluar dari mulutnya sukses membuat langkahku terhenti.

"Berani kamu bawa anak-anak keluar satu langkah saja ke luar rumah. Akan ku pastikan kamu tidak bisa memeluk mereka lagi."

1
Jessica
Luar biasa
UfyArie
50 ribu seminggu ini tahun berpa
meris dawati Sihombing
Hahhh, umur 25 dah jd Dokter spesialis?? yg bener???H suka2 mu lah thorrr
niken babyzie
kuliah fadil gak kelar2 yah thorrr
niken babyzie
nenek2 laknat
niken babyzie
campur racun sekalian
meris dawati Sihombing
Haluuuu, 1 minggu cuma 50 rebu
niken babyzie
judul novelnya cocok di beri judul.. ternyata aku baru sadar telah menikahi suami pelit
niken babyzie
mokondo
Ratnasihite
kocak nih alif udah tau suka sama suka😄😄
Ratnasihite
Luar biasa
yuyunn 2706
bodoh ayu,kasusin itu mantan mertua biar kapok
yuyunn 2706
kok ndridil anaknya,kan bs KB
Mastina Maria siregar
novelmu sukses bikin aku mewek Thor...
ceritanya sperti di dunianya nyata.
Mastina Maria siregar
dr awal baca sampe bab ini suka,,mewek trust,seolah olah saya yg mengalaminya.alurnya bagusjg penggunaan bahasanya.pokoknya suka,
Mastina Maria siregar
sperti di dunia nyata,sedih Thor...
Sulati Cus
jgn2 si jaga cosplay nya si rifki
Sulati Cus
😂😂😂 g mungkin lah jd Winda yg mau sm suami orang lah Wong yg bujang aja msh banyak
Sulati Cus
kyknya jodoh nih eh apa si jaka lg nyamar ???
Sulati Cus
mase keknya pgn di tabok bolak-balik nih, cantik jg perlu modal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!