Kisah sebuah pertemanan yang berawal manis hingga renggang dan berakhir dengan saling berdamai. Pertemanan yang salah satu diantara keduanya menaruh bumbu rasa itu terjadi tarik ulur. Sampai memakan banyak kesalahpahaman. Lantas, bagaimanakah kisah selanjutnya tentang mereka? apakah keduanya akan berakhir hanya masing-masing atau asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Teman Baru
Hari ini adalah hari yang cerah. Hari kedua seorang Adhara bersekolah di sekolah yang Aesthetic. Pagi ini, ia masih di depan halaman rumahnya. Niatnya ingin membawa motor sendiri, namun tidak diperbolehkan oleh ayahnya.
Kemudian datanglah seorang cowok ganteng yang rumahnya di sebrang jalan. "Mau ikut, nggak? lima belas menit lagi terlambat." ucap cowok itu ialah Langit.
Adhara menatap jam tangannya, "Iya nih, tadinya mau bawa motor tapi nggak boleh." rengutnya kesal.
"Ya udah, ikut sama gue aja. Daripada nanti lo telat," saran Langit tak turun dari motor sport nya.
"Emang boleh?" tanya Dhara.
Langit hanya mengangguk. "Tapi, gue nggak bisa naik motor lo, tinggi banget." bingung si gadis itu tak tahu.
"Naik pelan-pelan, pegangan ke pundak gue," kata Langit lembut.
"Nggak bisaa ..." rengeknya.
"Coba lagi pelan-pelan, pegangan ke pundak gue." Instruksi Langit akhirnya berhasil di lakukan oleh Adhara.
Eits! rok seragam Adhara gimana?! aduh, Langit ...
"Aduh, rok gue gimana, Lang!" oceh gadis tersebut sangat bawel sekali.
Dia pasti risih sama tingkah gue yang ribet kayak gini. Mana mungkin dia bisa sabar ngadepin gue, Vano aja pernah emosi ke gue. batin Adhara.
"Nggak bakal sobek, asal lo double rangkepan." ucap Langit.
"Oh iya, bisa nih, hehe ..." Adhara cengengesan.
"Dah siap, belum?"
"Yoi,"
•••••••••
Sesampainya di sekolahan Adhara turun dari motornya Langit di parkiran. Ketika itu ada empat cowok yang sama sama turun dari motor mereka.
"Tumben sama cewek, siapa Bro?" tanya si Edgar teman sekelasnya Adhara waktu hari pertama.
"Temen baru," singkat Langit cuek.
Ada dua cowok yang memperhatikan Adhara dengan tatapan dingin dan cuek. "Ini cewek anak baru yang kemaren foto di perpustakaan." jelas Gleen.
Adhara merasa tak enak jika dirinya terus disini bersama mereka sedangkan ia hanya perempuan sendiri diantara mereka.
"Em, gue langsung ke kelas ya, Lang?" lirih gadis itu canggung.
Langit segera menggenggam tangan Dhara membuat gadis itu tambah merasa tak enak.
"Bareng masuk kelasnya," ucap lelaki itu cuek.
"Kebiasaan yang bikin cewek minder itu noh, dua cogan yang dinginnya kek kutub utara." cibir Edgar berkacak pinggang.
Siapa yang Edgar maksud? apa dua cowok yang sedari tadi memperhatikan Adhara?
"Kenalin mereka itu Rangga dan Davin." ucap Langit memperkenalkan nama mereka berdua.
Gadis tersebut tersenyum tipis, "Oh ... salam kenal ya, gue Adhara." balasnya canggung.
"Lima menit," singkat Rangga cuek lalu ia pergi bersama Davin.
Tatapan Adhara tentang Davin dan Rangga sangat berbeda dengan Langit. Dua cowok cuek itu sulit untuk di pahami.
"Ayo masuk," Langit menggenggam tangan Adhara.
Gadis itu terkejut saat tangannya tiba tiba di genggam oleh Langit. "Kenapa harus gandengan?" sempat sempatnya Dhara bertanya seperti itu pada Langit.
"Gak papa," jawabnya biasa saja.
"Eh, Langit tuh nggak pernah main sama cewek. Nyentuh aja nggak pernah, cuma lo yang beruntung digandeng." ujar Edgar terkekeh.
Sesampainya di depan kelas tiba tiba ada anggota osis cowok yang ribut dengan anak IPA 3.
"Maksud lo apa ngomong kayak gitu ke kelas lain, hah?" tanya anggota osis tersebut bernametag Riski.
Tatapan anak IPA 3 melotot tajam, entah apa masalah di antara mereka. "Ya biar semua pada tau, kalo anggota Osis di sini nggak ada yang bener semua!" murka pemuda itu ber-nametag Anjar.
"Jelasin masalahnya di mana? jangan asal ngomong bawa-bawa Osis nggak bener, maksudnya apa!" tegas Riski mulai tersulut emosi.
Adhara dan Langit melihat kekeributan di ruang 3 tepatnya di kelas IPA 3. Tanpa basa-basi Langit dan empat temannya itu segera turun dari tangga dan menuju ke ruang 3 yang berbeda bangunan.
"Ini ada masalah apa?" tanya Langit secara baik baik di tengah keributan antara Riski dan Anjar.
Riski menoleh ke Langit dan menjelaskan ketidakpahamannya yang di tuduh tidak adil sebagai panitia lomba Class Meeting minggu lalu.
"Ini anak IPA 3 nuduh panitia lomba Class Meeting minggu lalu nggak adil," ucap Riski dengan nafas tak beraturan.
Langit langsung menginterogasi Riski dan Anjar. "Semuanya bubar! ngapain pada nonton, nggak ada yang perlu di tonton, bubar semuanya!!" keras Edgar membubarkan banyak siswa siswi yang mengerumuni keributan tersebut.
Selang beberapa detik di depan ruang 3 hanya ada Adhara, Langit, Edgar Cs serta Anjar dan Riski.
"Jelasin yang baik-baik, nggak usah pake emosi," perintah Langit serius.
Disitu terlihat yang akan angkat bicara dulu yaitu Anjar. "Sorry, kalo gue lancang nih, kemaren yang jadi panitia semua lomba itu 'kan Osis, bener nggak?" ujar Anjar menahan emosi.
"Ya, terus," jawab Langit.
"Nah, di hari terakhir perlombaan itu 'kan basket. Pertanyaan gue kenapa kelas gue nggak dipanggil buat tanding! padahal gue udah ambil undian dan panitia yang ngurusin itu manggil cuma sampe nomor 9!" jelas pemuda tersebut.
"Kelas lo nomor berapa dan siapa lawan main kelas lo?" tanya Langit secara baik baik.
"Nomor 10 dan lawan mainnya itu kelas lo," jawab si Anjar.
Adhara terlihat ketakutan melihat tatapan Anjar dan Riski yang sama sama tajam.
"Biar gue yang ngurus," ujar Langit maju di depan Riski.
Dhara jelas khawatir pada Langit, takut dia kenapa- napa. "Lang ... " lirih gadis itu matanya sudah berkaca kaca.
Tiba-tiba Adhara di tarik oleh Davin, cowok cuek dan dingin itu. "Lo tenang aja, Langit itu pinter. Dia nggak bakal kenapa-napa." kata Davin masih memperhatikan antara Langit dan Anjar.
"Tapi, gue takut Vin," lirih Adhara yang masih di jaga oleh Davin.
Suasana kembali ricuh ketika Anjar meminta bertanding dengan panitia lomba. "Gue minta semua panitia lomba tanding lawan kelas gue!" tegas pemuda itu.
Riski tak terima dengan permintaan Anjar, "Ngomong yang bener! peraturannya kelas lo lawan kelas IPS 1, maksud lo bawa-bawa semua panitia apaan!!" amarah Riski tak terkendalikan.
"Biar lo semua tanggung jawab! sekolah cakep kek gini kalo punya organisasi Osis yang nggak bener dan nggak bisa adil mau jadi apa ini sekolah? hah!" si Anjar terus memanas.
"Jaga mulut lo, brengsek!" keras Riski mendorong Anjar sampai jauh bahkan hampir ikut menyeret tubuh Adhara.
Anjar berjalan mendekati Langit dan menarik kerah baju Langit dengan kasar.
"Mau nggak mau lo jadi ketua Osis minimal bisa jaga anak buah lo lah, awalnya gue nggak mau ribut kek gini tapi karena permintaan gue nggak diturutin sama lo semua! ngerti lo!" Tatapan tajam Anjar pada Langit.
Adhara sendiri diam diam sudah meneteskan air mata, dirinya bingung harus bagaimana? di sisi lain ia takut Langit celaka.
"Rang, jagain Dhara." perintah Davin meninggalkan gadis tersebut dan menghampiri Anjar dan Langit.
Rangga pun mendekati Adhara, "Lo nggak perlu takut, apapun masalahnya Langit itu jago beladiri." ucap Rangga menasehati.
"Lepasin temen gue, terus terang semua panitia lomba terima tanding sama kelas lo terkecuali panitia Osis yang cewek." sahut Davin melepas cengkraman Anjar pada Langit.
Anjar tersenyum sinis. "Oke kalo gitu, ini yang gue tunggu dari lo semua." sinisnya lalu masuk ke dalam kelasnya.
Langit menatap Adhara dari kejauhan yang masih di jaga oleh Rangga. Lelaki itu pun berjalan mendekat. "Ra, lo nggak papa 'kan tadi?" tanyanya meraih kedua tangan gadis itu.
"Harusnya gue yang nanya ke lo, leher lo merah, Lang." ujar Dhara merapikan kerah baju Langit.
"Biarin aja nanti sembuh sendiri," jawabnya memandangi wajah Adhara.
"Gue nggak mau lo sampe luka kayak gini." ucapan Adhara membuat Langit ingin memeluknya.
Adhara terkekeh melihat ekspresi Langit yang aneh. "Lo kenapa sih ngeliatin gue kayak gitu? pengen sesuatu yaa?" ledeknya sambil melirik ke Rangga.
"Peka banget lo jadi cewek," kesal Langit membuang muka.
"Hahaha ... bilang aja kalo lo pengen meluk gue." Akhirnya Adhara pun kembali tertawa karena tingkah Langit.
"Tau dah,"