“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A ~ Bab 07
Sudah mirip Lutung, mata keranjang lagi.
...----------------...
Sosok gadis baru memasuki usia dewasa itu, berlari kecil menghampiri Amala dan Dhien yang sedang berada di pojok samping rumah Emak Inong.
Dhien dan Amala saling melirik, lalu menarik napas panjang, adanya si periang ini tentu saja akan menambah beban pikiran.
“Assalamualaikum wahai Makhluk Ciptaan Tuhan yang masih bernapas.” Sapanya seraya menjatuhkan tas selempangnya begitu saja di atas tanah.
“Walaikumsalam,” jawab Dhien dan Amala serempak sedikit tidak semangat.
“Sudah bagus-bagus kau di Ibu kota sana, dan Desa kita ni menjadi aman damai sentosa selama kepergian mu. Namun, mengapa pakai acara pulang segala kau, Meutia!” Dhien yang sedang mencabuti bulu Ayam, mencibir Meutia, adik dari sahabatnya.
“Iss … Kakak ni, jahat betul cakapnya! Tahu tak Kak_”
“Tak!” sahut Dhien cepat.
“Ya Rabb, kasihan kali lah nasib Tia ni, padahal begitu turun dari mobil bututnya Bang Agam, langsung berlari ke sini. Tapi, bukannya disambut hangat malah langsung diajak bergaduh!” ucapnya mendramatisir keadaan, dengan raut sengaja dibuat memelas.
Bukannya kasihan, Dhien bertambah mencemooh. “Bersyukurlah memiliki kendaraan roda empat, cobak kau lihat lainnya! Kemana-mana nyeker mereka.”
Meutia ikutan duduk di atas batu kerikil. “Bukannya tak bersyukur, tapi siapa yang senang bila naik mobil saat menanjak bukit akan berbunyi macam ni … grok grok grok, udah kayak Babi ngorok saja, begitu penurunan langsung mencicit nya seperti Tikus hendak dimakan Ular sawah!”
Amala langsung tertawa, lain halnya dengan Dhien yang semakin kesal.
“Ya tetap saja kau beruntung, Tia! Tak perlu berpanas-panasan, tinggal duduk tenang di kursi penumpang!”
“Kalau yang mengemudi Bang Agam atau suaminya Kak Wahyuni, ya masih mending lah. Tapi, ini … Kakek-kakek yang bunyi tarikan napasnya sampai terdengar ke kampung sebelah, mana lajunya lebih cepat Siput lagi!” gerutunya tidak berkesudahan.
“Senangnya dalam hati, setelah setengah tahun berjuang sampai titik darah penghabisan, akhirnya Tia pulang kampung jua.” Meutia tanpa risih langsung rebahan, tas nya tadi dibuat bantalan, dia yang sedang libur semester, memutuskan pulang ke rumah ibunya, daripada tetap tinggal di kost-an khusus wanita.
“Lagak kau berjuang, udah macam Pahlawan saja! Padahal aslinya tukang tidurnya dirimu tu!” Dhien mulai memotong Ayam menjadi bagian-bagian kecil.
Meutia memiringkan kepalanya, menatap tidak suka pada Dhien. “Ck … gini-gini, Tia calon guru loo, Kak. Apa tak Pahlawan tanpa tanda jasa tu namanya?”
"Pada saat awal mengambil jurusan tu, aku rasa kepalamu habis terbentur, Tia. Kau tu lebih pantas menjadi tukang Jagal Lembu atau Kambing di rumah pemotongan daging, daripada menjadi seorang pengajar!”
“Tak nya kau ingat dulu, berapa banyak anak kecil yang menangis akibat ulah ajaib mu tu! Belum lagi ada yang kena sawan lantaran kau takuti menggunakan baju macam Kuntilanak!” sambung Dhien tanpa ampun.
Amala yang sedari tadi menyimak, kini tertawa terbahak-bahak, Meutia pun ikutan terpingkal-pingkal.
“Ya Allah, sakit perut Tia, Kak! Tapi, bukan salah diri ini sih, anak kecil tu saja yang imannya sangat lemah, jadi mudah dirasuki makhluk halus,” kilahnya tidak masuk akal.
“Bukan dia yang lemah iman, tapi kau sendiri kehilangan akal alias tak waras.” Dhien berdiri sambil berkacak pinggang.
Meutia bangkit dan ikutan berdiri, menepuk-nepuk bokongnya agar debu hilang, netranya memandang sekitar lalu fokus pada Dhien.
“Kakak betulan mau nikah, atau cuma main kawin-kawinan? Mengapa tak ada teratak yang terpasang, lalu … kuku Kakak pun masih berwarna putih.” Keningnya Meutia mengernyit dalam, hatinya dipenuhi oleh tanda tanya.
"Anggap saja hendak main rumah-rumahan,” jawab Dhien asal, lalu berjalan memasuki dapur, Meutia mengikuti dari belakang.
“Alhamdulillah lah, terselamatkan uang jajan Tia, sebab tak perlu beli kado.”
“Emak! Anak mu pulang loo ni, mengapa tak di sambut dengan tari Tor-tor ataupun Saman?” Meutia memeluk Emak Inong dari belakang.
“Tak juga berubah anak bungsu Emak ni, masih saja manja serta kekanakan.” Emak Inong yang sedang mengulek bumbu, mencium lengan Meutia yang tertutup kemeja longgar.
“Mau berubah macam mana, Mak?” tanyanya, duduk di amben berhadapan dengan Emak Inong.
“Siapa tahu, di kota sana kau telah menemukan sosok laki-laki yang baik hati dan langsung hendak meminang, jadi status mu tak lagi gadis, tapi seorang istri.”
“Mana ada yang tahan dengan Meutia, Mak! Baru beberapa jam duduk berdua, sudah pasti kabur tu laki-laki, apalagi hidup seatap, langsung kejang-kejang mungkin dirinya menghadapi sifat Meutia yang macam petasan banting!” sela Dhien.
Meutia memanyunkan bibirnya. “Pasti ada lah, sosok pria yang memiliki kesabaran sedalam Palung Mariana, terus isi kantongnya setebal buku catatan pahala, Tia!”
“Apa pulak cakap pahala, kau tu keberatan dosa! Makanya tak bisa gemuk badanmu. Makan banyak pun tetap saja cungkring!” ejek Dhien, yang sengaja mengalihkan perhatian Meutia, sebab Amala sedang melakukan hal rahasia.
Perdebatan itupun masih terus berlanjut, sampai di mana jarum jam berdenting tepat di pukul 11.
***
Tikar sudah di gelar, piring berisi kue dadar, lapis, dan bolu pisang, berjajar rapi. Ceret teh serta gelas pun ikut meramaikan ruangan tidak seberapa luas itu.
Di tengah-tengah ruangan, terdapat meja kayu pendek yang hanya dilapisi kain jarik.
Pak penghulu juga sudah datang bersama pak RT setempat, mereka duduk bersandar pada dinding tembok.
“Assalamualaikum!”
Mendengar sapaan itu, dada Emak Inong langsung bergemuruh, dia begitu mengenali salah satu pemilik suara yang dulu selalu membentak dirinya.
“Walaikumsalam!” Meutia yang menyambut, wajahnya dipaksa tersenyum hambar.
Nek Blet, dan para antek-anteknya memasuki bangunan rumah kecil Emak Inong, di belakang mereka ada calon mempelai laki-laki bersama ibunya, dan Suci, adik perempuan nya Fikar.
Para wanita duduk di sisi dalam bagian ruangan bersebelahan dengan dapur, dan laki-laki dekat pintu masuk rumah.
“Assalamualaikum!” sapa suara lain yang terdengar dalam dan tegas.
“Bang Agam, Nak Dzikri … mari duduk dekat kami!” ucap pak RT, mempersilahkan dua sosok pria yang salah satunya begitu disegani.
Agam Siddiq dan juga Dzikri Ramadhan, terlihat begitu rupawan, dengan mengenakan kain sarung, peci, dan baju koko.
Kedatangan dua sosok pria tampan dan tentu saja mapan itu, berhasil membuat dua gadis tersipu-sipu malu, netra mereka asik mencuri pandang yang sama sekali tidak ditanggapi.
Fikar yang mengenakan kemeja putih polos berlengan panjang, serta celana bahan hitam, terlihat sudah menjabat tangan pak penghulu yang telah siap memimpin ijab kabul, disebelah mereka ada Zulham yang menjadi wali untuk adiknya.
“Saya terima nikah dan kahwinnya Dhien binti Syamsul, dengan mahar 500 rupiah dibayar tunai!”
“Bagaimana saksi?”
“Sah!”
“Sah!”
“Sah!”
“Alhamdulillah!”
‘Astaghfirullah. Bagaimana bisa Kak Dhien mau dinikahi laki-laki mirip Lutung tu, udah jelek, mata keranjang lagi! Tak ada bagus-bagusnya, cuma menang bergigi putih, itupun sedikit maju_!'
'Lihatlah kumisnya yang macam Ikan Lembat. Apa jangan-jangan … Kak Dhien di guna-guna ya?’ batin Meutia begitu berisik, sampai tidak menyadari sosok pengantin wanita sudah duduk bersanding dengan suaminya.
.
.
Dhien berjinjit, mencium sisi leher suaminya, lalu membisikkan sesuatu yang berhasil membuat Fikar meremas bokong sang istri.
.
.
Bersambung.
semangaat Dhien doaku meyertaimu
tar kembali lagi skalian bawa tiker sm kupi , klo dh End yak. 🤩😘🤗