Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7: Penyelidikan yang Menegangkan
Ruri tiba di kantor kepala desa dengan misi yang sudah dipikirkan matang-matang. Kompetisi "Pemuda Tangguh" bukan hanya ajang untuk meraih beasiswa bergengsi, tetapi kesempatan baginya untuk membuktikan keteguhan tekad dan kecerdasannya. Wawancara yang ia lakukan hari ini, walaupun terlihat sederhana di permukaan, adalah langkah penting untuk menggali lebih dalam dugaan korupsi yang terjadi di desanya. Desa yang memegang begitu banyak kenangan masa lalu bersama almarhum neneknya. Namun, dugaan penyalahgunaan dana proyek perbaikan jalan oleh kepala desa setempat, Pak Bambang, membuatnya harus kembali mengungkit masa lalu itu.
Saat Ruri masuk ke kantor desa yang terlihat tua dan kumuh, suasana tak langsung mencerminkan ketegangan di hatinya. Pak Bambang, pria yang cukup dihormati di desanya, menyambutnya dengan senyum yang seolah-olah tak pernah menyimpan kecurigaan. Namun, di balik senyumannya, Ruri tahu dia harus tetap waspada.
"Selamat datang, Ruri. Saya dengar Anda sekarang sedang berkompetisi di ajang besar. Sebuah kehormatan bagi desa kami," kata Pak Bambang dengan nada yang penuh kebanggaan. Namun, Ruri bisa merasakan bahwa ucapan itu hanya pemanis.
"Terima kasih, Pak. Saya di sini ingin menanyakan beberapa hal mengenai proyek jalan yang sedang berlangsung. Ada beberapa isu yang mengemuka, dan saya ditugaskan untuk mencari kebenaran tentang itu."
Pak Bambang tersenyum lebar. “Isu? Saya pastikan itu semua hanya desas-desus. Saya pribadi selalu menjaga integritas dalam menjalankan tugas.”
Ucapan itu terlalu mudah. Pak Bambang tampak percaya diri, bahkan menyodorkan buku besar yang memuat semua catatan transaksi proyek.
"Ini catatan keuangan kami, silakan lihat. Semuanya tercatat dengan rapi. Kami tidak pernah menggunakan uang yang seharusnya untuk pembangunan untuk hal lain."
Ruri memandangi buku besar itu, jari-jarinya bergerak lembut membuka halaman-halaman awal. Meski Pak Bambang begitu terbuka, dia tidak bisa melepaskan rasa curiganya. Walau tak mungkin seseorang yang bersalah begitu santai menyerahkan bukti, pasti tetap ada sesuatu yang bisa ditemukan di balik catatan ini, pikirnya. Ia mulai membaca dengan seksama, mencari celah, bahkan kesalahan kecil yang mungkin terlewatkan.
Sementara itu, kameramen yang ditugaskan bersamanya sibuk merekam setiap gerak-gerik. Lensa kamera terfokus pada wajah Ruri yang tampak serius. Di sudut ruangan, Carlos berdiri dengan tenang, namun matanya terus berpindah antara Ruri dan Kepala Desa, penuh perhatian. Dia terlihat lebih pendiam daripada biasanya, seakan-akan menyadari bahwa ada hal lebih besar yang sedang terjadi, lebih dari sekadar kompetisi.
Ruri merasa ada yang janggal, tetapi ia tak bisa segera menemukannya. Setiap angka di buku besar itu tampak sempurna. Catatan pembelian material, pembayaran pekerja, semuanya sesuai. Tidak ada yang aneh di permukaan. Namun, ia tahu bahwa orang yang bersalah sering kali meninggalkan jejak kecil yang tidak disengaja, sesuatu yang tampaknya sepele namun bisa menjadi kunci pembuktian.
Ketika wawancara selesai, Ruri tersenyum tipis kepada Pak Bambang dan menutup buku besar itu. "Terima kasih, Pak. Saya akan melaporkan ini kepada pihak penyelenggara." Pak Bambang mengangguk ramah, tetapi Ruri tahu bahwa perasaannya belum tenang. Kecurigaan tetap membara di dadanya.
Setelah meninggalkan kantor kepala desa, Ruri bersama Carlos dan kameramennya berjalan kembali ke tenda sementara mereka. Di perjalanan, Ruri mengungkapkan perasaannya kepada Carlos. "Ada yang aneh. Catatan itu terlalu sempurna. Terlalu rapi. Seolah-olah sudah direncanakan untuk tampak bersih." Carlos yang biasanya banyak bicara hanya diam mendengarkan. Ruri merasa ada yang berbeda darinya hari ini, tapi ia tak terlalu memikirkan. Mungkin Carlos khawatir dirinya akan dikeluarkan dari kompetisi jika panitia tahu bahwa dia ikut terlibat dalam penyelidikan ini, padahal aturan jelas melarang bantuan dari pihak luar.
Tetapi, perasaan khawatir Carlos lebih dari itu. Dia tahu sesuatu yang tidak diketahui Ruri. Pandangannya terfokus pada jalan yang mereka lalui, jalan yang dipenuhi oleh bekas-bekas kerusakan. Namun di sana, Carlos bisa merasakan kehadiran sesuatu—sesuatu yang bukan dari dunia manusia. Ada makhluk astral yang berhubungan dengan kerusakan jalan, makhluk yang serupa dengannya ketika masih dalam wujud hantu. Hanya saja kali ini, makhluk itu jauh lebih berbahaya: hantu ular raksasa yang dengan ekornya telah lama menghancurkan infrastruktur di desa ini.
___
Ketika Ruri kembali ke kehidupan kampusnya, kuliah hari itu kebetulan membahas topik yang sangat relevan dengan penyelidikannya: psikologi korupsi. Dosen yang dikenal dengan pemahaman mendalam tentang perilaku manusia itu berdiri di depan kelas, menatap mahasiswa-mahasiswanya dengan serius.
"Korupsi," ucap sang dosen, "bukan hanya soal keserakahan, tapi juga soal kesempatan. Ketika seseorang merasa mereka punya kendali atas sumber daya dan tidak ada pengawasan yang ketat, godaan untuk menyalahgunakan kekuasaan itu bisa sangat kuat. Korupsi tidak selalu terjadi karena orang ingin kaya, tapi karena mereka merasa tidak akan ketahuan. Inilah salah satu aspek penting dari psikologi korupsi."
Dosen itu melanjutkan dengan tenang, namun nada bicaranya tegas. "Pelaku korupsi sering kali membuat pembenaran untuk diri mereka sendiri. 'Saya melakukan ini demi keluarga', 'Semua orang melakukannya', atau 'Ini hak saya'. Ini adalah bentuk disonansi kognitif, di mana pelaku mencoba menenangkan hati nurani mereka dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, meski mereka tahu tindakan mereka salah. Dengan kata lain, mereka mengkonstruksi cerita di kepala mereka untuk membuat tindakan buruk terasa wajar."
"Namun, jangan salah," lanjutnya sambil menunjuk ke layar proyektor yang menampilkan grafik korupsi di berbagai negara. "Korupsi juga sering kali melibatkan jaringan—keluarga, teman, kolega. Sering kali, mereka yang melakukan korupsi tidak bekerja sendirian, tetapi dalam suatu sistem yang saling mendukung. Oleh sebab itu, membongkar korupsi bukan hanya tentang mencari siapa pelakunya, tapi juga memetakan jaringan dan hubungan-hubungan yang terlibat."
Ruri mendengarkan dengan cermat, mencatat setiap kata yang terasa relevan dengan penyelidikannya di desa. Ia merasa mendapat wawasan penting yang mungkin akan membantunya memecahkan kasus yang tengah ia hadapi.
Pikiran Ruri terus melayang kepada proyek jalan yang tengah dibangun di desa itu. Apakah ada koneksi antara kepala desa dan perusahaan konstruksi? Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari proyek yang selalu gagal ini?
___
Begitu kelas usai, Sandra dan gengnya tidak melewatkan kesempatan untuk mengganggu Ruri, seperti biasanya. Ejekan mereka semakin pedas. "Ruri, kau pikir dengan ikut kompetisi itu kau akan jadi pahlawan? Dasar orang rendahan yang tak tahu diri," ucap Sandra dengan nada meremehkan. Namun, Ruri tetap berusaha tenang. Dia tahu lebih baik diam daripada meladeni provokasi semacam itu.
Carlos, yang menunggunya di luar gedung kuliah, segera datang bak pangeran yang menjemput tuan putrinya. Sandra hanya bisa menggigit jari, melihat pria tampan yang tak pernah melirik sedikit pun ke arahnya.
___
Kembali ke desa, Ruri dan timnya tiba di lokasi proyek pembangunan jalan raya yang sedang berlangsung. Ruri menyusuri setiap sudut, mewawancarai pekerja dan pelaksana proyek, mencari petunjuk baru. Dia ingin tahu apakah ada hubungan kekerabatan atau kepentingan tersembunyi antara kepala desa dan pihak perusahaan konstruksi.
Namun, kali ini Pak Bambang tampak lebih waspada. Ketika Ruri datang menemuinya di balai desa, wajahnya terlihat lebih tegang. Walaupun mereka berbasa-basi sejenak, tak bisa disembunyikan bahwa ada ketidaksenangan di balik sapaan ramah kepala desa itu. Tetapi Ruri punya kartu truf: sebagai peserta resmi kompetisi "Pemuda Tangguh", dia mendapat dukungan penuh dari pemerintah pusat. Pak Bambang tak punya pilihan selain bersikap kooperatif.
"Jalanan ini harus segera diperbaiki. Pembangunan yang tertunda hanya akan menambah masalah bagi masyarakat," ucap Pak Bambang, berusaha menunjukkan keprihatinannya.
"Benar, Pak. Namun, saya merasa ada yang tidak beres dengan proyek ini. Apakah Bapak yakin tidak ada campur tangan yang merugikan desa?" Ruri bertanya dengan tegas.
Pak Bambang tersenyum sinis. "Kamu masih muda, Ruri. Tidak semua yang tampak buruk berarti ada yang salah. Kadang-kadang, kegagalan hanyalah karena faktor alam."
___
Panas matahari sore itu begitu menyengat di lokasi konstruksi. Ruri memegang sebotol air mineral, memandangi deretan alat berat dan para pekerja yang sibuk dengan proyek perbaikan jalan. Kamera di belakangnya terus merekam setiap gerakan, sementara Carlos berdiri di sampingnya, tak melepaskan pandangan dari Ruri.
“Sibuk sekali di sini,” gumam Ruri sambil menyeka keringat di dahinya.
Seorang pekerja konstruksi, pria paruh baya dengan senyum lebar, berjalan mendekat. “Iya, Mbak. Ini proyek penting, jalannya sering rusak. Kalau Mbak butuh apa-apa, bilang aja, jangan sungkan. Kami semua di sini anggap ini tugas negara.”
Ruri tersenyum sopan. “Terima kasih, Pak. Saya cuma mengamati saja.”
Carlos, yang selama ini diam, tiba-tiba menyahut, “Kalau Mbak Ruri ini mungkin butuh kursi buat duduk, nih. Panas-panas begini, takutnya pingsan.” Candanya dengan nada santai.
Ruri menoleh ke Carlos dengan tatapan tajam. “Aku baik-baik saja, Carlos. Kamu malah yang harusnya pakai topi, biar nggak kepanasan. Nih, topinya.”
Pria pekerja tadi tertawa melihat interaksi mereka. “Wah, Mas, harusnya yang melindungi Mbak, bukan malah yang dimanja.”
Carlos mengangkat bahu dengan senyum kecil. “Nah, itu dia. Mbak Ruri ini mandiri banget, jadi kadang saya kebingungan mau bantu apa.”
Ruri mendengus, lalu membalas candaan Carlos dengan suara pelan. “Kalau kamu mau bantu, mungkin bisa jadi ‘tameng matahari’, berdiri di sini biar aku nggak kepanasan.”
Carlos melangkah maju, benar-benar berdiri di depan Ruri seperti perisai, membuat Ruri terpaksa menahan tawa. “Cocok, kan? Aku jadi payung berjalan sekarang,” katanya, membuat Ruri terpaksa tersenyum lebar, menahan geli.
“Mbak, Mas ini benar-benar setia banget ya, he-he-he,” kata salah satu pekerja lain yang lewat sambil membawa papan kayu. Mereka semua tertawa, membuat suasana di lokasi konstruksi terasa lebih ringan meski pekerjaannya berat.
"Kalau setia, sih, setia. Tapi tetap bikin repot," kata Ruri pelan, matanya melirik ke Carlos yang pura-pura tidak mendengar.
Ruri kemudian menghampiri salah satu alat berat yang tengah digunakan untuk menggali fondasi jalan. Ia berbicara sebentar dengan operatornya, menanyakan bagaimana proses perbaikan dilakukan. Carlos, yang penasaran, ikut mendekat, tetapi tetap menjaga jarak. Pandangannya tidak lagi pada alat berat, melainkan sekeliling lokasi.
"Hei, hati-hati, jangan berdiri terlalu dekat dengan alat berat itu!" kata Ruri tiba-tiba, memperingatkan Carlos. Ia merasa Carlos berdiri terlalu dekat dengan truk pengikis yang sedang bekerja.
Carlos mengangkat kedua tangannya, pura-pura menyerah. “Baik, baik, Bos. Aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu.”
Setelah berbicara dengan beberapa pekerja konstruksi lainnya, Ruri mulai merasa lelah. Ia berdiri di tepi lokasi, mengamati jalannya proyek sambil sesekali melirik ke arah Carlos yang masih terlihat seperti mengamati sesuatu. Pekerjaan terlihat berjalan lancar. Semua tampak normal—hingga tiba-tiba terdengar suara keras dari alat berat yang mulai tidak terkendali.
Tiba-tiba, alat pengikis besar dari truk konstruksi kehilangan kendali dan berlari liar menuju ke arah Ruri. Dalam sekejap, Carlos melompat dengan kecepatan yang tak wajar, menarik Ruri menjauh dari bahaya. Mata kucingnya yang kuning bersinar terang, menatap dengan waspada ke suatu tempat di kejauhan.
Di sana, ular raksasa itu, hantu yang menghancurkan jalanan, tampak tertawa licik, puas dengan kekacauan yang telah ia ciptakan. Carlos menatapnya dengan penuh dendam, mengetahui bahwa pertarungan mereka belum berakhir.