“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33 : Na-jis Mughallazah
“Jaga sikap kamu Aish. Kalaupun aku sudah disumpah tidak boleh menceraikan kamu, jika cara kamu terus begini, ... aku juga akan mengikuti cara suami kamu yang sebelumnya. Aku akan menceraikanmu dan menjadikan ulahmu yang tak bisa diarahkan sekaligus sangat kasar, sebagai alasannya!” tegas Ilham tak lama setelah kepergian mas Aidan dan Arimbi.
Aisyah langsung memelotot syok mendengarnya. Kedua matanya yang tajam bergetar, memerah dan perlahan basah. Ada keterkejutan, kekesalan, juga emosi yang memecahkan kesedihan. Ibu Siti yang melihatnya dan sengaja melongok dari risban ia duduk sampai tak habis pikir.
“Dipikir, jangan hanya dendam dan yakin, selalu orang lain yang sudah menyakitimu. Tolong dihilangkan pemikiran silu*man semacam itu. Karena selama ini, yang menyakiti bukan orang lain! Melainkan diri kamu sendiri!” ucap ibu Siti saking kesalnya.
“Tapi masa iya, Mas Ilham kerja di sekolah, aku malah di sawah?! Enggak adil banget!” protes Aisyah benar-benar kesal.
“Kalau kamu punya bakat lain selain menyakiti orang lain, ya sudah, jalani. Namun jika keahlian kamu hanya merugikan orang lain, tolong sadar diri dan lebih baik cari kesibukan menguntungkan sendiri! Ke sawah, contohnya. Ke kebun, apa belajar masak! Ibu yakin selama di pesantren pun, sebenarnya kamu sudah berulang kali dirukiyah, tapi hasilnya tetap saja, ... Minus!” semprot ibu Siti.
“Benar-benar tunggu waktu yang tepat buat kasih semua orang yang ada di sini, pelajaran!” batin Aisyah yang lagi-lagi dendam. Kedua tangannya mengepal kencang di sisi tubuh dan sampai gemetaran.
Sementara itu, di luar rumah, terbiasa dilempar batu menjadi trauma tersendiri untuk Arimbi yang jujur saja trauma. Arimbi mengawasi ke belakang, ke arah agak atas. Takut, Aisyah yang kelakuannya lebih lincah dari tarzan, sudah mendadak ada di pepohonan depan kediaman rumah orang tua Ilham. Yang mana bisa jadi, mas Aidan menjadi target Aisyah juga.
“Kenapa, Mbak?” tanya mas Aidan sambil memakai helmnya.
“Trauma, Mas. Waswas. Soalnya dia lebih lincah dari tarzan. Mana tahu tiba-tiba dia loncat terus lempar pakai batu lagi!” balas Arimbi jujur.
Mas Aidan menahan tawanya. “Lagian, kenapa Mbak Arimbi enggak pernah pakai helm padahal pakai helm menjadi sarat wajib dari keamanan berkendara menggunakan motor?”
“Saya kalau pakai helm, kepalanya jadi pusing, Mas. Pakainya enggak ada satu jam, pusingnya bisa berhari-hari. Rasanya berat banget gitu!” jujur Arimbi tapi malah ditertawakan oleh mas Aidan.
“Ya dibiasakan, Mbak. Pelan-pelan. Demi keamanan berkendara Mbak juga. Andai ada yang jahana*m lempar batu ke kepala Mbak lagi, bisa jadi selain terlindung, tuh batu atau apa pun yang buat lempar mental dan balik lagi ke yang lempar!” balas mas Aidan di antara sisa tawanya.
“Ya sudah, Mas. Nanti saya belajar,” balas Arimbi yang sudah menyetater motornya dan siap pergi dari sana.
“Kalau enggak malas, ya? Penyakit terberat belajar membiasakan diri agar terbiasa kan malas!” balas mas Aidan sengaja menyindir dan langsung membuat seorang Arimbi menahan tawa sambil memasang tampang tak berdosa.
“Mas tahu saja! Lagian kalau saya pusing terus, saya jadi susah jualan. Iya kalau enggak dijulidin dan digosipin saya lagi hamil gara-gara sering pusing. Ibaratnya kan, hidup saya ada di zona yang rawan fitnah, Mas!” ucap Arimbi.
“Pelan-pelan, Mbak. Dibiasakan. Cari helm yang pas!” yakin Mas Aidan yang juga sudah menyalakan mesin motornya. Ia sia pergi dari rumah yang selalu membuatnya emosi gara-gara penghuninya.
“Ehm!” deham Ilham yang kebetulan menyusul keluar.
Detik itu juga, Arimbi dan mas Aidan kompak menoleh ke sumber suara deham karena memang refleks.
Ketika Arimbi langsung memasang wajah malas, lain dengan mas Aidan yang langsung berkata, “Besok atau lusa, surat pembatalan pernikahan kalian keluar! Jadi melalui surat tersebut juga, Mbak Arimbi bersih dari segala hubungan yang berkaitan dengan kamu karena pernikahan kalian dianggap enggak pernah ada. Nanti saya kirim langsung ke sini juga enggak apa-apa, menyesuailan jadwal.”
Mendengar itu, Arimbi yang masih belum sudi walau sekadar melirik Ilham berkata, “Bersih bagaimana, Mas Aidan? Semua yang dia lakukan apalagi fitnah dan segala masalahnya kan ibarat naji*s Mughallazah! Naji*s terberat!”
Balasan sewot bernada menyindir parah dari Arimbi, membuat Mas Aidan kesulitan menahan tawanya.
Walau merasa tersinggung, Ilham sengaja mengalihkan fokus kebersamaan di sana dengan berdeham. “Kalau pernikahan tidak diakui, berarti ikatan talak pun enggak berlaku, kan? Dengan kata lain, ... kami bisa menikah lagi?”
Saat Ilham berbicara seperti tadi, Aisyah yang mencari-cari dan sangat takut ditinggal Ilham, mendengar. Tentu, kenyataan tersebut sudah langsung memupuk dendam seorang Aisyah membara bak bara api yang benar-benar panas.
“Kenapa masih tanya? Mas Ilham kan sarjana, paham agama, bahkan calon pemuka agama!” balas mas Aidan, halus tapi menusuk.
“Naji*s mughallazah ih, Mas!” ucap Arimbi menepis pertanyaan sekaligus anggapan Ilham. Namun segera, ia juga pamit kepada mas Aidan tanpa menganggap Ilham masih ada di sana. “Ya sudah, Mas. Saya pamit dulu. Makasih banyak karena lagi-lagi sudah dibantu. Mas juga hati-hati di jalan. Salam buat ayah Mas, semoga cepat sehat!”
“Bentar, Mbak Arimbi. Saya mau sekalian mampir ke ibu Mbak. Takut Ibu Mbak kepikiran, yang namanya orang tua kan begitu. Biar cepat sembuh juga dan jangan sampai ada amputasi lagi. Kalau saya ke sana, ibu Mbak pasti jauh lebih cepat tenang dan mikirnya enggak spaneng lagi,” sergah mas Aidan.
Sambil melirik Ilham, Arimbi berkata, “Orang benar-benar berpendidikan dengan orang yang hanya haus pengakuan memang beda. Ngakunya berpendidikan dan paham agama, kelakuannya kebangetan! Mana biayanya modal modus sama janji!”
“Wah, Mbak. Beneran ada yang begitu?” mas Aidan juga sengaja menyemarakkan sindiran Arimbi.
“Ada, Mas!” yakin Arimbi.
“S-serius?” Mas Aidan pura-pura sangat terkejut. “Laki-laki apa perempuan?!”
“Masalahnya semenjak kejadian itu, saya jadi ragu jenis kelaminnya, Mas. Secara, seandainya dia memang laki-laki, masa iya, kelakuannya begitu?” balas Arimbi dengan santainya. “Sudahlah Mas. Cuma bisa berdoa, semoga kejadian itu dan saya anggap musibah, bisa jadi jembatan keberkahan sekaligus jembatan kebahagiaan saya menuju sukses!”
“Amin, Mbak. Mbak enggak usah khawatir. Yang namanya karma kan kita yang buat sendiri karena karma beneran ada. Mbak juga jangan lupa buat doain dia, supaya dia panjang umur dan segera dapat hidayah terus tobat!” balas mas Aidan.
“Enggak kurang-kurang, Mas. Saya selalu doain dia walau tanpa harus didoain pun saya yakin, orang seperti dia bakalan panjang umur!” sergah Arimbi.
“Ya sudah, Mbak. Yang sabar!” balas mas Aidan menutup obrolan menyindir mereka.
“Ingin rasanya aku berkata kasar ...,” batin Ilham yang langsung pusing akibat menahan emosi karena sebisa mungkin ia sengaja tak melawan.
“Si Mas Ilham be*go banget, jelas-jelas dipermalukan gitu. Balas dendam apa bagaimana!” batin Aisyah geregetan sendiri dan masih bertahan bersembunyi di belakang pintu yang sengaja ia buka nyaris setengah.
bnyk pelajaranny...
bikin kita ga stres
malah ky orang stres ktawa mulu
thor tetep sabar dan ikhlas ya
pokoknya novelmu sungguh luar biasa...
semangat 💪
Semangat ya bikin ceritanya/Rose/