NovelToon NovelToon
Ekspedisi Arkeologi - Misteri Kutukan Mola-Mola.

Ekspedisi Arkeologi - Misteri Kutukan Mola-Mola.

Status: tamat
Genre:TimeTravel / Tamat / Sistem / Epik Petualangan / Dendam Kesumat / Pulau Terpencil
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Deni S

Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.

Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.

Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17: Teka-teki dibalik kutukan.

Hening menyelimuti ruangan setelah kata-kata Satrio melayang di udara. Angin yang masuk lewat celah pintu terasa membawa harapan baru, sekaligus keraguan yang masih samar-samar. Wajah-wajah itu menatapnya, seolah berusaha menangkap kebenaran dari setiap kata yang baru saja terucap.

Pak Kades mengusap wajahnya yang lelah, seakan tengah bergulat dengan pikiran-pikiran yang tak menentu. “Bagaimana kita bisa yakin, kalau cara itu akan berhasil?” suaranya rendah, nyaris seperti bisikan yang ragu.

Satrio tetap tenang, meskipun pertanyaan itu menambah beban di pikirannya. Ia menjawab dengan suara yang tegas, “Saat ini aku masih belum bisa berjanji. Tapi aku yakin, leluhur kalian meninggalkan jejak yang dapat kita pahami. Jika kita mau mencoba... mungkin kita akan memahami, sebab dan akibat dari kutukan ini.”

Ekot menatapnya tajam, seolah menimbang kata-kata Satrio. “Kalau begitu, kapan kau akan mulai?” tanyanya.

Satrio menatap mata mereka satu per satu. "Secepatnya," jawabnya, penuh keyakinan. “Asalkan kalian memberikan akses penuh ke gua itu.”

Pak Kades mengangguk, meski tampak ragu. “Baiklah… Tapi ingat, satu kesalahan kecil, kau bukan hanya akan berhadapan dengan kutukan leluhur. Kau juga akan berhadapan dengan kami.”

Satrio hanya tersenyum tipis, menyadari peringatan itu bukanlah sekadar ancaman. Ia mengangguk, menandakan persetujuannya.

Sejenak suasana seakan mereda, namun tidak bagi Satrio. Di dalam benaknya, mulai bermunculan berbagai macam pertanyaan yang sulit ia ungkapkan. Di tengah keraguannya, tiba-tiba terdengar langkah beberapa orang yang sedang mendekat.

“Pak Purrok,” ucap Ekot, lalu berdiri, diikuti oleh Balewa. Mereka segera membantu Pak Purrok menaiki anak tangga rumah.

Pak Kades melirik ke arah Satrio dan berbisik, “Baru semalam, anak gadisnya yang bernama Daiva telah menjadi korban,” suaranya terdengar getir.

Satrio mengalihkan perhatiannya pada pria paruh baya yang mendekat. Wajah Pak Purrok terlihat lesu, sorot matanya menampakkan kesedihan yang mendalam, seakan separuh nyawanya ikut pergi.

“Dan di sebelahnya, itu Pak Janjan. Ia memiliki anak gadis bernama Lisa, yang juga tak luput dari serangan kutukan itu,” Pak Kades menambahkan dengan nada lirih. Mendengar itu Satrio terhening, tak ada kata yang bisa mewakili perasaannya saat ini. Semua terasa begitu cepat, membawanya ke dalam situasi yang belum ia pahami.

Menyadari kehadiran mereka, Satrio ikut berdiri sebagai tanda hormat ketika Pak Purrok dan Pak Janjan tiba. Ekot dan Balewa memapah Pak Purrok yang terlihat hampir tak berdaya.

“Pak Kades,” sapa Pak Janjan dengan nada khawatir. Ia menopang tubuh Pak Purrok yang terlihat gemetar. “Aku sudah coba memintanya untuk beristirahat, tapi ia tetap ingin datang.”

Pak Kades mengangguk pelan, menyiratkan pemahaman tanpa mengucap sepatah kata pun. Pandangannya jatuh pada Satrio, seolah menyiratkan harapan terakhir mereka.

Pak Purrok yang baru tiba lalu duduk di antara mereka. Dengan penuh kesedihan, ia mencoba mengutarakan apa yang ia rasakan. "Daiva, anak satu-satunya yang kami miliki. Sejak ia kecil, ia tak pernah menuntut apa pun dari kami, walau keadaan hidup kami sulit. Sebelum kejadian, Daiva sangat bersemangat, ingin mulai mempelajari tradisi desa. Tapi kenapa, Daiva justru mendapatkan hukuman dari leluhur? Apa salahnya dia, Pak Kades?”

Kalimat itu menggantung di udara, seolah menantang siapa saja untuk menjawabnya. Beban dan kesedihannya mengepung ruangan yang kian dirundung duka. Tidak ada yang berani memotong, seakan kata-katanya adalah kebenaran yang tak bisa disangkal.

Sesekali, Satrio melirik ke arah Ekot yang duduk tak jauh darinya. Wajah pemuda itu tegang, amarah terpendam di balik rahangnya yang mengeras. Jemarinya mengepal erat, jelas pertanyaan Pak Purrok mengguncang sesuatu dalam dirinya.

Pak Kades tetap terdiam, menundukkan pandangannya. Matanya tak berani menatap wajah Pak Purrok yang sarat akan derita. Sunyi mulai menguasai ruangan, hanya diisi suara napas berat dan rasa ketidakberdayaan yang menyelimuti. Sedangkan, tatapan Satrio tajam, seolah tak ingin satu kalimat pun luput dari pendengarannya.

"Di malam kejadian. Kami tidur di kamar masing-masing, membiarkan Daiva tidur di kamarnya seorang diri. Sekejap kami mengira, bahwa malam itu akan berlalu dengan tenang. Hingga suara keras terdengar dari sisi rumah. Saya pun terbangun," lanjut Pak Purrok, suaranya sedikit bergetar, penuh akan kesedihan. "Awalnya saya mengira, jika itu suara itu berasal dari angin kencang atau hewan liar. Tapi suara itu.. semakin terdengar sangat berbeda." Suara Pak Purrok terdengar lirih, namun mengandung kesedihan yang dalam. Tatapannya kosong, seolah merenungi kembali malam yang mengubah hidupnya.

Di sisi lain, Satrio semakin mempertajam indra pendengarannya, mencoba menangkap setiap detail yang mungkin menjadi kunci.

Dengan sisa kekuatannya, Pak Purrok melanjutkan. "Tak lama dari itu, aku mencium bau yang begitu pekat dan aneh. Saat itu aku belum menyadari jika bau itu berasal dari kekuatan kutukan. Sampai aku mendengar suara keras dari dalam kamar Daiva. Aku dan istri berlari panik, namun tanpa sebab yang jelas, istriku jatuh tak berdaya." Pak Purrok berhenti sejenak, menghela napas panjang. "Tak ada pilihan lain, aku membiarkannya untuk segera membuka kamar Daiva.""

Pak Janjan mencoba menenangkan dengan meremas bahu Pak Purrok, namun pria itu tetap berbicara, seolah tak ingin berhenti sampai seluruh beban itu lepas dari dadanya.

Pak Purrok mengepalkan kedua tangannya erat, berusaha keras menahan getaran di bibirnya saat menceritakan bagian paling kelam dari malam itu. "Setelah aku membuka pintu, aku melihat sosok hitam berdiri di antara kabut. Sosok itu tak bergerak, hanya diam mematung. Belum sempat aku membawa Daiva, tiba-tiba sekujur tubuhku terasa lemas, dan aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi," suaranya semakin rendah, nyaris tenggelam dalam keputusasaannya.

Satrio terpaku mendengar semua itu. Cerita Pak Purrok menggema dalam pikirannya, ketegangan semakin mengikat mereka semua.

"Bau pekat dan sosok misterius? Bila kutukan ini benar dilakukan oleh makhluk tak kasat mata, lantas apa tujuannya memilih para gadis sebagai korban-korbannya?" pikir Satrio, masih terasa tak percaya dengan apa yang ia dengar.

Pak Purrok pun berhenti bicara, menyisakan ruang hening yang penuh ketegangan. Semua orang di ruangan itu seakan terjebak dalam pergulatan pikiran masing-masing. Pak Purrok hanya menunduk, menggenggam lututnya erat, seakan berharap dengan begitu rasa sakitnya bisa teredam sedikit.

Pak Kades menghela napas panjang, lalu dengan suara berat ia membuka suaranya. "Pak Purrok, kami dapat merasakan betapa beratnya ujian ini. Walau saya tidak memiliki anak gadis, namun saya selalu memikirkan nasib para warga. Setiap pagi saya selalu gelisah, berharap kutukan itu tak lagi memakan korban. Segala upaya telah kita tempuh bersama, tapi hingga detik ini belum juga membawakan hasil."

Ekspresi wajah Pak Kades mencerminkan rasa frustrasi yang mendalam. Ia berusaha menjaga ketenangannya, tetapi jelas beban itu terlalu berat untuk dipikul sendirian.

Satrio, yang sejak tadi hanya mendengarkan, memutuskan untuk angkat bicara. "Maaf Pak Kades, Boleh saya bertanya?" katanya, suaranya datar, tetapi penuh ketegasan. Ia menyadari, informasi yang ia butuhkan masih jauh dari cukup.

Pak Kades menoleh ke arah Satrio, mengangguk pelan. "Silakan, Ageo," balasnya, suaranya menunjukkan kesiapan untuk menerima pertanyaan yang mungkin tak mudah.

Satrio mengatur napas sejenak sebelum melanjutkan, "Sudah berapa lama kutukan ini menyerang desa?"

Pak Kades meremas tangannya di atas lutut, tatapannya beralih ke jendela, seolah menimbang waktu yang berlalu dengan berat. "Sudah hampir dua bulan," jawabnya, suaranya terdengar lirih. "Kutukan ini melanda desa kami."

Mata Satrio berkilat-kilat, menimbang perkataan yang baru saja ia dengar. Ekot seolah menyadari bahwa begitu banyak hal ingin ditanyakan oleh Satrio, ia pun mengambil tindakan tegas.

"Pak Kades, biarkan orang ini bersamaku untuk sementara waktu," ucap Ekot, nada suaranya menegaskan keputusannya.

Pak Kades pun mengangguk, mengerti situasi yang ada, dan memberi izin kepada mereka untuk pergi. "Hati-hati," katanya, memperingatkan mereka dengan nada yang berat.

"Di sana bukan waktu yang tepat untuk orang asing banyak bicara," ucap Ekot, setelah tiba di halaman depan rumah bersama Satrio dan Balewa.

Balewa berdiri tegak, menatap Satrio dengan ragu. "Kami mungkin baru mengenalmu, jadi pastikan kau tidak berbuat berlebihan di sini," ujarnya, suaranya tegas dan memperingatkan.

Satrio menghela napas, merasakan ketegangan di udara. Ia tahu posisinya saat ini mungkin masih asing bagi mereka. "Aku pastikan, aku tidak berniat jahat terhadap desa ini. Aku hanyalah seorang penjelajah. Tentu aku mengerti batas-batasan itu," Satrio menjelaskan, berusaha memberikan keyakinan.

Ekot mengamati Satrio dengan serius. "Lantas, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" tanyanya, kepenasarannya semakin terbakar.

"Masih terlalu banyak yang harus aku pahami di sini. Terutama tentang kutukan itu," jawab Satrio dengan tegas, tatapannya penuh tekad.

Ekot mengangguk, merespons dengan sikap yang lebih terbuka. "Apa yang ingin kau tanyakan? Aku akan menjawabnya," katanya, memberikan kesempatan bagi Satrio untuk menggali lebih dalam.

Satrio melanjutkan, "Aku tahu kutukan ini telah berlangsung selama dua bulan?" Ekot mengangguk pelan. "Lalu berapa lama kalian telah melupakan adat kalian?"

"Sudah belasan tahun lalu, kami melupakan hal itu," jawab Ekot, suaranya mengandung keperihan yang tak bisa disembunyikan.

"Berarti kutukan ini bukan terjadi akibat mereka melupakan adat. Pasti ada hal lain yang memicu masalah ini," pikir Satrio, benaknya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan baru yang semakin mendalam.

"Jika kau benar-benar ingin mencari jawaban akan kutukan itu, kau bisa ikut berjaga denganku malam ini," ucap Ekot, tatapannya serius, menantang Satrio untuk membuktikan niatnya.

Satrio terdiam sejenak, menimbang tawaran itu. Ia menyadari kutukan ini begitu nyata, mungkin bisa lebih berbahaya dari pada yang ia pikirkan. Namun rasa penasaran yang besar, jelas memintanya untuk tetap pergi. "Aku akan ikut,” jawab Satrio, nada suaranya menunjukkan kesungguhan.

Ekot mengangguk, raut wajahnya tampak puas dengan keputusan itu. Mungkin ia berharap bahwa kehadiran Satrio dapat membawa angin segar untuk desa mereka yang tengah terpuruk.

1
☆☆D☆☆♡♡B☆☆♡♡
mangat . bintang datang😇👍🙏
Muslimah 123
1😇
☆☆D☆☆♡♡B☆☆♡♡
salam kenal jika berkenan mampir juga👋👍🙏
☆☆D☆☆♡♡B☆☆♡♡: iya , mksh semangat ya 😇💪👍🙏
Msdella: salam kenal kak.. wih banyak karyanya kak.. nnti aku baca juga kak
total 2 replies
miilieaa
haloo kak ..sampai sini ceritanya bagus kak
lanjut nanti yah
Msdella: Hallo.. Terima kasih kak.. Siap, kak. nanti saya update sampe tamat
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!