Raka adalah seorang pemuda biasa yang bermimpi menemukan arti hidup dan cinta sejati. Namun, perjalanan hidupnya berbelok saat ia bertemu dengan sebuah dunia tersembunyi di balik mitos dan legenda di Indonesia. Di sebuah perjalanan ke sebuah desa terpencil di lereng gunung, ia bertemu dengan Amara, perempuan misterius dengan mata yang seakan memiliki segudang rahasia.
Di balik keindahan alam yang memukau, Raka menyadari bahwa dirinya telah terperangkap dalam konflik antara dunia nyata dan kekuatan supranatural yang melingkupi legenda Indonesia—tentang kekuatan harta karun kuno, jimat, serta takhayul yang selama ini dianggap mitos.
Dalam perjalanan ini, Raka harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk rasa cintanya yang tumbuh untuk Amara, sembari berjuang mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik cerita rakyat dan keajaiban yang mengikat mereka berdua. Akan tetapi, tidak semua yang bersembunyi bisa dipercaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ihsan Fadil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Mimpi yang Membingungkan
Malam telah tiba, menutup perjalanan mereka dengan selimut gelap yang dipenuhi bintang-bintang berkilauan. Lembah tempat mereka berada terasa semakin asing dengan setiap langkah yang mereka jalani. Udara malam menyejukkan kulit mereka, tetapi juga membungkus perasaan ketegangan yang tak bisa mereka hilangkan.
Raka duduk di dekat api unggun kecil yang mereka buat dari kayu kering. Cahaya yang berpantulan dari api itu menari-nari di wajahnya, menciptakan bayangan yang berputar dan berubah. Amara dan Arjuna duduk di sekelilingnya, masing-masing tenggelam dalam pemikiran mereka sendiri.
Raka memandangi kepulan asap yang naik ke udara. Kakinya terasa lelah, tetapi yang lebih melelahkan adalah perasaan di dalam hatinya—rasa penasaran yang bertemu dengan ketakutan.
“Apakah kalian pernah merasa seolah-olah ada yang mengawasi kita?” tanya Raka tiba-tiba.
Arjuna memandangnya dengan alis yang berkerut. “Maksudmu bagaimana?”
“Seperti ada mata yang melihat kita, bahkan ketika kita tidak melihat apa-apa,” lanjut Raka sambil memindahkan kayu di api unggun. “Perasaan ini sudah sering datang, sejak kita masuk ke jalur ini.”
Amara memandang ke api yang berkobar. “Kita sedang dalam perjalanan yang penuh rahasia. Tak bisa dipungkiri bahwa ini bisa mempengaruhi perasaan kita. Tapi apa benar kita diikuti oleh sesuatu yang lebih dari sekadar rasa takut kita sendiri?”
Percakapan mereka berakhir di situ. Mereka semua tenggelam dalam ketenangan malam yang menyelimuti mereka—ketenangan yang terasa penuh dengan misteri dan ketidakpastian.
---
Malam itu, Raka tertidur dalam posisi duduk, kepalanya terkulai dengan napas yang pelan. Tidur yang singkat itu membawa dirinya ke sebuah tempat yang sama sekali berbeda.
Ia membuka matanya, mendapati dirinya berada di ruang yang gelap, dengan kabut tipis yang menari di udara. Tanah di bawahnya lembut, dipenuhi rerumputan hijau yang berbau segar. Namun, suasana itu terasa salah—tak ada kehangatan, tak ada kedamaian.
Raka berdiri. Suara langkah-langkah halus terdengar di kejauhan. Ia berbalik dan melihat sosok gelap yang perlahan mendekat. Sosok itu seperti bayangan, wajahnya tak terlihat tetapi auranya memancar kuat—sebuah perasaan yang mengirimkan hawa dingin hingga ke tulangnya.
“Siapa itu?” bisik Raka dengan suara bergetar.
Sosok itu berhenti beberapa langkah dari Raka, lalu berbicara dengan suara yang dalam dan menggelegar, seperti gema dari tempat yang jauh.
“Kau mencari kebenaran, bukan?”
Raka memundurkan langkahnya, hatinya berdebar lebih cepat. “Siapa kau? Apa maksud perkataan itu?”
Sosok itu tertawa pelan. “Kau sudah membuka jalan ini. Tetapi kebenaran tidak akan pernah datang dengan mudah. Kadang, kau harus menanggung lebih banyak ketakutan daripada yang kau kira.”
Raka mencoba tetap tenang, tetapi kata-kata itu memengaruhi dirinya. “Kau… kau tahu apa yang kami cari, bukan?”
“Ya,” ujar sosok itu sambil melangkah lebih dekat. “Kau akan melihat sisi gelap dari perjalanan ini. Banyak hal akan diuji—pilihan, pengorbanan, dan keberanian.”
Raka bisa merasakan energi yang memancar dari sosok itu. Sosok ini bukan sekadar penglihatan atau halusinasi. Ia memiliki kekuatan—sesuatu yang bahkan sulit untuk ia pahami.
“Kau harus memilih, Raka,” suara itu berbisik dengan lembut. “Apakah kau akan terus maju dengan semua konsekuensinya, atau akan berhenti di sini, sebelum semuanya terlambat?”
Raka berusaha mengumpulkan kekuatannya. “Aku akan terus berjalan,” jawabnya dengan keteguhan yang mengejutkan dirinya sendiri.
Sosok itu menunduk sedikit, lalu menghilang dalam kabut yang berputar.
---
Raka terbangun dengan keringat membasahi wajahnya. Jantungnya berdebar lebih cepat. Pandangan malam yang dipenuhi bintang terasa jauh lebih membingungkan setelah mimpi itu. Apakah itu hanya mimpi? Atau adalah petunjuk yang harus ia pahami lebih dalam?
Ia menatap Amara dan Arjuna yang masih terlelap. Raka tahu, ia harus membagikan perasaannya ini—meskipun ia tidak tahu harus memulainya dari mana.
Kelelahan dan ketakutan berbaur menjadi satu. Akan tetapi, satu hal yang ia yakini: petunjuk itu adalah bagian dari perjalanan mereka yang lebih panjang.
Ia memandangi api unggun yang mulai meredup. “Kita harus siap,” bisiknya kepada dirinya sendiri.
Dengan kesadaran itu, ia kembali berbaring dan memejamkan mata, berusaha untuk menghilangkan bayangan mimpi yang masih membingungkan pikirannya. Tetapi di balik matanya yang tertutup, ia tahu—petualangan mereka masih panjang, dan ini baru permulaan dari apa yang akan mereka hadapi.
Raka menghela napas pelan, mencoba mengusir gelisah yang terus bergemuruh di kepalanya. Meski matanya telah tertutup, rasa lelah dan bayangan mimpi tadi tetap menghantui pikirannya. Ada perasaan tak nyaman yang mengendap di benaknya—seolah sesuatu sedang menantinya di ujung perjalanan ini.
Keheningan malam semakin mendalam. Udara dingin menyentuh kulitnya, dan desisan lembut angin membawa aroma tanah yang basah. Perlahan, Raka merasa seperti ada yang bergerak di luar jangkauan penglihatannya—sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
“Arjuna, Amara… ada yang aneh,” bisiknya pelan sambil membuka matanya.
Arjuna mulai berbalik, tetapi Amara tetap dalam tidur yang tenang. Raka berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk membangunkan mereka berdua. Perasaannya tak bisa ia abaikan, meskipun mungkin hanya khayalan semata.
“Arjuna,” panggilnya dengan suara lebih keras.
Arjuna membuka matanya, memandang Raka dengan kebingungan. “Ada apa?” tanyanya pelan.
“Perasaanku… sepertinya kita sedang diawasi,” ujar Raka dengan nada cemas.
Arjuna duduk, menggosok matanya. “Kau pasti hanya kelelahan, Raka. Jangan berpikir berlebihan.”
Tapi jawaban Arjuna tidak menenangkan hatinya sama sekali. Raka masih bisa merasakan ketegangan yang sama seperti dalam mimpi tadi.
Amara kemudian membuka matanya. “Ada apa ini? Kalian berdua terlihat gelisah,” ujarnya sambil duduk.
Raka memutuskan untuk menceritakan semuanya—mimpi yang ia alami, sosok gelap, dan suara yang menanyainya tentang pilihan dan takdir. Amara dan Arjuna mendengarkan dengan seksama.
“Kau bilang mimpi itu tentang pilihan?” Amara bertanya sambil mengernyitkan dahi.
“Ya. Sosok itu bilang bahwa kita harus memilih antara terus maju atau berhenti,” jawab Raka sambil memandangi api yang semakin meredup.
Arjuna melipat tangannya dan memandang ke depan. “Kau tahu, kadang mimpi hanyalah refleksi dari ketakutan kita sendiri. Tapi, jika ini terasa berbeda, mungkin kita memang harus berhati-hati.”
Amara menghela napas panjang. “Raka, kau punya intuisi yang kuat. Jika perasaan ini terus menghantui kita, kita harus mempersiapkan diri. Apakah kalian ingat peristiwa-peristiwa aneh yang kita alami sejak kita memulai perjalanan ini?”
Raka mengangguk pelan. Perjalanan mereka sejauh ini memang penuh dengan hal-hal yang tak bisa dijelaskan: bayangan yang muncul tiba-tiba, petunjuk yang mereka temukan tanpa penjelasan yang memadai, hingga ancaman yang datang dari berbagai arah.
“Jika kita harus memilih, kita harus tahu lebih banyak tentang pilihan ini,” ujar Amara tegas. “Mimpi itu mungkin adalah peringatan—sinyal bahwa kita sedang berjalan menuju sesuatu yang belum kita pahami.”
Percakapan mereka kembali terdiam sejenak. Api unggun memancarkan cahaya lembut yang beriak dan menari di antara bayangan mereka. Perasaan Raka semakin memudar, tetapi ketakutan itu tetap bergema dalam hati.
“Kita akan terus berjalan,” kata Raka dengan keteguhan yang ia paksa muncul. “Kita harus mencari tahu kebenarannya, apa pun itu.”
Amara menatapnya dengan serius. “Kau yakin, Raka?”
“Ya,” jawab Raka tanpa ragu. “Kita sudah berada di jalur ini. Tidak ada jalan lain, selain maju dan menghadapi apa yang ada di depan kita.”
---
Pagi mulai memancar dari balik pegunungan yang mengelilingi lembah tempat mereka beristirahat semalam. Cahaya matahari menembus kabut tipis, menciptakan permainan cahaya emas yang mempesona. Udara pagi itu segar, tetapi bagi Raka, ketegangan semalam masih membekas di hatinya.
Setelah mereka selesai menyiapkan perlengkapan dan membenahi diri, mereka melanjutkan perjalanan dengan semangat yang lebih hati-hati. Kali ini, langkah mereka terasa lebih lambat, tetapi setiap penemuan mereka di sepanjang jalan memiliki arti yang lebih mendalam.
“Kita harus menemukan tempat yang disebut dalam petunjuk semalam,” ujar Amara sambil memegang peta tua yang mereka bawa. “Kalau kita bisa menemukan lokasi itu, mungkin kita akan mendapatkan petunjuk yang lebih jelas.”
Raka memandang peta dengan seksama. Titik yang mereka cari berada di sebuah lokasi yang disebut “Lembah Bayangan.” Nama itu memutar balikkan ingatannya ke dalam mimpi semalam dan bayangan sosok yang ia lihat.
“Lembah Bayangan…” bisik Raka kepada dirinya sendiri. “Seperti nama yang kita dengar semalam.”
Arjuna melihat ke arah lembah yang mereka tuju. “Kita harus berhati-hati. Nama itu terdengar seperti tempat yang memiliki rahasia yang dalam.”
Percakapan mereka terhenti ketika sebuah angin bertiup kencang, menghembuskan dedaunan dan membawa aroma segar dari pegunungan. Ketiga sahabat itu melanjutkan langkah mereka dengan tekad yang sama—menjelajahi rahasia yang menunggu mereka di Lembah Bayangan.
Di setiap langkah yang mereka ambil, ketegangan dalam hati mereka semakin memuncak, tetapi mereka juga memiliki harapan—bahwa jawaban mereka akan datang dengan setiap petunjuk yang mereka temukan.
Akhir Bab 20