Halwa mencintai Cakar Buana, seorang duda sekaligus prajurit TNI_AD yang ditinggal mati oleh istrinya. Cakar sangat terpukul dan sedih saat kehilangan sang istri.
Halwa berusaha mengejar Cakar Buana, dengan menitip salam lewat ibu maupun adiknya. Cakar muak dengan sikap cari perhatian Halwa, yang dianggapnya mengejar-ngejar dirinya.
Cakar yang masih mencintai almarhumah sang istri yang sama-sama anggota TNI, tidak pernah menganggap Halwa, Halwa tetap dianggapnya perempuan caper dan terlalu percaya diri.
Dua tahun berlalu, rasanya Halwa menyerah. Dia lelah mengejar cinta dan hati sang suami yang dingin. Ketika Halwa tidak lagi memberi perhatian untuknya, Cakar merasa ada yang berbeda.
Apakah yang beda itu?
Yuk kepoin cerita ini hanya di Noveltoon/ Mangatoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Pulang Bulan Madu Menempati Rumah Baru
Halwa menatap hamparan danau di belakang kamar hotel. Dari balkon hotel, ia bisa melihat view hotel yang indah. Meskipun bukan hamparan lautan, karena di kota ini tidak ada laut, akan tetapi suasana danau cukup membayar keinginan hati Halwa yang ingin melihat hamparan lautan.
Deburan ombak buatan di danau itu, mengombang-ambing para selancar yang berselancar. Mereka begitu asyik dengan pasangannya menikmati ombak di danau yang sengaja diciptakan. Untuk sejenak kesedihan Halwa terendap oleh pemandangan di depannya.
Suasana di pinggir danau semakin ramai, para pengunjung hotel seakan tumpah ruah memenuhi tepi danau. Mereka menikmati berbagai permainan di danau itu selain berselancar di ombak buatan.
Halwa mendesah, terbersit inginnya dalam dada bisa menikmati indah dan hangatnya suasana danau di kawasan Hotel Daisy ini bersama pasangan. Namun, sepertinya itu semua tidak mungkin, sebab Cakar nyatanya tidak pernah membersamai kehadirannya di dalam kamar hotel ini. Dia pergi entah ke mana.
Cakar pergi setelah tadi menerima panggilan dari seseorang, sama halnya saat siang itu ketika baru sampai hotel, setengah jam kemudian Cakar pergi setelah menerima panggilan dari seseorang.
"Sabar, kamu harus sabar Halwa. Resiko menikah dijodohkan dengan orang yang tidak menyukai kita, ya seperti ini. Kamu harus tetap semangat dan bertahan sampai kamu tidak sanggup bertahan lagi nanti." Halwa bergumam kecil, menguatkan dirinya sendiri.
"Salah aku juga, kenapa aku menerima permintaan Mama Fajarani kala itu? Dan kini terbukti, Mas Cakar sama sekali tidak pernah menganggap pernikahan ini." Halwa mendengus sedih dan menyesali keputusannya kala itu yang menerima permintaan Bu Fajarani untuk dijodohkan dengan Cakar.
Untuk membunuh bosan, Halwa masuk ke dalam kamar, lalu membuat kopi seduh yang sudah tersedia di bar mini dalam kamar itu. Wangi kopi seketika menguar seisi kamar itu.
Halwa sesekali memang menyukai kopi, baginya efek kopi sangat efektif menghilangkan sakit kepala karena memikirkan suatu masalah.
Halwa kembali ke balkon, di sana dia menikmati kopi itu dengan nikmatnya.
Tidak lama dari itu, pintu hotel dibuka. Cakar masuk dengan perlahan seakan tidak ingin mengganggu penghuni kamar. Wangi kopi langsung tercium saat memasuki kamar hotel. Mata Cakar mengedar ke sekeliling ruangan. Namun, tidak ditemukan keberadaan Halwa. Ruangan terakhir yang belum ia lihat hanyalah balkon. Cakar segera mengayun langkah kakinya ke sana. Dan benar saja, Halwa ada di sana dengan secangkir kopi yang masih ngebul.
Cakar menatap lekat ke arah Halwa yang menikmati kopi dengan tatapnya ke arah danau. Cakar biarkan Halwa tanpa ingin mengganggunya. Pikirannya melayang-layang antara Halwa dan wanita seprofesinya yang dia temui tadi di RS.
Beberapa saat kemudian, Halwa sudah menghabiskan kopinya. Dia menyudahi kesendiriannya di balkon. Tubuh Halwa bangkit dan berbalik menuju kamar. Pintu balkon terdengar dibuka, sehingga mengejutkan Cakar yang tengah membaringkan tubuh di ranjang.
"Mas Cakar sudah pulang, Mas?" Halwa terkejut saat mendapati kaki Cakar menjuntai di ranjang. Dia tidak menyadari sejak kapan Cakar pulang.
"Mas, mau aku ambilkan kopi?" tanya Halwa membuat Cakar bangkit dan duduk di bibir ranjang.
"Tidak perlu. Siapkan dari sekarang barang bawaanmu untuk kepulangan kita besok," ucapnya seraya berdiri lalu menuju kamar mandi. Halwa menatap miris kepergian Cakar, sikapnya sama sekali tidak hangat dan merasa bersalah.
Saat Cakar sudah memasuki kamar, tiba-tiba sebuah panggilan di Hp Halwa berbunyi. Salah satu nama temannya tertera di sana.
"Assalamualaikum. Iya Ran ada apa?" sambut Halwa pada orang yang berada di dalam telpon.
"Nggak. Aku cuma mau nanya sama kamu. Tapi maaf ganggu bulan madu kamu. Ini tentang suami kamu. Apakah dari kemarin, kamu selalu bersama suami kamu di hotel itu?" tanya Rani.
Sesaat setelah Rani bertanya, Cakar sudah keluar kamar mandi dan menatap lurus ke arah Halwa yang kini sedang menerima sebuah panggilan.
"Memangnya kenapa Ran?" Halwa melontarkan pertanyaan balik pada Rani. Sementara Cakar masih menatap Halwa dan mendekat.
"Kamu tidak kehilangan suami kamu sejak kemarin di kamar hotel? Soalnya kemarin aku sempat lihat suami kamu mendatangi salah satu rumah sakit. Sepertinya dia sedang menjenguk seseorang deh," ujar Rani lagi.
Halwa terperangah setelah mendengar berita dari salah satu teman dekatnya itu. Berita dari temannya serta kepergian Cakar kemarin dan tadi, cukup menjawab kebingungan Halwa, ke manakah Cakar pergi. Namun, tatapan Cakar, memaksa Halwa berkata bohong.
"Ti~tidak Ran. Suami aku tidak pergi ke mana-mana. Aku tidak kehilangan suami aku sedetikpun. Mungkin saja itu orang yang mirip dengan suami kamu," kelit Halwa dalam tatapan mata Cakar. Setelah mendengar ucapan Halwa seperti itu, Cakar terlihat lega.
"Tapi, beneran itu mirip suami kamu Hal," teguhnya meyakinkan Halwa.
"Mungkin itu orang yang mirip saja Ran. Sudah, biarkan saja, tidak usah dipikirkan." Halwa kembali menutupi kebohongan suaminya.
"Oh ya udah jika itu bukan suami kamu. Kalau gitu aku tutup telponnya ya. Selamat menikmati bulan madu," ucap Rani menutup perbincangannya dengan Halwa.
Sejenak Halwa mematung, sembari menatap ponselnya yang sudah terputus dari sambungan telpon.
"Kenapa, masih memikirkan jawaban kamu tadi? Kamu menyesal sudah membohongi teman kamu itu?" sentak Cakar seraya menatap lebih tajam ke arah Halwa.
"Ti~tidak, Mas," jawabnya gugup.
***
Besoknya seperti apa yang diucapkan Cakar, Halwa kini sedang membereskan barang-barangnya ke dalam koper untuk pulang. Cakar sudah siap dan kini dia tengah berdiri menantikan Halwa menyelesaikan paking barang-barangnya.
"Bisakah kamu cepat sedikit. Aku tidak biasa menunggu lama. Ubahlah ritme gerakan kamu itu supaya lebih gesit, tida seperti kura-kura begini," kesalnya tidak sabar dengan Halwa yang dianggapnya lambat.
"Iya, Mas," patuhnya seraya mempercepat gerakannya. Tidak lama dari itu, keduanya kini mulai keluar dari kamar hotel dan bersiap cek out.
Di parkiran hotel, mobil yang kemarin mengantar mereka sampai hotel Daisy, sudah ada bersama dengan Supirnya. Cakar dan Halwa segera memasuki mobil dan duduk tanpa ada yang bersuara.
Mobil pengantin itupun segera melaju dan keluar dari area hotel. Kini tujuannya adalah ke rumah baru yang akan ditempati Halwa dan Cakar.
Satu jam kemudian, mobil pengantin tiba di depan sebuah rumah yang kelihatannya resik dan asri. Rumah yang terlihat bikin betah penghuninya.
Cakar menuruni mobil, disusul Halwa yang memang masih bingung dengan rumah yang kini di depan matanya.
"Cepatlah Halwa," seru Cakar seraya menarik tangan Halwa supaya mendekat dengannya. Cakar dan Halwa berjalan bersamaan menuju depan pintu.
Tiba di depan pintu, Cakar mulai meraih handle pintu dan menarik tuas pintu. Perlahan pintu itu terbuka. Saat celah pintu semakin membesar, serabutan suara sebagai kata sambutan, terdengar begitu riuh.
"Selamat datang di rumah baru pengantin baru."
Halwa cukup terkejut kala mendapati seluruh keluarga Cakar berada di sana dan menyambutnya