Anggista Anggraini, yang lebih akrab di sapa dengan nama Gista, mencoba menghubungi sahabatnya Renata Setiawan untuk meminjam uang ketika rentenir datang ke rumahnya. Menagih hutang sang ayah sebesar 150 juta rupiah. Namun, ketika ia mengetahui sahabatnya sedang ada masalah rumah tangga, Gista mengurungkan niatnya. Ia terpaksa menemui sang atasan, Dirgantara Wijaya sebagai pilihan terakhirnya. Tidak ada pilihan lain. Gadis berusia 22 tahun itu pun terjebak dengan pria berstatus duda yang merupakan adik ipar dari sahabatnya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Ancaman Dirga.
Hingga akhir pekan tiba, Dirga juga belum pulang ke apartemen. Pria berstatus duda itu juga tak menampakkan dirinya di kafe.
Informasi terakhir yang Gista dapat dari rekan kerjanya, pria itu berada di klub malam. Setelah itu, entah kemana perginya?
Di satu sisi Gista merasa lega karena ia tidak perlu melayani pria itu.
Namun di sisi lain, gadis itu juga merasa cemas dan ingin tau kemana perginya sang atasan.
Gista benar-benar tidak berani mengirim pesan, atau menghubungi Dirga lebih dulu. Ia tidak ingin pria itu marah karena kelancangannya.
“Apa yang harus aku lakukan?” Gumam Gista sembari duduk bersandar di atas sofa. Ia sudah selesai membersihkan apartemen. Kamar Dirga masih rapi, seperti terakhir kali di bersihkan. Karena sudah tidak di huni selama empat malam.
Tidak ada cucian kotor. Sebab Dirga tidak pernah pulang untuk berganti pakaian.
Tidak mau terlalu memikirkan tentang keberadaan sang atasan, Gista memutuskan untuk pergi ke kafe lebih awal. Daripada berdiam diri di apartemen, hanya membuatnya penasaran dimana Dirga berada. Lebih baik menyibukkan diri bukan?
Maka Gista pun bersiap. Mandi kemudian berganti pakaian. Setelah itu, keluar dari apartemen.
Dua puluh menit kemudian, Gista sudah tiba di kafe.
Pengunjung terlihat lumayan ramai, mengingat masih waktunya makan siang. Gista bergegas pergi ke loker meletakkan tas yang ia bawa. Kemudian membantu teman-temannya.
“Tumben datang siang, Ta?” Tanya Agus petugas barista yang sedang meracik kopi.
“Iya, kak. Mau liburan tengah semester. Jadi hari ini pulang lebih cepat.” Jawab Gista sembari menunggu pesanan.
Pemuda itu mengangguk paham. Ia kemudian meletakkan secangkir kopi di atas nampan, lalu Gista membawanya ke meja konsumen.
“Silahkan, kak— Bobby?”
Pria yang disebutkan namanya oleh Gista itu pun tersenyum kecut. “Kamu masih mengingatku?” Tanya sembari meraih cangkir kopi yang Gista letakkan.
“Penguntitnya Renatta.” Jawab gadis itu dengan singkat,
Pemuda itu pun berdecih pelan. “Apa tidak ada istilah lain yang lebih bagus? Aku bukan penguntit. Aku di tugaskan untuk menjaga Renatta.”
Gista memutar bola matanya dengan malas. Ia sudah mengetahui cerita tentang Bobby ini dari Renatta.
“Untuk apa kamu disini? Apa tidak bekerja?” Tanya Gista kemudian. “Atau pak Richard sudah memecatmu?”
Bobby sedikit terbatuk mendengar pertanyaan gadis itu. “Enak saja. Ini kafe milik pak Dirga. Siapapun bisa datang kemari. Dan lagi, aku sedang di liburkan oleh pak Richard karena mereka akan pergi berbulan madu.”
Gista menatap Bobby penuh selidik. Sebab Renatta sama sekali tidak mengatakan jika akan pergi berbulan madu.
“Jangan menatapku seperti itu. Pak Richard ingin memberikan kejutan pada istrinya. Aku harap kamu tidak mengatakan apapun pada Renatta.” Imbuh Bobby kemudian.
Pemuda itu seperti bisa membaca apa yang ada di pikiran Gista. Mengingatkan gadis itu pada Dirga. Yang selalu bisa menebak apa yang ia pikirkan.
Namun, sedetik kemudian Gista menggelengkan kepalanya. Mengusir bayangan Dirga yang tiba-tiba muncul di benaknya.
“Kalau begitu, selamat menikmati.” Ucap Gista kemudian.
“Jangan ketus begitu. Nanti pelanggan bisa pergi.” Gurau Bobby, dan Gista pun mencebik.
Gadis itu memutar tubuhnya untuk pergi meninggalkan meja yang di tempati oleh Bobby.
Dan tanpa sengaja pandangan Gista beradu dengan seorang pria dewasa yang baru saja masuk ke dalam kafe, bersama dengan seorang wanita dewasa.
“Pak Dirga.” Gumam Gista sangat pelan.
Setelah berpisah selama lima hari, akhirnya ia bisa melihat pria itu lagi. Dan tampaknya kecemasan Gista tak berarti. Sebab Dirga terlihat baik-baik saja.
Pria dewasa itu pun menatap Gista dan Bobby dengan lekat secara bergantian.
“Lah malah bengong.” Celetuk Bobby yang tidak menyadari kehadiran Dirga. Pemuda itu dengan isengnya menyentil pelan tangan Gista.
“Aw.” Gista tersadar kemudian mendelik ke arah Bobby. Pemuda itu pun menjulurkan lidahnya.
Ia sengaja mengerjai gadis itu.
Gista kemudian benar-benar pergi dari meja itu.
“Gista, tolong antarkan ke meja pak bos.” Ucap Agus meletakkan dua cangkir cappucino di atas meja barista.
“Kak, bisa minta yang lain?” Tolak Gista karena tidak ingin bertemu dengan Dirga.
“Ta. Yang lain sedang sibuk. Sudah, antarkan dulu. Supaya tidak dingin.” Barista itu melanjutkan tugasnya.
Gista menghela nafas kasar. Kemudian meletakkan dua cangkir itu di atas nampan. Ia kemudian mencari keberadaan Dirga.
“Maaf. Permisi, pak.” Ucap Gista ketika sampai di meja yang di tempati oleh atasannya itu.
Mendengar suara orang lain, pertautan tangan Dirga dan wanita dewasa di atas meja pun terlepas.
Gista kemudian meletakkan dua cangkir cappucino itu di atas meja, dengan jantung yang sedang berdetak kencang.
“Selamat menikmati kopi anda, pak, Bu.” Ucap Gista.
“Terima kasih.” Ucap wanita dewasa itu.
Namun Dirga tidak mengatakan apapun. Hanya menatap Gista dengan lekat.
Gadis itu berusaha tenang, kemudian pamit undur diri.
‘Sepertinya wanita itu bukan mantan istri pak Dirga. Apa mungkin pacarnya?’
\~\~\~
Gista merasa tenggorokannya kering. Ia pun memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil air minum.
Waktu menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Ia baru saja selesai membersihkan diri, sepulang dari kafe.
“Ah.” Gadis itu merasakan lega pada tenggorokannya. Ia kemudian mencuci gelas dan meletakkan pada rak piring.
“Astaga.” Gista terjingkat kaget ketika mendapati Dirga berdiri dengan menyilangkan dada, tepat pada akses keluar masuk dapur.
“Pak Dirga. Kapan sampainya?” Kepala Gista memutar untuk menatap pintu utama. Sudah tertutup. Kenapa ia tidak mendengar saat papan persegi panjang itu di buka?
“Sepertinya kamu mengenal Bobby dengan baik?” Bukannya menjawab pertanyaan gadis itu, Dirga justru melontarkan pertanyaan balik.
Gista tidak mengerti. Dahinya pun berkerut halus karena kebingungan.
“Maksud pak Dirga—
“Sejak kapan kamu mengenal Bobby?” Tanya pria itu sembari mendekat. Membuat Gista perlahan mundur, hingga punggungnya membentur lemari pendingin.
“Waktu itu tidak sengaja bertemu. Dan Renatta yang mengenalkan saya dengan Bobby.” Jelas Gista dengan jujur.
“Kamu ternyata sangat mudah akrab dengan seorang pria, ya?” Ucap Dirga lagi.
Sungguh Gista tidak mengerti maksud perkataan pria itu.
“Saya tidak akrab dengan Bobby, pak.” Kilah Gista karena memang benar adanya.
Dirga mencebikkan bibirnya. “Benarkah? Tidak akrab. Tetapi dia memegang tangan kamu.” Pria itu mendekatkan wajahnya pada Gista.
Tunggu.
Bukannya tangan Dirga yang bertaut dengan tangan wanita dewasa itu? Kenapa sekarang justru Gista yang di tuduh?
Seharusnya, Gista yang melemparkan pertanyaan seperti itu. Tetapi, apakah boleh? Dirinya hanya sebatas simpanan di dalam apartemen ini ‘kan?
“Bobby tidak ada memegang tangan saya, pak.”
Dirga kembali mencebikkan bibirnya. “Kamu terus saja membelanya. Ingat Anggista. Status kamu saat ini adalah simpanan saya. Awas jika kamu berani macam-macam dengan pria di luar sana. Saya akan habisi kamu.”
Gista menelan ludahnya dengan kasar setelah mendengar ancaman Dirga.
...****************...