Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?
Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bibir kamu manis..
Hana duduk di sofa apartemen Dominic, menyeruput teh hangat yang baru saja dibuatnya. Setelah perdebatan panjang di taman tadi, Dominic bersikeras mengantarnya pulang, dan entah bagaimana, ia justru berakhir di sini lagi.
Dominic duduk di depannya, memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan tatapan yang sulit ditebak.
“Kamu mikirin apa?” tanya Dominic akhirnya.
Hana menghela napas pelan. “Aku cuma… berpikir tentang masa depanku. Besok aku mulai bekerja di salah satu perusahaan.”
Dominic mengangkat alisnya, tertarik. “Kerja? Kenapa tiba-tiba?”
Hana menatapnya dengan ekspresi lelah. “Aku butuh uang untuk biaya hidupku. Kuliahku fleksibel, jadi aku bisa kerja paruh waktu.”
Dominic mengangguk, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang berubah. Ia terdiam sejenak, seolah sedang memikirkan sesuatu yang serius.
Lalu, dengan suara mantap, ia berkata, “Menikahlah denganku.”
“Apa?” Hana tersedak. Ia hampir menjatuhkan cangkirnya.
Dominic menatapnya lurus-lurus. “Aku serius, Hana. Menikahlah denganku.”
“Lucu sekali, ya. Tapi aku nggak sedang bercanda.” Hana tertawa kecil, berpikir ini hanya salah satu godaannya.
“Aku juga nggak bercanda.” Dominic tetap diam, ekspresinya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bercanda.
Hana mulai panik. “Kamu sadar kan kalau ini konyol? Kita baru saja membicarakan tentang—”
Dominic memotongnya. “Tentang kamu yang harus bekerja untuk biaya hidupmu? Aku tahu. Itu sebabnya aku ingin menikahimu.”
Hana menatapnya tidak percaya. “Kamu pikir menikah itu solusi dari segalanya?”
Dominic mencondongkan tubuhnya, suaranya rendah tapi penuh keyakinan. “Aku ingin menjagamu, Hana. Aku ingin kamu hidup dengan nyaman, tanpa harus khawatir tentang uang atau masa depanmu. Aku ingin kamu di sisiku, selamanya.”
Hana terdiam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang bergetar mendengar kata-kata itu, tapi ia tidak bisa begitu saja menerimanya.
“Aku bukan seseorang yang bisa kamu selesaikan dengan pernikahan, Domi.” Suaranya nyaris berbisik.
Dominic mengangkat tangannya, menyentuh pipi Hana dengan lembut. “Aku tahu. Aku juga tahu kamu masih takut, masih ragu. Tapi aku bersedia menunggu sampai kamu siap.”
Hana menatap matanya, mencari kebohongan di dalamnya, tapi ia tidak menemukan apa-apa selain ketulusan.
Namun, apakah ia benar-benar siap untuk ini?
Hana menatap Dominic dalam keheningan. Dadanya berdegup kencang, lebih kencang dari sebelumnya. Tawaran pernikahan yang baru saja diucapkan pria itu masih berputar di kepalanya, membuatnya sulit berpikir jernih.
Dominic masih menunggu, matanya penuh kesabaran, tapi di balik ketenangannya, Hana bisa merasakan intensitas perasaan yang ia tahan.
“Aku…” Hana mencoba berbicara, tapi suaranya tercekat.
Ia ingin menjauh, ingin menghindar, tapi entah kenapa tubuhnya tidak bergerak. Ada sesuatu dalam sorot mata Dominic yang menahannya di tempat, seolah memberi tahu bahwa pria itu tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
Dan entah siapa yang memulai lebih dulu, mungkin Dominic yang menariknya mendekat, atau mungkin dirinya sendiri yang diam-diam menginginkannya, tapi tiba-tiba jarak di antara mereka menghilang.
Bibir mereka bersentuhan.
Lembut. Hangat.
Jantung Hana seakan berhenti berdetak. Ini adalah ciuman pertamanya.
Matanya melebar, tubuhnya membeku. Ia bahkan lupa bagaimana caranya bernapas.
Dominic tidak terburu-buru. Ia hanya menempelkan bibirnya, memberi Hana waktu untuk menyadari apa yang sedang terjadi. Dan saat Hana tidak menolaknya, ia memperdalam ciuman itu dengan hati-hati, seolah takut membuatnya takut.
Hana akhirnya memejamkan mata.
Perlahan, ketegangan dalam dirinya mengendur, berganti dengan perasaan asing yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Dominic mencium dengan penuh perasaan, seolah ingin meyakinkan bahwa ia tidak akan pernah menyakiti Hana. Tidak ada paksaan, tidak ada tergesa-gesa. Hanya ada sentuhan lembut yang membuat Hana semakin tenggelam dalam perasaan yang sulit ia definisikan.
Tangannya secara refleks mencengkeram lengan Dominic, berusaha mencari pegangan di tengah gelombang emosi yang baru pertama kali ia alami.
Ketika akhirnya Dominic menarik diri, Hana masih menutup matanya, seolah ingin mengabadikan momen itu lebih lama.
Saat ia membuka mata, Dominic tersenyum.
“Kamu gemetar,” bisiknya, suaranya terdengar rendah dan dalam.
Hana menelan ludah, menyadari betapa kacau dirinya sekarang. Pipinya panas, napasnya tidak beraturan, dan bibirnya masih bergetar karena efek ciuman itu.
“Domi…” Hana ingin mengatakan sesuatu, tapi ia tidak tahu harus berkata apa.
Dominic mengangkat tangannya, menyentuh pipi Hana dengan lembut. “Aku nggak akan memaksamu untuk menjawab sekarang. Tapi ingat satu hal, Hana.”
Hana menatapnya, hatinya masih berantakan.
“Aku nggak main-main dengan perasaanku, aku mencintaimu.” lanjut Dominic dengan nada serius.
Hana terdiam.
Cinta?
Ia tidak tahu apakah ia siap untuk itu, tapi satu hal yang ia sadari saat ini… Hatinya sudah mulai bergeser ke arah pria itu, lebih dalam dari yang ia kira.
"Bibir kamu manis..."
Hana tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Atau mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia memilih untuk tidak berpikir sama sekali.
Seketika, tubuhnya bergerak mengikuti suara hatinya. Ia meraih wajah Dominic, menatap dalam matanya yang kelam, penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan.
Dan sebelum bisa menyadari apa yang terjadi, ia sudah menempelkan bibirnya kembali pada pria itu.
Dominic terkejut sesaat, tapi tidak butuh waktu lama baginya untuk membalas ciuman itu. Kali ini, Hana yang mengendalikan segalanya, meskipun ia tidak berpengalaman. Ia hanya mengikuti nalurinya, membiarkan dirinya hanyut dalam perasaan yang begitu kuat.
Dominic menariknya lebih dekat, satu tangannya melingkari pinggang Hana, sementara tangannya yang lain menyentuh pipinya dengan penuh kelembutan.
Ciuman mereka semakin dalam, semakin membuat Hana lupa akan dunia di sekitarnya. Detak jantungnya berdebar begitu cepat, seakan ingin melompat keluar dari dadanya.
Ia tidak pernah merasakan sesuatu seperti ini sebelumnya.
Dominic begitu hangat, begitu kuat, dan begitu menggoda.
Ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Tidak ada lagi logika, tidak ada lagi ketakutan.
Hanya ada mereka berdua.
“Hana…” suara Dominic terdengar serak saat ia akhirnya menarik diri, mencoba memberi mereka berdua sedikit ruang untuk bernapas.
Namun, mata Hana masih penuh dengan keinginan, bibirnya sedikit terbuka, napasnya memburu.
Dominic menatapnya dalam-dalam, ekspresinya berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam. Ia mengusap pipi Hana dengan ibu jarinya, seolah memastikan bahwa gadis itu tidak menyesali apa yang baru saja terjadi.
“Kamu yakin?” tanyanya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.
Hana mengangguk tanpa ragu, meskipun ia sendiri tidak tahu apa yang ia yakini.
Ia hanya tahu satu hal, bahwa di saat ini, di detik ini, ia tidak ingin pergi ke mana pun selain berada di sisi pria ini.
Dominic tersenyum kecil, lalu menariknya ke dalam pelukan, membiarkan mereka tenggelam lebih jauh dalam rasa yang semakin sulit untuk dikendalikan.
Bersambung...