NovelToon NovelToon
Endless Legacy

Endless Legacy

Status: sedang berlangsung
Genre:Playboy / Cinta Beda Dunia / Teen School/College / Mengubah Takdir / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Elf
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Rivelle

Kathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar!

Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suka menyendiri. Namun, ia tidak sadar kalau sikap antisosialnya yang justru telah menarik perhatian dan membuat gadis itu terlanjur jatuh hati padanya.

Hingga suatu hari, rentetan peristiwa menakutkan pun mulai datang ketika Kathleen tak sengaja mengetahui rahasia siapa William sebenarnya.

Terjebak dalam rantai takdir yang mengerikan, membuat mereka berdua harus siap terlibat dalam pertarungan sesungguhnya. Tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi, selain mengakhiri semua mimpi buruk ini sebelum terlambat!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rivelle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

09 - Si playboy.

Aku berjalan menyusuri koridor dengan kurang bersemangat. Entah mengapa, hari-hari dalam minggu ini berlangsung begitu lambat. Semua terjadi di luar ekspektasi dan terasa sangat menyebalkan.

Mulai dari pembagian kelas yang tidak adil, terjebak mengikuti kelas filsafat selama satu semester penuh, lalu terakhir-yang paling mengerikan-dikuntit oleh orang aneh. Yah, aku baru sadar betapa malangnya nasibku belakangan ini dan bagusnya aku juga mulai mengasihani diriku sendiri.

Setelah melewati lorong pertama, aku berbelok menuju lokerku untuk menaruh pakaian ganti karena pelajaran olahraga Mr. Paul diundur sehabis jam makan siang nanti. Namun, gerakan tanganku terhenti waktu melihat pintu lokerku sudah sedikit terbuka. Ternyata aku lupa menguncinya saat pulang sekolah kemarin-kebiasaan burukku, ceroboh. Tetapi yang mengherankan, pagi ini lokerku tampak lebih sesak dari biasanya.

Aku tertegun bingung ketika tahu-tahu menemukan sebuah buket bunga tulip di dalamnya. Tidak ada nama dari sang pengirim. Hanya ada sepucuk surat kecil yang bertuliskan namaku dengan huruf tegak bersambung. Bunga ini terlihat masih segar dan harum. Itu berarti ada seseorang yang belum lama menaruhnya di sini.

Tapi, siapa yang sudah memberikan bunga ini padaku? Apa tidak salah orang? Aku tidak sedang berulang tahun dan hari ini juga bukan Hari Valentine. Lagi pula, kalau memang benar Hari Valentine juga aku 'kan tidak punya pacar.

"Wow ... bungamu cantik sekali, Kathleen," puji Jillian yang juga terlihat hendak memasukkan barang bawaannya ke dalam loker. "Hadiah dari pacarmu?"

"Ah, bukan. Justru aku sendiri tidak tahu siapa yang sudah menaruhnya di sini."

"Benarkah?"

"Yeah," balasku. "Apa pagi ini kau sempat melihat ada orang lain yang membuka lokerku?"

Ia mengangkat bahu sambil menggelengkan kepala. "Entahlah, aku sejak tadi ada di dalam kelas karena harus menyelesaikan catatan biologiku."

"Ohh."

"Mungkin itu dari salah satu penggemar rahasiamu. Bisa jadi, bukan?" tebaknya sedikit bergurau.

Aku hanya tersenyum tipis.

"Kathleennn!" Natalie tiba-tiba saja berlari keluar dari ruang kelasnya sembari meneriakkan namaku. "Di mana gadis itu? Apa kalian melihatnya?"

"Hei, aku di sini. Kau kenapa?" sahutku keheranan.

Ia langsung menghampiriku dengan napas yang terengah-engah. "Ini gawat!"

"Gawat apanya?"

"Sesuatu yang benar-benar gawat!"

"Aku tidak mengerti. Kau sedang membicarakan apa?"

Arlene yang baru datang dari arah koridor pun mendadak ikut berteriak panik padaku. "Kathleen, cepat kau sembunyi!"

"Ya ampun ... kalian berdua ini kenapa, sih?"

"Dia sudah kembali!" Natalie berseru.

"Apa maksudmu? Siapa yang kembali?" tanyaku yang semakin bingung.

"Kau tidak tahu kabar terbaru hari ini?"

Aku mengerjap beberapa kali sembari berusaha mencerna ucapan mereka. "Memangnya ada kabar apa? Aku belum sempat membuka ponselku pagi ini."

"Kalau begitu kau tunggu apa lagi? Cepat lihat!" desak Natalie. Ia menyibak rambutnya dengan gelisah.

Aku mengerutkan kening kemudian merogoh saku celanaku sambil berdecak heran. Namun, ketika aku baru ingin menyalakan ponsel, suara bising dan gaduh yang berasal dari belokan tangga membuat perhatian kami otomatis teralihkan. Suara itu perlahan-lahan terdengar merayap ke posisi tempatku sedang berdiri.

"Oh, tidak. Berdoa saja semoga dia kembali bukan untukmu, Kathleen," gumam Natalie. Suaranya seperti berbalut kepasrahan. "Kau harus berjaga-jaga dari terkaman binatang buas."

"Tunggu, jangan bilang ...."

Teror seketika menyalip wajahku. Aku hapal betul suara gaduh itu. Suara di mana ada segerombolan anak cewek yang sedang berkoar-koar saat melihat bintang sekolah.

Astaga, dia tampan sekali!

Apa kau sudah punya pacar?

Berkencanlah denganku malam ini!

Dengan gaya keren bak aktor Hollywood, seorang cowok mengenakan jaket kulit yang tidak diritsleting menyeruak keluar dari gerombolan anak cewek yang sedang berteriak-teriak histeris padanya. Ia berjalan dengan langkah mantap. Tangan kirinya memegangi tali ransel di bahu sementara sebelah tangannya yang lain menyugar rambut cokelat keemasannya yang telah dipangkas rapi.

Aku terbelalak dengan mulut menganga lebar ketika melihat wajah cowok itu. "Kau-?"

Ia bergerak mendekat dan menghentikan langkahnya tepat di hadapanku. Mata biru safirnya berkilat menatapku secara intens.

"Steve?"

Senyumnya pun mengembang sempurna. "Long time no see, Kathleen Watson!"

Kalau di antara geng anak cewek ada Chloris sebagai dalang pembuat onar, sama juga halnya di golongan anak cowok. Steve Durant, siapa sih yang tidak mengenalnya? Dia adalah playboy kelas kakap paling terkenal di Wellington High School.

Ia memiliki wajah yang tampan, tajir, dan sering menjadi rebutan cewek-cewek populer. Tapi, bagiku semua kelebihan itu percuma sebab cowok ini termasuk paket lengkap yang paling kuhindari alias buaya darat dan suka membuat masalah.

Steve kembali setelah harus pindah ke Chicago karena bisnis orang tuanya sejak satu tahun yang lalu. Padahal, aku sudah berharap sekali kalau dia akan menetap di sana selama-lamanya.

"Yo! What's up, Man!" sapa kedua bocah tengil itu menyambut kedatangannya.

"James, Henry!" Steve merentangkan tangan kemudian langsung memeluk mereka berdua. "Bagaimana keadaan sekolah di sini waktu aku tidak ada?"

"Yeah, aman terkendali." James menyahut.

"Sebelum bocah itu datang!" sambung Henry ketika ia melihat William yang sedang berjalan masuk ke dalam ruang kelas.

"Memangnya, ada masalah apa kalian dengan dia?"

"Kau tidak lihat bibirku? Bocah itu yang sudah melakukannya! Asal kau tahu, rahangku ini berasa nyaris remuk gara-gara dipukul oleh si Anderson yang sok itu," keluhnya sengit.

Steve tertawa. "Itu hanya karena kau kurang berolahraga saja, Man. Tapi, siapa dia? Kurasa aku belum pernah melihatnya di sini."

"Namanya William Anderson. Dia akan menjadi saingan kau juga di sini selain Kevin."

"William?" Ia mengangkat satu alis tebalnya dan mendengkus remeh "Mana mungkin? Yang benar saja dia bisa menjadi sainganku."

"Kalau kau tidak percaya coba saja buktikan sendiri."

"Oh, kau tidak usah cemas, Hen. Aku selalu punya cara yang fantastis buat bersenang-senang. Percayalah," balasnya.

Aku berdeham keras untuk menginterupsi pembicaraan mereka dan sebenarnya memang malas mendengarkan celotehan ketiga cowok itu yang sama sekali tidak berguna.

"Steve, apa kau yang memberikan bunga ini padaku?"

"Yeah, bagaimana? Kau suka? Bunganya terlihat sangat cantik ... sama sepertimu," rayunya seraya mengulas senyum manis.

Cewek-cewek yang berdiri di sekeliling kami pun bersorak riuh. Kutahu mereka tidak suka kalau Steve merayuku dan aku sendiri juga sudah terlanjur muak dengan segala rayuan basinya.

"Kau tidak perlu repot-repot. Simpan saja uangmu untuk hal lain yang lebih berguna!" ketusku seraya mengembalikan buket bunga tulip itu dan segera menyingkir dari sana.

"Hei, kau mau pergi ke mana? Apa kau tidak kangen denganku?"

Sungguh. Steve adalah cowok paling menyebalkan yang pernah kukenal. Melihat wajahnya aku jadi teringat lagi dengan kejadian memalukan di kelas olahraga sewaktu dulu. Bisa-bisanya dia membuatku terlihat bodoh di hadapan semua orang. Aku tahu kalau dia mengejar-ngejarku cuma karena taruhan konyolnya dengan James dan Henry. Memangnya aku ini boneka yang bisa di permainkan sesuka hati mereka?

Baru saja masuk ke kelas dan duduk, Chloris bersama dua antek-anteknya itu langsung menghampiriku.

"Well, well, well." Chloris menyilangkan kedua tangannya. Ia memelototiku dengan nyalang seolah-olah aku telah merebut pacar barunya.

"Kenapa?" semburku seraya bangkit berdiri. "Kalau kau ingin memprotes soal Steve aku tidak punya waktu untuk meladeni omong kosongmu!"

Sudut mulutnya pun mencibir. "Kau dengar, Steve itu punyaku!"

"Ambil saja. Silakan! Lagian siapa juga yang bilang kalau dia itu punyaku?" balasku geram.

"Kau tidak usah sok jual mahal. Kenapa dia dari dulu terus menempel denganmu kalau bukan kau duluan yang mengejar-ngejarnya?!"

"Ya mana aku tahu. Tanyakan saja sendiri padanya!"

"Wah, kau ini benar-benar mencari ribut, ya?" Maggie menjambak rambutku. "Dasar cewek kecentilan!"

"Apa? Kau yang kecentilan! Tidak punya kaca?" Aku meronta. "Lepaskan tidak?!"

"Tahu rasa! Siapa suruh kau berani macam-macam!"

William tiba-tiba bangkit dari kursinya dan langsung mencekal tangan cewek itu. "Lepaskan tanganmu."

"Cih, lihatlah! Pangeran kesayanganmu yang lain datang, Nyonya Kathleen Watson!" sindirnya.

"Apa aku perlu mengulang ucapanku lagi? Kuhitung satu sampai tiga. Kalau kau tetap tidak melepaskan tanganmu darinya, kalian bertiga akan kulaporkan ke kepala sekolah."

"Kau pikir aku takut?"

"Satu."

"Coba saja!"

"Dua."

Ia memutar bola mata.

"Kau tahu, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku. Mungkin kalian lebih suka membersihkan toilet daripada belajar di ruang kelas."

Maggie pun menggertakkan gigi kemudian segera melepaskan tangannya sambil menggerutu kesal. "Puas?"

"Sekarang kalian bertiga cepat pergi dari sini!" tegas Will. "Dia milikku. Tidak ada yang boleh menyentuhnya kecuali aku."

Aku tercengang detik itu juga.

"Lihat saja kau, Kathleen!" Mereka bertiga menjejakkan kaki lalu berderap keluar seraya menabrak pundakku.

Setelah mengatakan hal yang mengejutkan tadi, William kembali duduk di kursinya dengan sangat tenang.

Aku menatapnya tak bergerak. Pikiran dan benakku melayang-layang di udara-menerka alasannya bisa berkata demikian.

"Jangan salah paham. Aku hanya tidak suka melihat ada keributan di depan mataku. Jadi, lupakan saja. Anggap aku tidak pernah berkata seperti itu," ujarnya dengan suara datar.

Aku masih mematung tanpa menjawab apa-apa. Sekelumit perasaan asing mendadak timbul tenggelam dalam benakku. Entah aku harus merasa bahagia atau malah kecewa dengan ucapannya barusan. Bahagia karena dia peduli padaku atau kecewa karena perkataan Natalie benar-bahwa aku memang mulai menyukainya?

Tapi, kurasa tidak. William benar. Ia hanya berniat membantuku. Harusnya aku bisa menanggapi maksudnya secara rasional. Bukan malah melibatkan perasaan yang tidak pasti.

1
🐌KANG MAGERAN🐌
mampir kak, semangat dr 'Ajari aku hijrah' 😊
🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
ceritanya bagus, tulisannya rapih banget 😍😍😍😍
🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐: punya ku berantakan, ya ampun 🙈
𝓡𝓲𝓿𝓮𝓵𝓵𝓮 ᯓᡣ𐭩: makasih kaa~/Rose/
total 2 replies
🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
/Scare//Scare//Scare/
🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
ya ampun serem banget
🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
. jadi ikut panik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!