Pamit
"Mas, uang buat daftar sekolah Alif sudah ada?" tanyaku seraya mengambilkan sarapan untuknya.
"Waktu daftar masih ada seminggu lagi kan? Lusa paling lambat ya."
Baru saja hendak mengambil sarapan untuk diriku sendiri. Anak bungsuku terdengar sedang menangis. Aku segera menghampirinya yang sedang bermain di teras bersama kakak keduanya.
"Kenapa sayang? Jatuh ya? Cup cup udah nggak apa-apa. Kak Agil ayo masuk sayang, sarapan sama ayah ya. Ibu mau kasih susu buat adik Anin dulu."
Tangan kiriku menggendong anak bungsuku yang masih berusia satu tahun. Sedang aktif-aktifnya berjalan dan membuat rusuh rumah. Sedangkan tangan kanan ku menggandeng anak kedua ku yang berusia tiga tahun. Dari ketiga saudaranya anak kedua ku ini yang paling tak bisa lepas dari ku. Apa-apa harus ibu.
"Mas, tolong kamu suapi Agil sekalian ya. Anin aku kasih susu dulu."
Tanpa mendengar jawaban dari suamiku aku berjalan ke kamar, berniat menyusui anakku. Namun, langkahku terhenti karena ucapan suamiku.
"Aku buru-buru dek. Udah telat ini, suruh Alif atau kamu nyuapin sambil menyusui kan bisa. Aku berangkat dulu ya." Mas Anang berjalan menghampiri ku dan mencium puncak kepala ku. Kebiasaan rutin yang selalu dia lakukan sejak kami menjadi pengantin baru. Setelah memberikan ciuman padaku, dia memberikan ciuman juga pada ketiga anaknya. Lalu pergi begitu saja. Ah sudahlah, setiap hari kan emang begini. Aku yang lelah sendiri dengan pekerjaan rumah dan anak yang tak ada habisnya.
Aku segera duduk di meja makan dan menyusui anakku. Sedangkan ragil aku dudukkan di salah satu kursi yang tak jauh dariku. Ya, aku menyusui serta menyuapi anak kedua ku. Untunglah, Alif anak sulung ku sudah sedikit mandiri di usianya yang baru lima tahun.
"Bu, Alif mau main boleh?"
"Boleh sayang. Jangan bertengkar ya. Kak Alif sebentar lagi mau masuk sekolah TK. Jadi harus mengurangi bertengkar ya, biar nanti kebiasaan buruknya nggak di bawa ke sekolah. Nanti di marahin sama bu guru."
Aku selalu mendiktekan anakku untuk tidak mulai pertengkaran atau melakukan pemaksaan kehendaknya. Namun, lain urusannya jika dia tak melakukan kesalahan dan temannya yang memulai duluan. Hal ini aku terapkan pada ketiga anakku nantinya.
"Iya bu. Aku nggak akan bertengkar dan merebut mainan yang tidak di pinjamkan."
Aku mengangguk tersenyum dan anakku langsung melesat keluar rumah. Sekarang giliran ku fokus dengan anak kedua dan bungsuku.
Dengan tiga orang anak yang masih kecil dan kebutuhan serba mahal, aku diberi nafkah lima puluh ribu per minggu, kadang juga lebih jika suamiku ada bonus dari perusahaan.
Bukannya aku ingin mengeluh, tapi di zaman yang apa-apa mahal seperti ini uang lima puluh ribu tidak bisa digunakan hingga satu minggu. Belum lagi anak-anak ketika melihat jajanan yang melewati depan rumah.
Aku yang terbiasa mengantongi uang lebih dalam sakuku, memutar otak bagaimana caranya menyambung hidup untuk kami semua. Jujur saja, jika aku tak berjualan mungkin aku sudah banyak hutang dimana mana.
Aku berjualan aneka sosis dan camilan frozen yang di goreng. Alhamdulillah, meskipun tidak untung banyak aku bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan uang pribadi ku itu. Aku juga bisa menuruti permintaan anakku yang tak terlalu mahal.
Untungnya rumah ku ini letaknya strategis, bangunan ini terletak di tengah-tengah sekolah playgroup dan Tk lalu juga dekat dengan mushola. Itu sebabnya jualan ku laris karena lingkungan ku ini sejak pagi hingga sore banyak anak-anak yang sekolah dan mengaji.
Aku belum bisa menabung hingga usia pernikahan yang ke enam tahun ini. Untuk bisa makan saja aku harus membanting tulang dan pandai-pandainya aku memutar uang.
Suamiku memberiku nafkah llima puluh ribu bukan tanpa alasan. Gajinya yang seharusnya cukup untuk kami sekeluarga, harus aku relakan untuk berbagi pada ibu mertuaku juga. Ya, ibu mertuaku ini seorang janda dan punya anak yang masih kuliah. Rumah kami hanya berjarak dua rumah saja.
Suamiku akhirnya dituntut ibunya untuk menguliahkan adiknya hingga selesai. Sebagai ganti ayahnya yang telah tiada, begitulah kata-kata yang selalu ibu mertuaku sematkan untuk anak sulungnya. Untuk kebutuhan sehari-hari pun suamiku yang menanggung.
Sebagai seorang istri, salahkah aku jika aku memprotes apa yang jadi keputusan ibu? Biar bagaimanapun, mas Anang juga menanggung hidupku, tidak seharusnya semua beban di limpahkan pada mas Anang.
"Nggak apa-apa dek. Jangan gitu, kamu kan tahu ibu sudah tua, bagaimana caranya ibu bekerja mencari uang sendiri? Siapa yang ngasih dia uang kalau nggak aku?"
"Ya kan Fadil sudah dewasa mas, dia bisa kuliah sambil kerja."
"Ya jangan, nanti nggak bisa fokus dan nggak lulus-lulus dia. Nanti dia kecapean gimana? Sakit malah tambah runyam kan."
Sekali aku mengutarakan pendapat dan tidak diindahkan maka aku tak akan pernah lagi protes atau membahas hal itu untuk kedua kalinya. Karena percuma saja, bicara dengan mas Anang yang keras kepala begitu pasti ujung-ujungnya pertengkaran jika aku tak mengalah. Dan aku adalah tipikal orang yang tak mau berdebat atau bertengkar dengan masalah sepele.
"Kak Agil mainan dulu sama adek Anin ya. Mainnya di depan TV aja. Adiknya di jaga ya, ibu mau jemur baju dulu sebentar."
"Yu," panggil ibu mertuaku.
"Iya bu."
"Kamu ada telur nggak?" tanya ibu seraya membuka kulkas di dapur.
Untuk apa bertanya jika se lancang itu buka kulkas tanpa ijin.
"Telur kamu masih banyak, minta ya buat ibu masak balado."
Ibu mengambil beberapa butir telur tanpa menunggu jawaban dariku.
"Bu, jangan banyak-banyak. Itu kan buat persediaan kalau kebutuhan sehari-hari di kulkas udah habis. Ibu kan juga di beri uang sama mas Anang." Entah sudah ke berapa kali aku memohon seperti ini. Mungkin sudah ribuan kali terhitung sejak aku dan mas Anang menikah.
"Kamu ini nggak bosen-bosennya larang ibu buat minta sesuatu. Lagian kan kamu ada penghasilan juga dari jualan jajan. Uang ibu nggak seberapa juga yang di kasih Anang. Uang nggak seberapa aja di ungkit-ungkit."
"Jelas mas Anang ngasih uang lebih banyak ke ibu. Aku hanya diberi lima puluh ribu per minggu bu. Kalau tidak jualan aku dan anak-anak nggak akan makan. Lagian hasil jualan aku berapa sih bu. Belum juga jajan anak-anak."
"Lagian siapa suruh buat anak banyak-banyak. Ekonomi belum mapan, hamil-hamil terus."
"Apa aku bisa hamil sendiri tanpa campur tangan mas Anang bu? Apa dengan aku bermain solo aku bisa hamil?"
Sungguh geram sekali aku pada ibu mertuaku ini. Bukannya aku durhaka padanya. Tapi aku sudah bosan jika beliau selalu saja meminta bahan persediaan rumah.
Aku sudah mengadukan ini pada mas Anang. Tapi kalian tahu jawabannya apa? Dia masih saja membela ibunya. Bahkan ketika aku melawan seperti ini, pasti nanti ibu akan mengadu pada mas Anang dan aku ujung-ujungnya di nasihati olehnya.
"Kamu jangan pelit-pelit sama ibu dek. Biarin aja ibu ambil apapun dari rumah. Toh kita masih bsa makan pakai bahan yang lain. Aku mau kok makan apapun yang tersedia di meja kamu. Meskipun sama sambel dan krupuk doang. Tetap aku makan."
"Kita bisa makan apapun bahkan kalaupun kita nggak makan nggak jadi soal mas. Tapi anak-anak kita, aku sedia bahan makanan banyak biar cukup buat seminggu dan biar kita bisa makan yang bergizi."
"Ibu kan hanya minta sesekali dek. Nggak tiap hari. Udah ya, nanti cantiknya ilang kalau marah-marah terus."
Selalu begitu jika aku mengadu mengenai perihal sikap ibu saat tak ada mas Anang di rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Kanaya yasmine
gak kebayang gmn stres nya ketika gas,token listrik,beras dan bahan dapur habis secara bersamaan🙄 dasar suami mokondo
2023-01-22
1
Devia Ratna
mampir aku
2022-12-23
0
Ganuwa Gunawan
seminggu kok cuma lima puluh ribu..?
mna cukup..
2022-10-27
0