BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN!!!❌❌❌
Nessa Ananta atau biasa di panggil Eca, gadis yang menempuh pendidikan di luar kota akhirnya kembali ke Ibu kota setelah sebelumnya bekerja menjadi sekretaris di sebuah perusahaan.
Tapi apa jadinya jika kembalinya ke rumah Kakaknya justru mendapat kebencian tak beralasan dari Kakak iparnya.
Lalu bagaimana kisah hidup Eca selanjutnya ketika Kakaknya sendiri meminta Eca untuk menikah dengan suaminya karena menginginkan kehadiran seorang anak, padahal Kakak iparnya begitu membencinya?
Kenapa Eca tak bisa menolak permintaan Kakaknya padahal yang Eca tau Nola adalah Kakak kandungnya?
Lalu apa penyebab Kakak iparnya itu begitu membencinya padahal mereka tak pernah dekat karena Eca selama ini ada di luar kota??
Apa yang terjadi sebenarnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi.santi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak manusiawi
Eca buru-buru naik ke lantai lima. Entah kenapa dia merasa begitu takut karena Bara melihatnya bersama Efan. Padahal Eca sudah mencoba tak peduli namun Eca takut Bara berbuat sesuatu yang merugikan Efan.
Di samping itu, Eca juga harus cepat-cepat tiba di meja kerjanya karena baru kali ini Bara tiba di sana lebih dulu daripada dirinya.
Eca mengatur nafasnya yang terengah-engah ketika ingin masuk ke dalam ruangan Bara.
"Selamat pagi Pak?" Sapa Eca sambil sedikit menundukkan badannya pada Bara.
"Itu saja, nanti kalau ada apa-apa langsung hubungi saya" Bara tak menanggapi Eca. Dia masih terus bicara dengan Umar.
"Baik Pak, saya permisi!"
Umar segera pergi dari ruangan Bara setelah pria itu sedikit membungkukkan badannya pada Eca.
Tindakan Umar itu sedikit membuat Eca bingung karena Umar terlihat begitu hormat kepadanya. Mungkin karena sekarang ini Eca sudah menjadi istri Bara makanya Umar seperti itu.
"Pak Bara sa.."
"Apa kamu benar-benar ingin menunjukkan betapa kau mencintainya sampai menunjukkan kemesraan kalian di depanku? Apa syarat dari ku kemarin kurang jelas?"
Bara langsung mencecar Eca hingga membuat wanita itu tak bisa bicara sepatah katapun.
"Kalau kamu memang masih ingin bersama pria itu, kenapa kau mau menyetujui permintaan konyol Kakakmu itu? Kemarin juga kamu tidak terima saat saya menyebut kamu sebagai pemain, tapi baru kemarin kita menikah, kamu sudah kembali berama kekasihmu itu!" Bara tersenyum sinis seolah merendahkan Eca saat ini.
"Semua yang Pak Bara lihat itu tidak benar, kami tidak bermesraan. Tadi kami hanya sarapan bersama di kantin. Saya juga tidak mungkin mengatakan yang sesungguhnya terjadi antara kita pada Efan. Sama seperti Pak Bara yang tidak mau menyakini Mbak Ola. Saya juga nggak mau menyakiti Efan"
Tanpa Eca ketahui, kedua tangan Bara mengepal dengan kuat.
"Terserah apa katamu, tapi saya tetap ingin kamu menjauhi pria itu!! Sekarang saya beri kamu pilihan.."
Eca menelan ludahnya dengan begitu susah karena Bara berjalan mendekatinya. Pria itu berjalan dengan pelan memutari tubuhnya hingga berdiri tepat di belakang tubuh Eca.
Deg...
Tubuh Eca terperanjat saat sepasang lengan melingkar di pinggangnya. Memeluk tubuh Eca dengan erat sampai punggung Eca terasa menghantam dada kokoh milik Bara.
Eca mencoba melepaskan diri. Tangannya sudah bergerak memegang tangan Bara yang ada di pinggangnya. Tapi pilihan dari Bara membuat Eca membeku.
"Kamu pilih menjauhinya atau aku sendiri yang akan memberitahunya. Atau, aku bisa mengembalikannya ke perusahaan cabang, mungkin juga memecatnya lebih baik. " Bisik Bara di telinga Eca.
"J-jangan Pak. S-saya akan menjauhinya, asal jangan pecat Efan. Biarkan dia bekerja di sini"
"Benarkah? Lalu aku membiarkan mu terus bermesraan dengan begitu?"
Eca memejamkan matanya saat merasakan Bara menggesekkan ujung hidungnya dibawah telinganya.
"S-saya janji akan menjauhinya Pak. Saja j-anji" Ucap Eca dengan terbata karena Bara tengah menghirup kulit lehernya dalam-dalam. Hembusan nafas yang keluar dari hidung Bara langsung menerpa kulitnya dengan lembut.
"Kenapa kamu selalu wangi seperti ini sayang. Kamu membuatku gila"
Mata Eca melotot karena bisikkan Bara dengan suaranya yang parau dan begitu berat. Kenapa juga Bara mengatakan hal seperti itu.
Sayang? Sudah dua kali Bara memanggilnya seperti itu.
"P-pak Bara. Ini di kantor!" Eca mencoba mengingatkan Bara agar Bara bisa melepaskannya.
"Memangnya kenapa kalau di kantor? Di rumah juga kau menolak kan?"
Eca semakin heran dengan sikap Bara. Pria itu seperti tidak ingat kalau pernikahan mereka dilakukan dengan terpaksa. Tapi kenapa Bara justru terlihat sangat menginginkannya.
"Tenang saja sayang. Aku tidak akan menyentuhmu terlalu jauh. Karena seperti kataku tadi malam.."
Bara membalik tubuh Eca agar menghadap ke arahnya namun tak membiarkan tubuh mereka terpisah jarak sedikitpun. Pria matang itu juga meraih dagu Eca agar mau menatap matanya.
"Aku menunggumu menyerahkan dirimu padaku" Lanjut Bara mengunci manik mata Eca yang bulat dan berwarna hitam legam.
"M-maaf Pak saya bemmtt.."
Bara sudah terlanjur membungkam mulut Eca dengan bibirnya. Pria itu dengan rakus melahap bibir yang di lapisi lipstik berwarna nude itu.
Eca yang merasa itu adalah ciuman pertamanya tentu memberontak. Dia terus mencoba melepaskan diri dari Bara dengan memukul dada dan lengan Bara.
Namun usahanya itu tampaknya sia-sia. Bara justru mengunci dirinya dengan menekan tengkuknya untuk memperdalam ciumannya.
Bara terus saja meraup bibir Eca atas dan bawah. Menggigit dan melmatnya tanpa kelembutan. L\*dahnya menerobos ke salam mlut Eca dengan beringas.
Eca sudah seperti tak ada harga dirinya lagi saat ini. Air matanya lolos begitu saja dari mata indahnya.
Dia marah dan kecewa pada Bara. Dia memang tidak rela Bara menyentuhnya tapi setidaknya jika Bara memintanya dengan kelembutan, dia tidak akan sesakit ini sekarang.
Saat ini, Eca sudah pasrah. Dia tak lagi memberontak. Dia membiarkan Bara menikmati ciuman pertamanya. Bahkan tangan Bara yang nakal mulai mere*mas dua bongkahan besar dan kenyal milik Eca di belakang sana.
Akibat dari sentuhan tak manusiawi itu, Eca juga bisa merasakan sesuatu yang keras menusuk perutnya. Eca yang memang sudah dewasa tentu tau apa yang menekan bagian perutnya itu. Eca bahkan pernah melihat Bara memainkannya dengan sangat lihai. Itu semua karena tubuhnya yang tak ada jarak dengan Bara juga tubuh Bara yang tinggi sehingga perut Eca memang sebatas pinggang Bara.
Tapi saat Eca sudah pasrah, Bara justru menjauhkan wajahnya dari Eca.
Pria itu menyeringai dengan kejam dan Eca benci ketika Bara menunjukkan itu kepadanya.
"Cukup untuk pemanasan hari ini sayang" Ibu jari Bara mengusap sekitar bibir Eca yang masih tersisa air liur mereka. Bara juga mengusap air mata Eca yang berjatuhan karena ulahnya.
"Jangan menangis, kau tidak akan menyakitimu kalau kamu menurut padaku"
Eca tak mempedulikan apa yang Bara katakan dan Bara lakukan. Dia hanya diam membisu seperti patung.
"Betulkan dulu riasanmu, lalu bacakan jadwal untukku. Terimakasih untuk ciuman pertama kita"
Cup...
Bara mengecup bekas air mata Eca dengan begitu lembut sebelum membiarkan Eca keluar dari ruangannya tanpa mau mengeluarkan sepatah katapun.
Tapi Bara tak peduli, pria itu justru tersenyum tipis sambil menyentuh bibirnya yang berhasil menjajah bibir istri keduanya itu.
"Aku benar-benar sudah gila"