Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota metropolitan, adalah seorang pemuda yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan bullying. Setiap hari di kampusnya, ia menjadi sasaran ejekan teman-teman sekampusnya, terutama karena penampilannya yang sederhana dan latar belakang keluarganya yang kurang mampu. Namun, segalanya berubah ketika sebuah insiden tragis hampir merenggut nyawanya. Dikeroyok oleh seorang mahasiswa kaya yang cemburu pada kedekatannya dengan seorang gadis cantik, Calvin Alfarizi Pratama terpaksa menghadapi kegelapan yang mengancam hidupnya. Dalam keadaan putus asa, Calvin menerima tawaran misterius dari sebuah sistem Cashback yang memberinya kekuatan untuk mengubah hidupnya. Sistem ini memiliki berbagai level, mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi, di mana setiap level memberikan Calvin kemampuan dan kekayaan yang semakin besar. Apakah Calvin akan membalas Dendam pada mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayya story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Diruang Mahasiswa
[Total point 230]
[Status Pengguna: Calvin Alfarizi Pratama]
-Usia:21Tahun
- Level: 1
- Saldo Cashback: Rp 15.810.000
- Kemampuan Aktif: Kekuatan Fisik Lv 1
-Daya Tahan Lv.1
-Refleks Cepat Lv.2
-Deteksi Bahaya Lv.1
- Kemampuan Baru: Insting Tempur Lv.2]
- Keberuntungan Lv.1
[Total Poin Sistem: 230]
Keesokan harinya, Calvin memasuki kampus seperti biasa. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Beberapa mahasiswa mulai membicarakannya dengan suara pelan.
"Eh, denger-denger Calvin ngalahin anak-anak suruhan Daffa semalam..."
"Masa sih? Gue kira dia cuma mahasiswa miskin yang nggak bisa apa-apa."
"Lu nggak lihat? Daffa hari ini keliatan murung banget. Dia pasti lagi mikirin cara balas dendam!"
Calvin mendengar bisikan-bisikan itu tapi tetap berjalan dengan tenang. Dia tahu betul bahwa mengalahkan anak buah Daffa hanyalah permulaan. Jika Daffa benar-benar ingin membalas, maka ia harus bersiap menghadapi lebih banyak rintangan.
Saat ia hendak masuk ke kelas, tiba-tiba seseorang menarik lengannya.
"Calvin, ikut gue sebentar," kata Adi dengan nada serius.
Calvin mengernyit. "Ada apa?"
Adi melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka terlalu dekat. "Ada yang mau ketemu lu di ruang mahasiswa."
"Siapa?"
Adi menggeleng.
"Gue juga nggak tahu. Tapi katanya, dia punya informasi penting buat lu."
Tanpa banyak bertanya lagi, Calvin mengikuti Adi menuju ruang mahasiswa yang terletak di lantai dua gedung fakultas. Begitu masuk, mereka disambut oleh seorang wanita muda yang duduk dengan anggun di salah satu sofa.
Calvin langsung mengenalinya.
Nadine Wijaya.
Salah satu mahasiswi tercantik di kampus. Putri dari keluarga pebisnis sukses yang memiliki jaringan restoran mewah di berbagai kota. Biasanya, Nadine selalu terlihat bersama geng elit yang sering meremehkan mahasiswa biasa seperti dirinya.
Jadi, kenapa dia ingin bertemu dengannya?
"Nadine?" Calvin bertanya dengan nada datar.
Nadine menatapnya dengan ekspresi serius.
"Duduk dulu. Aku mau bicara sesuatu yang penting."
Calvin melirik Adi, lalu mengangkat bahu sebelum duduk di seberang Nadine. "Oke, aku dengerin."
Nadine menghela napas.
"Aku dengar kamu berantem sama anak buahnya Daffa."
"Kabarnya cepat juga nyampe ke telinga kamu," gumam Calvin sambil menyilangkan tangan.
"Tentu saja. Daffa itu bukan orang yang bisa diremehkan." Nadine menatapnya tajam.
"Aku cuma mau kasih tahu, kamu harus berhati-hati. Daffa bukan cuma mahasiswa kaya yang sok jago. Dia punya koneksi yang luas, termasuk orang-orang di luar kampus yang bisa melakukan hal-hal kotor buatnya."
Calvin tidak terkejut. Dia sudah menduga bahwa Daffa punya lebih dari sekadar otot dan gengsi. Tapi yang menarik perhatiannya bukan peringatan itu, melainkan fakta bahwa Nadine repot-repot datang ke sini untuk mengatakannya.
"Kenapa kamu peduli?" tanya Calvin dengan nada dingin.
Nadine terdiam sejenak sebelum menjawab,
"Karena aku nggak suka Daffa."
Adi yang dari tadi diam, langsung berseru,
"Wah, serius nih? Bukannya kalian sering bareng?"
"Itu cuma formalitas," jawab Nadine. "Daffa itu tipe orang yang suka mengontrol segalanya. Bahkan teman-temannya sendiri pun cuma dianggap pion dalam permainannya. Dan aku nggak mau jadi salah satu dari mereka."
Calvin mengamati ekspresi Nadine. Dia terlihat jujur, tapi Calvin tahu lebih baik daripada langsung percaya pada seseorang hanya karena kata-katanya manis.
"Jadi, kamu ke sini cuma buat ngasih tahu aku supaya hati-hati?" Calvin menyipitkan mata.
Nadine tersenyum tipis.
"Sebagian, iya. Tapi ada satu hal lagi."
"Apa?"
Nadine bersandar ke belakang dan menatap Calvin dengan penuh minat. "Aku ingin melihat sampai sejauh mana kamu bisa melawan Daffa."
Suasana di ruangan itu mendadak sunyi.
Adi menggaruk kepalanya dengan bingung. "Tunggu, maksudnya gimana?"
Nadine mengangkat satu alisnya.
"Daffa sudah menguasai kampus ini terlalu lama. Banyak orang yang takut padanya. Tapi sekarang, ada seseorang yang berani menantangnya. Aku ingin tahu apakah Calvin cukup kuat untuk menjatuhkannya."
Calvin tersenyum dingin.
"Jadi, ini semacam eksperimen buat kamu?"
"Anggap saja begitu." Nadine tidak mengelak. "Tapi kalau kamu butuh informasi tentang Daffa, aku bisa membantumu."
Calvin terdiam sebentar, lalu akhirnya berkata, "Baiklah. Aku akan mengingat tawaranmu."
Nadine tersenyum puas. "Bagus. Aku akan menghubungimu kalau ada sesuatu yang perlu kamu tahu."
Dia lalu bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar ruangan dengan percaya diri.
Adi menatap Calvin dengan ekspresi tidak percaya.
"Gila, bro. Nadine itu cewek paling high-class di kampus ini selain Larissa, dan sekarang dia malah tertarik sama lu?"
Calvin menghela napas.
"Bukan tertarik, dia cuma ingin lihat pertunjukan."
Adi menggeleng.
"Apapun itu, ini menarik. Jadi, apa langkah lu selanjutnya?"
Calvin tersenyum tipis.
"Kita akan bermain sesuai rencana… dan membuat Daffa menyesal pernah mencari masalah denganku."
Setelah Nadine pergi, Adi masih terlihat terpukau. Ia menatap Calvin dengan penuh kekaguman.
"Bro, serius deh, lu sadar nggak kalau Nadine itu cewek level atas? Lu udah berhasil menarik perhatiannya, dan itu sesuatu yang gila!"
Calvin hanya mendengus.
"Aku nggak tertarik. Lagipula, kita nggak tahu apa motif sebenarnya. Mungkin dia cuma mau melihat aku jatuh."
Adi menggeleng.
"Nggak mungkin. Kalau dia cuma mau lihat lu gagal, dia nggak bakal kasih informasi soal Daffa. Ini sesuatu yang lain, bro."
Calvin tidak menjawab. Ia tahu bahwa dunia orang-orang kaya itu penuh dengan trik dan manipulasi. Nadine mungkin memang membenci Daffa, tapi bukan berarti dia benar-benar berpihak pada Calvin.
"Aku nggak akan terlalu percaya padanya," gumam Calvin akhirnya.
Adi mengangkat bahu.
"Terserah lu, bro. Tapi kalau gue jadi lu, gue bakal manfaatin kesempatan ini."
Calvin menatapnya tajam.
"Aku nggak mau bergantung pada siapa pun. Ini urusanku sendiri."
Adi menghela napas. "Ya udah, terserah lu."
Sebelum percakapan mereka berlanjut, tiba-tiba pintu ruang mahasiswa terbuka dengan kasar.
BRAK..!
Daffa muncul dengan wajah penuh amarah, diikuti oleh dua orang temannya, Rendi dan Iqbal.
Ruangan yang tadinya tenang mendadak hening. Beberapa mahasiswa yang sedang duduk langsung menyingkir, tidak ingin terlibat dalam konflik ini.
Calvin tetap duduk dengan santai, tidak terpengaruh sedikit pun oleh kehadiran Daffa.
"Akhirnya ketemu juga," kata Daffa dengan suara dingin.
"Gue dengar lu berani-beraninya ngelawan anak-anak gue semalam."
Calvin menatapnya tanpa ekspresi. "Mereka yang mulai duluan."
Daffa menyeringai.
"Dan sekarang gue yang bakal mengakhirinya."
Rendi dan Iqbal maju selangkah, menunjukkan sikap mengancam. Tapi sebelum mereka bisa melakukan sesuatu, suara Nadine tiba-tiba terdengar dari belakang.
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
Daffa menoleh dengan cepat. "Nadine?"
Nadine berjalan masuk dengan tenang, menatap Daffa dengan ekspresi tak senang.
"Kalian pikir ini tempat buat cari ribut?" katanya dengan suara tajam.
Daffa mengepalkan tangannya.
"Ini bukan urusan lu, Nadine."
"Justru ini urusanku," balas Nadine. "Kampus ini bukan tempat buat main otot. Kalau lo mau berantem, cari tempat lain."
Daffa menatapnya dengan mata menyipit, jelas tidak senang. Tapi ia tahu bahwa Nadine bukan orang sembarangan. Jika ia membuat keributan di sini, kabar itu bisa sampai ke pihak kampus, dan itu akan merugikannya sendiri.
Ia akhirnya menghela napas kasar dan melangkah mundur.
"Baik. Gue nggak akan bikin masalah di sini. Tapi ingat ini, Calvin. Ini belum selesai."
Setelah berkata begitu, Daffa berbalik dan pergi, diikuti oleh Rendi dan iqbal.
Saat mereka menghilang dari pandangan, Adi langsung menghela napas lega.
"Gila, gue kira tadi kita bakal berantem beneran."
Calvin tetap diam, tapi matanya masih menatap pintu dengan tajam. Ia tahu ini belum berakhir.
Nadine duduk kembali dan menatap Calvin.
"Seperti yang aku bilang tadi, hati-hati dengan Daffa. Dia nggak akan berhenti sampai dia puas."
Calvin mengangguk. "Aku sudah siap."
Nadine tersenyum tipis.
"Bagus. Aku ingin melihat bagaimana kelanjutan cerita ini."
Setelah itu, ia bangkit dan pergi, meninggalkan Calvin dengan pikirannya sendiri.
Sedangkan Calvin penasaran kapan level sistem nya akan naik ke level dua,apakah ada target harus untuk mencapainya?
*Bersambung…*