Pernikahan tujuh tahun lamanya tak membuat Elara Aleshia mencintai suaminya, Arion Zefrano. Setelah ayah Elara meninggal, tiba-tiba ia meminta cerai pada suaminya itu.
"Ayah udah enggak ada, gak ada alasan lagi untuk kita tetap bersama. Karena dari awal, pernikahan ini hanya karena ayah. Lebih baik, kita berpisah Ar."
Arion mencoba untuk menenangkan Elara, mungkin wanita itu masih terpukul atas kepergian ayahnya. Namun, Elara tetap pada egonya.
"Baik, pergi lah jika itu membuatmu bahagia. Tapi, jangan bawa putraku."
Tanpa keraguan, Elara menganggukkan kepalanya. Ia beranjak pergi dari sana dengan menyeret kopernya. Kepergian Elara, membuat hati Arion terluka.
"Ternyata, aku hanya cinta sendirian. Jangan salahkan aku, jika putra kita membencimu." Lirihnya.
5 tahun kemudian, mereka kembali di pertemukan dengan keadaan yang tidak pernah keduanya pikirkan.
"Kenapa kamu memisahkanku dari putriku, Elara?" ~Arion.
"Aku benci Mama, Pa." ~
"Jangan cedih Mama, Dala peluk Mama."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang tak berdarah
Cuaca terlihat sangat mendung, awan gelap mulai menghalangi cahaya matahari yang menerangi bumi. Pemakaman yang tadinya ramai, kini satu persatu orang mulai pergi sebelum hujan mengguyur mereka. Tinggal lah seorang wanita dan beberapa orang saja yang masih diam berdiri di depan sebuah makam yang baru saja di buat.
Perlahan, wanita itu berlutut. Ia mengusap papan nisan dengan lembut. Tatapannya terlihat kosong, cuaca hari ini seolah menggambarkan keadaan hatinya sekarang. Gerimis mulai turun, tapi tak membuat wanita itu beranjak dari sana.
"Elara, ayo kita pulang. Sebentar lagi, pasti turun hujan." Ujar seorang pria tampan seraya menyentuh bahu wanita bernama Elara Aleshia.
"Arion, Mami sama Papi ke mobil duluan." Ujar seorang wanita paruh baya pada putranya, Arion Zefrano.
Arion mengangguk, ia membiarkan sepasang paruh baya itu pergi dari sana. Meninggalkan ia berdua dengan wanita yang berstatus sebagai istrinya. Perlahan, Elara beranjak berdiri. Arion menuntun istrinya itu untuk kembali ke mobil lantaran tatapan Elara yang terlihat kosong.
Keduanya pun masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan area pemakaman. Sepanjang jalan, Elara hanya menatap jalan tanpa berkata sedikitpun. Sejak sang ayah di nyatakan meninggal malam tadi, membuat dunia Elara terasa hancur. Orang tua satu-satunya yang ia miliki kini sudah berpulang. Cinta pertama nya, tak ada lagi bersamanya.
"Ayah pasti sudah bahagia sama Ibu, jangan terus meratapinya." Ujar Arion seraya mengelus bahu Elara dengan lembut. Ia tahu, seberapa terpukul Elara. Terlebih, istrinya itu terbilang sangat sayang dengan sang ayah yang memang sudah lama memiliki penyakit jantung. Sayangnya, dokter tak bisa lagi menyelamatkan sang ayah.
Sesampainya di rumah, Elara langsung turun dari mobil dan bergegas masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu dan bahkan menguncinya. Melihat itu, Arion menghela nafas pasrah. Ia memandang sendu ke arah pintu kamar mereka yang tertutup rapat. Yah, mungkin saat ini Elara butuh menenangkan diri.
"Papa."
Arion menoleh, ia tersenyum melihat anak laki-laki berusia enam tahun yang datang menghampirinya.
"Ervan? Kenapa hum?" Arion menghampiri putranya yang bernama Ervan Diaz Zefrano, putra pertamanya dengan Elara. Ervan tak ikut, sebab Arion melarangnya.
"Apa Mama baik-baik saja?" Tanya Ervan dengan tatapan khawatir.
"Ya, mama baik-baik saja. Dia hanya butuh waktu, sebentar saja. Nanti Mama akan pulih kembali hm. Ervan jangan ganggu mama dulu yah, main aja sama Papa." Ujar Arion memberi pengertian seraya mengelus kepala putranya itu.
Tatapan Ervan beralih menatap ke arah pintu dengan tatapan sendu. "Mama gak pernah main sama Ervan." Lirihnya.
Raut wajah Arion berubah, "Eum mungkin mama sibuk dengan kuliahnya. Ervan kan bisa main sama Papa, laki-laki mainnya harus sama laki-laki." Ujar Arion menenangkan putranya.
"Tapi temanku selalu main dengan ibunya. Mama gak suka Ervan yah?" Pertanyaan Ervan membuat tenggorokan Arion terasa tercekat.
"Bukan begitu, Mama hanya sibuk saja. Ayo, kita main di kamarmu." Arion memilih membawa putranya pergi bermain agar anak itu tak banyak bertanya lagi.
Selama ini Ervan ingin dengan dengan mamanya, tetapi Elara seolah menjauhinya. Bahkan, wanita itu tak pernah antusias dengan apa yang Ervan lakukan. Sering kali Ervan mencoba mendekat, tetapi mamanya seolah menatapnya sebagai orang asing.
"Ervan mau main sama Mama." Ujar Ervan saat keduanya masuk ke dalam kamar bermain milik Ervan.
"Nanti setelah Mama pulih kita main sama mama yah, sekarang main sama Papa dulu." Sahut Arion menenangkan putranya.
Ervan menunduk, ia menatap mainannya yang berantakan di karpet kamarnya. "Kapan Mama mau main sama Ervan?" Batin Ervan dengan tatapan sendu.
.
.
.
Seharian Elara tak keluar dari kamarnya, wanita itu hanya diam terduduk di lantai seraya bersandar pada ranjang. Ia memeluk lututnya seraya menatap kosong ke depan. Air matanya kembali luruh, d4danya terasa sesak. Tak ada isak tangis yang keluar dari bibirnya, hanya ada air mata yang mengalir untuk mencurahkan isi hatinya.
"Menikahlah dengan Arion, kalau kamu sayang Ayah. Ayah akan lebih semangat untuk sembuh, jika kamu mau menuruti kemauan Ayah." Ujar seorang pria paruh baya yang terbaring di atas brankar.
"Elara mau lanjutin kuliah dulu Ayah, Elara mau jadi wanita karir." Ujar Elara dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu bisa berkuliah setelah menikah, Arion juga pasti tidak akan melarang. Ayah tidak bisa menjagamu dengan kondisi seperti ini, menurut lah Nak." Ujar sang ayah dengan suara yang lirih.
Elara terdiam, ia menatap sang ayah dengan tatapan lekat. "Apa dengan itu Ayah berjanji padaku untuk bertahan lebih lama? Aku gak mau kehilangan Ayah, jika memang dengan aku menikah Ayah bisa semangat sembuh. Aku mau menikah dengan Arion." Putus Elara dengan mata berkaca-kaca.
"Ayah pasti semangat sembuh dan terus menemani putri kesayangan Ayah ini. Jangankan sampai Ayah punya cucu, Ayah akan berusaha bertahan sampai Ayah punya cicit. Jantung ini, akan terus berdetak sampai melihat putri kesayangan Ayah ini bahagia."
"Ayah bohong, aku belum bahagia dan ayah sudah pergi. Pernikahan ini ... tidak lebih dari sekedar janjiku pada ayah. Tapi, ayah mengingkari janji ayah." Lirih Elara dan melepas cincin pernikahannya yang terpasang apik di jari manisnya.
Ia kembali mengingat pernikahannya dengan Arion, tak ada raut wajah bahagianya. Ia tak mencintai Arion, bertahun-tahun ia menutup hatinya untuk suaminya itu. Namun, kesalahan satu malam membuatnya hamil dan melahirkan Ervan. Tak ada rasa bahagia di hati Elara saat menjalankan rumah tangganya bersama Arion selama tujuh tahun ini.
Sementara itu, Arion khawatir karena seharian Elara tak keluar kamar. Ia mengetuk pintu kamarnya, tetapi tak ada jawaban dari Elara. Arion mencoba berpikir positif, tetapi ia justru semakin bertambah khawatir.
"Elara, bisakah kamu keluar? Seharian kamu belum makan, Magh mu akan kambuh. Elara, kau mendengarku?" Ujar Arion yang kini berdiri di depan pintu.
Cukup lama Arion membujuk, tapi tak ada sahutan dari dalam. Khawatir Elara pingsan, Arion segera mengambil kunci duplikat. Namun, saat akan memasukkan kunci itu. Tiba-tiba pintu terbuka dari dalam. Melihat itu, Arion tersenyum lega.
"Elara, apa kamu baik-baik saja? Aku sangat ...." Perkataan Arion terhenti saat melihat koper yang ada di sisi wanita itu.
"Kamu ... mau kemana?" Tanya Arion dengan tatapan bingung.
"Ayah sudah tiada, gak ada lagi yang harus di pertahankan dari pernikahan ini. Mari kita berpisah Ar,"
Deghh!!
Arion menggelengkan kepalanya, ia tersenyum ragu pada istrinya itu. "Kamu lelah yah? Aku akan membiarkanmu istirahat. Masuklah kembali ke kamar, aku akan meminta bibi membawakan mu makan malam. Aku akan membiarkanmu sendiri dalam beberapa waktu untuk menerima keadaan ini semua." Ujar Arion dengan tatapan pias.
"Aku ingin mengejar kebahagiaanku, Arion." Lirih Elara dengan tatapan lekat.
Senyuman Arion luntur, ia menatap Elara dengan tatapan yang sulit di artikan. "Apa bersamaku kamu tidak bahagia? Tujuh tahun kita menikah, apa tidak ada artinya bagimu? Setelah apa yang kita lalu selama ini? Ingat, ada Ervan. Apa kamu memikirkan perasaannya?" Ujar Arion dengan suara bergetar.
"Aku tetap ingin berpisah, Ar. Hak mu yang ku berikan selama ini hanya sebatas baktiku menjadi seorang istri. Tolong, biarkan aku lepas dari belenggu pernikahan ini. Apa kamu juga tidak tersiksa dengan pernikahan terpaksa ini? Kamu bisa dapat wanita yang lebih baik dariku Ar," Lirih Elara dengan tatapan lekat.
Arion berkacak pinggang, pria itu menunduk sejenak dan menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya dengan kasar. Jantung Arion berdegup dengan keras, tangannya terasa bergetar saat ini.
"Baik, pergi lah jika itu membuatmu bahagia. Tapi, jangan bawa putraku." Ujar Arion sambil menatap Elara dengan tatapan yang menyakitkan.
Elara memalingkan wajahnya, ia mengangguk dan kembali menatap Arion dengan tatapan datar. "Anggap saja, Ervan sebagai hadiah terbaik yang pernah aku berikan padamu selama kita menikah." Ujar Elara sebelum beranjak pergi meninggalkan Arion yang terkejut dengan perkataan istrinya itu. Kedua tangan Arion terkepal, menahan amarah yang memuncak di d4da.
"JANGAN PERNAH KEMBALI ELARA!" Sentak Arion yang mana membuat langkah Elara terhenti.
"Jangan pernah kembali ke kehidupan ku dan putraku! Sekalinya kamu keluar dari rumah ini, kamu tidak akan memiliki kesempatan untuk kembali!" Ancam Arion. Namun, Elara tetap pada pendiriannya.
"Kamu pantas mendapat wanita yang lebih baik, Ar." Ujar Elara sebelum melanjutkan langkahnya pergi menjauh.
"Mama! Mama!!" Ervan yang melihat sang mama pergi dengan membawa kopernya segera berlari mengejarnya. Namun, Elara tetap pada pendiriannya. Ia memasuki mobil yang baru saja datang menjemputnya.
Mobil itu bergegas pergi, tapi tak membuat Ervan berhenti mengejarnya. Arion berlari mengejar putranya, ia meraih tubuh Ervan dalam pelukannya dan menahan putranya itu agar tak semakin mengejar kepergian mobil yang membawa Elara.
"MAMAAAAA!!"
Air mata Arion luruh, ia memeluk putranya di tengah guyuran hujan. "Kamu akan membayar apa yang kamu perbuat Elara!" Batin Arion dengan mata memerah menahan amarah.