Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Sean
Marsha berdiri di depan cermin, mengenakan kemeja putih dengan celana jeans favoritnya. Ia baru saja mengikat rambutnya ketika suara ketukan terdengar di pintu.
"Bu, Pak Sean ingin bertemu dengan Bu Marsha sebelum berangkat," ucap salah satu pelayan dari luar.
Marsha mengernyit. Ada apa lagi, sih?
Dengan enggan, ia membuka pintu dan berjalan menuju ruang kerja Sean. Begitu memasuki ruangan, ia melihat pria itu berdiri di balik meja dengan setelan jasnya yang rapi, tampak berwibawa seperti biasa.
"Kamu panggil aku?" tanya Marsha dengan nada datar.
Sean meliriknya sekilas sebelum meletakkan dokumen yang sedang ia baca. "Kamu nggak usah ke kampus hari ini."
Marsha mengerutkan dahi. "Apa? Kenapa?"
"Aku mau kamu tetap di rumah dan beristirahat. Nanti malam kita akan menghadiri pesta, dan aku mau kamu terlihat fit dan sempurna," jawab Sean dengan nada tegas.
Marsha menghela napas, berusaha menahan kesal. "Tapi aku ada tugas yang harus diselesaikan. Aku nggak bisa gitu aja—"
"Aku bakal mengurusnya," potong Sean santai.
Marsha menatapnya dengan ragu. "Mengurusnya bagaimana?"
Sean mengambil ponselnya, menekan beberapa tombol, lalu mendekat ke arah Marsha. "Siapa dosen yang memberi tugas itu?"
Marsha terbelalak. "Kamu nggak serius, kan?"
Sean mengangkat alis. "Sangat serius."
"Aku bisa menyelesaikan tugasku sendiri," ucap Marsha, mencoba bersikeras.
Sean hanya menatapnya tajam, lalu berbicara dengan nada yang tidak bisa dibantah. "Aku nggak mau dengar alasan. Hari ini kamu di rumah. Titik."
Marsha mengepalkan tangan, frustasi. "Jadi aku ini cuma burung dalam sangkar buat kamu?"
Sean tidak menjawab, hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Akhirnya, Marsha menyerah. Tidak ada gunanya berdebat dengan pria ini.
Seharian itu, Marsha hanya menghabiskan waktu di taman belakang rumah. Duduk di bangku kayu di bawah pohon besar, ia menatap langit yang perlahan berubah warna menjelang senja. Ia justru tidak bisa istirahat seperti yang diinginkan Sean.
Ia merasa terkekang, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa menyangkal bahwa ada bagian kecil dalam dirinya yang penasaran dengan pesta malam ini.
Sean mungkin dingin dan mendominasi, tetapi ia juga penuh misteri. Apa yang sebenarnya pria itu pikirkan?
Malam tiba. Marsha berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya dalam gaun hitam yang diberikan Sean. Gaun itu elegan, pas di tubuhnya, menonjolkan kecantikannya tanpa terlihat berlebihan.
Saat ia masih mengagumi penampilannya, pintu terbuka, dan Sean masuk. Marsha menoleh, dan matanya sedikit membesar melihat pria itu dalam setelan hitam yang begitu rapi dan memukau.
Sean juga tampak meneliti penampilan Marsha sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah, "Kamu terlihat sempurna."
Marsha menelan ludah, sedikit terkejut dengan pujian itu. Ia ingin membalas, tetapi Sean sudah berjalan mendekatinya, menyodorkan tangannya.
"Ayo, kita pergi."
Saat tangan Sean menggenggam tangannya, Marsha bisa merasakan kehangatan yang kontras dengan sikap pria itu yang selalu dingin dan mendominasi.
"Kamu gugup?" tanya Sean tanpa menoleh, masih berjalan dengan langkah tegap menuju mobil yang sudah menunggu di depan.
Marsha mendengus pelan. "Ya nggak lah."
Sean meliriknya sekilas, "Bohong."
Marsha mendelik padanya. "Aku nggak bohong."
Sean hanya mengangkat bahu, membukakan pintu mobil untuknya tanpa mengatakan apa-apa lagi. Marsha masuk dengan enggan, merasa seperti sedang dibawa ke sebuah dunia yang bahkan tidak ia pahami.
Di dalam mobil, keheningan menggantung di antara mereka. Hanya suara mesin yang terdengar lembut mengisi ruangan. Marsha melirik ke arah Sean, mencoba membaca ekspresi pria itu. Namun, seperti biasa, Sean adalah teka-teki yang sulit dipecahkan.
"Pesta ini sebegitu pentingnya buat kamu sampai harus ngatur hidup aku kayak gini?" tanya Marsha akhirnya.
Sean menoleh sebentar sebelum kembali fokus pada jalan. "Ya."
Jawaban singkat itu membuat Marsha mengerutkan dahi. "Kenapa?"
Sean tidak langsung menjawab. Ia tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata dengan nada santai, "Karena aku mau kamu ada di sana."
Marsha terdiam. Ada sesuatu dalam cara Sean mengatakannya yang membuatnya tidak bisa membalas. Seolah-olah kehadirannya di pesta itu bukan hanya tentang status atau penampilan, tetapi lebih dari itu.
Ia menatap pria di sebelahnya lebih lama, mencoba mencari jawaban di balik tatapan dinginnya.
Sean tiba-tiba menoleh dan menangkap basah Marsha yang sedang mengamatinya. "Jangan lihat aku kayak gitu."
Marsha mendengus, lalu memalingkan wajah ke luar jendela. "Aku cuma mau memastikan kamu bukan alien yang menculikku."
Sean menarik sudut bibirnya dalam senyum samar, penampakan yang jarang sekali terlihat. "Kalau aku benar-benar alien, kamu adalah manusia pertama yang aku tahan lebih lama dari yang seharusnya."
Marsha membelalak. "Apa maksud kamu?"
Sean tidak menjawab, hanya diam dan kembali fokus menyetir. Marsha menghela napas dan membiarkan Sean membawanya keluar menuju dunia yang belum pernah ia masuki sebelumnya. Dunia Sean. Dunia yang penuh rahasia.
...***...