Abigail, seorang murid Sekolah Menengah Atas yang berprestasi dan sering mendapat banyak penghargaan ternyata menyimpan luka dan trauma karena di tinggal meninggal dunia oleh mantan kekasihnya, Matthew. Cowok berprestasi yang sama-sama mengukir kebahagiaan paling besar di hidup Abigail.
Kematian dan proses penyembuhan kesedihan yang tak mudah, tak menyurutkan dirinya untuk menorehkan prestasinya di bidang akademik, yang membuatnya di sukai hingga berpacaran dengan Justin cowok berandal yang ternyata toxic dan manipulatif.
Bukan melihat dirinya sebagai pasangan, tapi menjadikan kisahnya sebagai gambaran trauma, luka dan air mata yang terus "membunuh" dirinya. Lalu, bagaimana akhir cerita cinta keduanya?
© toxic love
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Dingin Namun Romantis
Kasus itu, yang terjadi beberapa bulan setelah kepulangannya dari Meksiko, menghantuinya hingga ia tak bisa tidur nyenyak. John menghubungi adiknya, seorang polisi, untuk menutupi semua kasus yang menimpa putranya. Ia juga berbohong besar tentang perusahaan narkoba di Meksiko, dengan mengatakan bahwa pemiliknya adalah Rangga, bukan dirinya.
Kemudian, ia membangun perusahaan baru di bidang perjalanan dan mengklaim bahwa semua kekayaannya berasal dari bisnis tersebut.
Kehidupannya sebagai mafia memberinya kebebasan untuk melanggar hukum dan bertindak sesuka hati. Ia menyelesaikan masalah hanya dengan uang, sehingga mudah baginya untuk bersikap munafik di depan publik.
"Hm, Papi selalu menasihati aku untuk menjadi orang baik bla bla bla. Tuh yang baik itu lihat Om. Dia jadi polisi, jadi orang baik, nolong negara, semuanya. Malah Papi yang bersikap buruk! Papi ngga sama kayak Mami!" celetuk Justin, putranya, saat mereka makan bersama.
"Kamu tidak mengerti apa-apa tentang orang tuamu, jadi lebih baik diam saja."
Grace menatap keduanya. Ia tidak bisa membantah bahwa keduanya memiliki karakter yang mirip, darah dagingnya. Namun, ia merasa jelas bahwa dirinya sendiri memiliki karakter yang baik dan lemah lembut. Ironisnya, hal itu justru membuatnya hancur secara mental oleh suami dan anaknya sendiri. Bagaimana ia hanya bisa menunggu kehancurannya sendiri, menyaksikan kekacauan dalam keluarganya?
"Kenapa? Apa kamu ingin berkomentar sesuatu, Grace?"
"Tidak, aku tidak akan berkomentar apa pun."
O0O
Setelah berbincang dengan Abigail, Justin merasa ada sesuatu yang bisa ia lakukan. Senyum tipis terukir di wajahnya. Ia menatap Abigail dengan seksama. Masih berada di dalam mobil, Justin tersenyum dan mencium bibir Abigail. Ia terdiam sejenak, tatapan dinginnya menyimpan makna tersembunyi.
"Keluarga kamu, kalau tanpa aku mungkin sudah diusir dari rumah, iya 'kan, Abigail?" tanya Justin, Abigail tersenyum.
"Iya Justin, terima kasih. Kamu adalah orang baik, kamu laki-laki favoritku. Terima kasih telah kembali ke duniaku. Aku akan mencintaimu, selalu!"
"Oke, katakan sekali lagi!" pinta Justin. Abigail mengangguk.
"Iya, aku sangat mencintaimu, oke!"
Setelah mendengar penuturan Abigail, Justin menutup mulutnya dengan kasar. Lalu ia berbisik pelan, "Kamu serius mengatakan ini? Oke, besok pagi saat kita pergi ke sekolah. Tau apa yang harus dilakukan? Iya, menjauh dari semua orang yang ada di hidupmu. Kalau perlu, buang segala impianmu demi aku!"
Abigail mengangguk, tak ragu untuk mengikuti permintaan Justin. Ia tersenyum lebar dan berkata, "Oke siap. Ini demi dan bukti cintaku kepadamu ya! Dan ini juga adalah bukti bahwa aku tidak pernah main-main dengan omonganku!"
Ia rela kehilangan impiannya. Abigail merasa benar-benar jatuh cinta pada Justin. Ia tidak memikirkan apa yang mungkin Justin lakukan, atau meninggalkannya saat ia merasa sudah mendapatkan segalanya. Atau justru iya.
Bayang-bayang hal yang Justin lakukan kemarin, sama persis dengan Matthew yang rela untuk melakukan apa saja demi dirinya.
"Justin, aku benar-benar mencintaimu." bisik Abigail lembut. Di saat ini juga, Justin berpikir satu hal yang tidak ada di dalam kepala Abigail.
"Iya sama, aku juga sangat-sangat mencintaimu. Anggap ini sebagai mimpi dan harapan juga cita-cita kita berdua untuk membangun cinta yang terus tumbuh selamanya!"
Abigail girang, ia sangat bahagia. Lalu merebut pelukan Justin dan mendekapnya erat-erat, "I love you so much, baby!"
Keesokan paginya, Justin menjemput Abigail di rumahnya. Ia benar-benar serius dengan rencananya. Dua mobil terparkir di depan rumah Abigail. Abigail hanya tersenyum di teras rumahnya.
Yeon keluar dari mobilnya. Ia menatap mobil Justin yang terparkir di depan rumah Abigail. Pikirannya berkecamuk, ia mengkhawatirkan sesuatu.
Justin juga menatap mobil Yeon, ia melirik dari atas ke bawah lalu membuang muka. Kemudian, ia terdiam, tak peduli dengan keberadaan Yeon. Aura arogan dan sombongnya terpancar.
"Abigail, berangkat sekolah, yuk!" Abigail tampak kebingungan sejenak, lalu ia menjawab, "Oke!"
"Hati-hati, berangkatnya ya sayang!" Eliza keluar dari rumahnya, ia tersenyum manis pada putri bungsunya. Anehnya, tidak ada yang memperhatikan Yeon. Termasuk Eliza dan Clara. Mereka hanya tersenyum pada Justin.
"Iya, Bu. Terima kasih!"
"Semangat belajarnya sayang!"
"Siap, Bu!" Abigail masuk ke dalam mobil Justin setelah mencium tangan Eliza, ibunya.
"Pagi, Tante!" Mobil Justin melaju meninggalkan Yeon yang terabaikan. Ia berusaha bersikap hangat dan memberikan senyuman manis kepada Eliza.
"Pagi, Yeon. Hehe, maaf ya, bukannya Abigail tidak mau berangkat sekolah bareng kamu. Tapi dia sudah dijemput sama pacarnya!" Eliza tersenyum tipis, lalu mereka berlalu pergi, termasuk Clara.
Yeon tidak mengerti mengapa perubahan terjadi begitu cepat. Ia bersikap seperti biasa dan berharap ini hanya kebetulan, atau karena Justin?
"Justin yang membuat Abigail melupakanku? Hm!"
Ia melajukan mobilnya, berharap segera sampai di sekolah. Setelah itu, ia mencari Abigail. Bukan karena Yeon tidak suka Abigail berjalan dengan pasangannya, tetapi karena baru kemarin Abigail bermasalah dengan Justin.
Di sisi lain, ia termenung dan berpikir, bagaimana Abigail bisa bertahan menghadapi sifat Justin yang begitu keras.
Sesampainya di sekolah, Yeon berlari menuju Abigail yang sedang duduk berdua dengan Justin di depan kelas. Mereka tampak bahagia. Ya, Yeon tahu, hal apa yang biasa membuat Abigail bahagia, sesuai dengan cita-citanya.
"Abigail," Yeon terengah-engah, ingin berbicara sebentar. "Ini aku dapat brosur terbaru, olimpiade yang mungkin ingin kamu ikuti!"
Abigail terdiam sejenak, mengambil brosur tersebut dari Yeon. Justin tertawa hangat di sampingnya sebelum berkata, "Abigail telah mengubur mimpinya menjadi seorang dokter, karena dia terlalu mencintaiku. Dia rela meninggalkan mimpinya demi aku!"
Saat Yeon berusaha menarik tangan Abigail, Justin menepisnya dan menarik Abigail pergi, meninggalkan Yeon sendiri.
Pikiran Yeon semakin berkecamuk. Ia ingin berteriak, tetapi hanya bisa terdiam. Yeon berjalan menuju kelasnya. Ia masih bisa mendengar bisikan-bisikan tentang kekaguman orang-orang terhadap Justin.
"Tuh lihat Justin sama Abigail, romantis banget ya? Aku jadi meleleh lihatnya. Aaa suka, pengen juga!" Pekik orang-orang begitu melihat ujung kiri tribun. Suasana romantis tercipta di sana, Abigail dan Justin menikmati es krim bersama.
"Asyik banget makan es krim berdua, Most Wanted sama siswi Genius. Pemandangan yang sangat luar biasa!" Yeon menghela nafas di ujung tribun.
Ia melangkah di atas ubin, senyumnya samar. Kunciran rambutnya bak anak kecil menghiasi kepalanya. Ia tersenyum kepada Justin, tetapi tidak menggodanya.