Mbak Bian itu cantik.
Hampir setiap pagi aku disambut dengan senyum ramah saat akan menikmati secangkir kopi hangat di kafe miliknya.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku ingin membeli produk kecantikan terbaru, maka mbak Bian-lah yang selalu menjadi penasehatku.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku butuh pembalut, maka aku cukup mengetuk pintu kamar kost tempat mbak Bian yang berada tepat di sampingku.
Ah, mbak Bian benar-benar cantik.
Tapi semua pemikiranku sirna saat suatu malam mbak Bian tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Dengan wajah memerah seperti orang mabuk dia berkata
"Menikahlah denganku Cha!"
Belum sempat aku bereaksi, mbak Bian tiba-tiba membuka bajunya, menunjukkan pemandangan yang sama sekali tak pernah kulihat.
Saat itu aku menyadari, bahwa mbak Bian tidaklah cantik, tapi.... ganteng??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Difar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Sumber Ketakutan
Malam ini entah kenapa udara terasa lebih dingin dari biasanya. Berkali-kali aku menukar posisiku, ke kiri dan ke kanan, mencoba mencari posisi nyaman. Setelah aksi guling-guling manjaku yang tak juga membuahkan hasil, dengan kesal aku mendudukkan tubuh, menggapai ponselku yang terletak di atas meja.Tak ada pesan dari siapapun di sana. Yaiyalah, aku kan jomblo, palingan pesan yang masuk kalau nggak dari operator, ya dari pinjaman online berkedok KSP alias Koperasi Simpan Pinjam. Sampai aku hafal nama KSP yang begitu rutin menawarkan kebaikan hati mereka kepadaku. Dan rata-rata isinya seperti ini : Butuh modal usaha? Atau modal nikah? KSP bla bla solusinya.
Dengan malas aku bangkit dari pembaringan, mengambil botol air mineral yang katanya ada manis-manisnya, walaupun ketika ku minum tak kutemukan rasa manis yang dimaksud. Aku memandang pintu kamar kos, menimbang-nimbang apakah aku harus nongkrong dulu di luar supaya mengantuk atau menyambangi kamar mbak Bian dan mengajaknya bergosip sampai lelah.
Tapi, mengingat mbak Bian sedang menerima kunjungan rutin dari mas-mas yang aku tak tahu siapa namanya, aku langsung menyingkirkan opsi itu. Rasanya aku ingin menarik kerah baju Cancan dan menyeretnya ke kamar mbak Bian, agar tuduhannya tentang mbak Bian yang nggak normal langsung terpatahkan. Sedangkan opsi nongkrong di balkon sampai ngantuk masih sangat sulit untuk kulakukan, mengingat jam sudah menunjukkan pukul 23.30. Aku bergidik ngeri ketika membayangkan mbak kunti and the gank yang bisa saja ikut bergabung denganku.
Mau nonton drama korea juga tak ada guna. Yang ada aku malah melek karena penasaran dengan kelanjutannya. Lagian aku sudah kehabisan stok drama. Bahkan aku terpaksa menonton trang tung tung tung, Uttaran, sinetron india favorit mamakku akibat kebingungan mau menonton apalagi. Aku mencoba membaringkan tubuhku lagi, berguling ke kiri dan ke kanan, sesekali menghentakkan kaki dengan kesal. Ayolah mata! Berhentilah banyak tingkah dan menutuplah segera! Dalam hati aku mulai menghitung domba agar mengantuk, seperti yang pernah Mr. Bean pertontonkan dalam salah satu episodenya. Tapi bukannya ngantuk, yang ada otakku malah semakin segar. Ya salam, nasib-nasib!
Akhirnya aku menyerah, memilih untuk duduk dan melangkah keluar menuju balkon. Peduli setanlah sama mbak kunti yang pada dasarnya memang setan. Entar kalau beneran muncul, aku tinggal ngajak si mbak manggil mamang sate. Biar si mbak yang beli 100 tusuk pake daun, aku tinggal makan aja. Lumayan yakan 100 tusuk, kenyang juga.
Angin malam langsung menyambut tubuhku begitu aku berdiri di balkon, memandang ke arah jalanan yang sepi dari lalu lalang kendaraan. Dengan malas aku menyandarkan kepala ke gagang pembatas dan mulai menscroll kontak yang bisa kujadikan sasaran panggilanku untuk memancing rasa ngantuk.
Baru saja aku memutuskan untuk menekan tombol panggil pada nomor Siska yang memang hobi bergadang, sebuah kendaraan terlihat memasuki halaman kos. Aku menyipitkan mata, mencoba melihat mobil berwarna hitam itu lebih jelas. Aku yakin mobil itu bukan milik penghuni kos karena baru kali ini aku lihat. Alisku berkerut saat melihat seorang wanita turun dari mobil. Kepalanya tertunduk dan tak lama seorang pria bertubuh kekar ikut turun dari mobil dan berjalan di belakangnya.
Kalau aku tidak salah ingat, perempuan itu adalah salah satu penghuni yang menempati kamar lantai dua. Namanya mbak Nina, saingan mbak Bian dalam hal kecantikan. Mbak Nina terlihat berjalan dengan susah payah, seperti setengah sadar dan setengah tidak.
Brakkk!!
Mataku membelalak lebar saat pria bertubuh kekar itu memukul kepala mbak Nina dengan keras. Tubuh mbak Nina terhuyung ke depan akibat pukulan pria itu. Tak berhenti sampai disitu, pria itu mulai menendang kaki mbak Nina, membuatnya seketika jatuh tersungkur.
Gila!
Dengan kesal aku meraih ponselku dan mulai merekam, sebagai barang bukti yang bisa kuserahkan kepada polisi sebelum turun ke bawah dan menghajar pria kekar otot tapi bertulang lunak itu. Begini-begini aku pemegang sabuk hitam tapak suci, salah satu aliran silat yang diajarkan di sekolahku dulu.
Beraninya memukul wanita, apalagi mbak Nina kelihatannya sedang tidak sepenuhnya sadar. Pria itu terus memukul mbak Nina, bahkan kali ini lebih keras, membuat emosiku mendadak naik ke ubun-ubun. Sepertinya merasakan kegiatanku yang sedang merekamnya, pria itu mendongak ke atas, tepat ketika sebuah tangan tiba-tiba menarik tubuhku, membawaku masuk ke dalam kamar.
Refleks aku melayangkan pukulan ke arah seseorang yang kini membekap mulutku. Dengan mudah dia menangkap pukulan tanganku, membuatku hanya bisa menggerak-gerakkan tubuh frustasi. Mataku membelalak saat berhasil melihat siapa pemilik tangan yang berani-beraninya membekap mulutku. Ternyata pemilik tangan itu adalah mbak Bian. Setelah memastikan aku tak lagi berontak, mbak Bian melepaskan bekapannya.
"Gila, hampir aja gue jadi bulan-bulanan tinju lo!"
Ucap mbak Bian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku menghernyitkan alis kesal.
"Mbak juga, pakek acara bekap-bekap segala. Bikin kaget aja!"
Protesku tak mau kalah.
Tiba-tiba suara ketukan keras dari kamar sebelah, lebih tepatnya pintu kamarku terdengar nyaring, membuatku terlonjak kaget.
Aku baru menyadari bahwa saat ini aku berada di dalam kamar mbak Bian. Mas-mas yang biasa menyambangi kamar mbak Bian setiap malam juga masih ada di dalam kamar saat ini. Suasana mendadak hening. Mbak Bian dan mas itu saling menatap dengan ekspresi tegang. Tapi tiba-tiba sebuah makhluk cokelat kecil terbang melintasi kami.
"Anjirr, kecoak terbang!"
Teriak mbak Bian dan mas-mas asing itu berbarengan, terdengar sangat panik. Dan seakan menjadi mantra pemanggil, beberapa kecoak lainnya mendadak muncul dan mulai terbang ke arah kami.
Refleks aku juga ikut berteriak, berlari mencari tempat aman persis seperti yang mbak Bian dan mas itu lakukan. Percayalah, tak ada hewan yang lebih mengerikan daripada kecoak terbang.
"Tangkap Jem, tangkap!"
"Anjir, ogah. Lo aja, gue mending nangkap babi ngepet daripada nangkap kecoak terbang!"
"Nggak ada macho-machonya elo!"
"Lo juga geblek!"
Mbak Bian dan mas yang mungkin bernama Jems terus berdebat, membuatku yang sudah menemukan tempat persembunyian yang nyaman merasa risih dengan suara gaduh yang mereka timbulkan.
"Anjir, dia kesini!"
"Buset, hinggap di baju gue!"
Suara teriakan mereka bercampur dengan suara benda-benda berjatuhan. Setelah menarik nafas dalam-dalam dan mencoba mengumpulkan keberanian, aku lalu meraih sebuah sarung yang tergeletak di atas lantai, mengikatnya di kepalaku bak seorang ninja. Tak lupa aku meraih sebuah sapu dan serokan sebagai senjata.
"Hiyaaa!"
Dengan teriakan aku mulai memasuki arena peperangan, menggerakkan sapu dan serokan di tanganku, bak sebuah pedang dan tamengnya.
Dengan bangga aku melipat tanganku saat satu persatu kecoak mulai jatuh bergelimpangan. Sedangkan mbak Bian dan mas Jems hanya bisa bersembunyi di balik punggungku, masing-masing memegang ujung sarung yang membalut wajah dan tubuhku. Begitu tanganku bersiap menyerang kecoak terakhir, tiba-tiba ketukan keras terdengar dari pintu kamar mbak Bian diiringi dengan teriakan.
"Buka, Bangsat!"