Riska tak pernah menyangka hidupnya yang sederhana akan terbalik begitu saja setelah pertemuannya dengan Aldo Pratama, CEO muda yang tampan dan penuh ambisi. Sebuah malam yang tak terduga mengubah takdirnya—ia hamil di luar nikah dari pria yang hampir tak dikenalnya. Dalam sekejap, Riska terjebak dalam lingkaran kehidupan Aldo yang penuh kemewahan, ketenaran, dan rahasia gelap.
Namun, Aldo bukanlah pria biasa. Di balik pesonanya, ada dendam yang membara terhadap keluarga dan masa lalu yang membuat hatinya dingin. Baginya, Riska adalah bagian dari rencana besar untuk membalas luka lama. Ia menawarkan pernikahan, tetapi bukan untuk cinta—melainkan untuk balas dendam. Riska terpaksa menerima, demi masa depan anaknya.
Dalam perjalanan mereka, Riska mulai menyadari bahwa hidup bersama Aldo adalah perang tanpa akhir antara cinta dan kebencian. Ia harus menghadapi manipulasi, kesalahpahaman, dan keputusan-keputusan sulit yang menguji kekuatannya sebagai seorang ibu dan wanita. Namun, di bal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Pertarungan Diam-Diam
Ketegangan semakin memuncak bagi Riska. Setelah pesan ancaman dari Aldo yang tiba-tiba muncul, dia mulai menyadari betapa rapuh posisinya dalam permainan berbahaya ini. Namun, bukannya mundur, rasa takut justru menjadi bahan bakar untuk keberaniannya. Dia tahu satu hal: jika ingin bertahan, dia harus lebih pintar dan berhati-hati.
---
Pagi itu, Aldo tiba-tiba memanggil Riska ke kantornya. Suasana ruangan yang dingin dan tenang tak mampu meredam kegugupan yang dirasakan Riska. Dia tahu bahwa pertemuan ini bisa saja menjadi ancaman baru.
“Riska, kau tampak berbeda hari ini,” Aldo berkomentar sambil menatapnya dengan tajam. Matanya seperti memindai setiap gerak-gerik Riska.
Riska mencoba untuk tetap tenang, membalas tatapannya tanpa sedikit pun gentar. “Mungkin itu hanya perasaanmu, Aldo. Aku tetap Riska yang sama.”
Aldo mendekat, ekspresi wajahnya mengeras. “Apakah kau mencoba bermain-main di belakangku? Kau tahu aku bisa mengontrol setiap langkahmu.”
Riska menelan ludah, tetapi berusaha menutupi ketakutannya. “Aku tidak bermain-main, Aldo. Kau sendiri yang selalu mengingatkanku bahwa hidupku sekarang adalah milikmu.”
Senyum licik terulas di bibir Aldo. “Bagus. Jangan pernah lupa hal itu.”
Dalam hatinya, Riska merasa marah. Namun, dia tahu bahwa mengungkapkan emosi tidak akan membantu. Sebaliknya, dia hanya harus bermain sesuai aturan Aldo… untuk saat ini.
---
Setelah pertemuan itu, Riska merasa bahwa dia harus segera mencari cara untuk membebaskan dirinya. Berbekal informasi yang didapat dari Mr. Liem, Riska mulai merancang strategi. Dia tahu bahwa masa lalu Aldo yang kelam bisa menjadi titik kelemahan yang bisa dimanfaatkan.
Malam itu, dia menyelinap ke perpustakaan pribadi Aldo yang jarang dikunjungi orang. Dia berharap bisa menemukan petunjuk lebih lanjut tentang masa lalu Aldo. Saat tangannya menggeledah laci-laci meja, sebuah foto lama jatuh ke lantai.
Foto itu menunjukkan Aldo bersama seorang wanita muda yang tak dikenalnya. Senyumnya tampak berbeda dari Aldo yang dingin yang dikenalnya sekarang. Ada kehangatan di wajahnya, sesuatu yang kini nyaris mustahil terlihat.
Saat dia sedang mengamati foto itu, tiba-tiba pintu perpustakaan terbuka. Aldo berdiri di ambang pintu, ekspresinya penuh amarah dan kecurigaan.
“Apa yang kau lakukan di sini, Riska?” suaranya dingin dan mengancam.
Riska dengan cepat menyembunyikan foto tersebut di balik punggungnya. “Aku… aku hanya mencari buku bacaan. Ruang kerja ini begitu sunyi, dan aku membutuhkan waktu sendiri.”
Aldo mendekat, tatapan matanya tajam. “Kau pikir bisa mengelabui aku dengan alasan bodoh itu?”
---
Riska berusaha untuk tetap tenang meski jantungnya berdetak kencang. “Kenapa kau begitu curiga, Aldo? Apa kau takut sesuatu dari masa lalumu akan terbongkar?”
Pertanyaan itu berhasil memukul Aldo. Untuk sejenak, ada keraguan di matanya. Namun, dia segera menutupi emosi tersebut dengan ekspresi dingin. “Jangan coba-coba menyentuh masa laluku, Riska. Kau akan menyesalinya.”
“Kau sudah membuatku menyesal banyak hal, Aldo. Tapi mungkin, aku juga sudah tak lagi takut,” jawab Riska berani, menatapnya lurus.
Aldo terdiam, seakan sedang mempertimbangkan sesuatu. “Baiklah. Jika kau ingin bermain, maka aku akan memperlihatkan padamu apa artinya hidup dalam ketakutan.”
---
Aldo meninggalkan ruangan, tetapi sebelum keluar, dia berbalik dan berkata, “Mulai besok, kau akan merasakan langsung konsekuensi dari keberanian bodohmu ini.”
Setelah Aldo pergi, Riska terduduk lemas. Ancaman itu membuat pikirannya penuh ketakutan, tetapi juga membakar semangatnya. Dia tahu bahwa tidak ada jalan mundur. Dengan bukti foto itu di tangannya, dia merasa sedikit lebih percaya diri bahwa dia memiliki senjata untuk bertarung.
Riska yang memandang foto di tangannya. Dengan tatapan penuh tekad, dia berbisik pada dirinya sendiri, “Aldo, kau tidak akan bisa terus mengendalikan hidupku.”
Riska terus memandangi foto di tangannya. Bayangan masa lalu Aldo yang hangat dalam foto itu terasa kontras dengan sosok dingin yang dikenalnya sekarang. Pertanyaan demi pertanyaan mengalir dalam benaknya. Siapa wanita ini? Apa hubungannya dengan Aldo? Dan yang terpenting—bagaimana dia bisa memanfaatkan informasi ini?
Malam itu, pikiran Riska tak bisa tenang. Dia tahu, jika ingin keluar dari cengkeraman Aldo, dia harus mencari cara untuk menyerang balik. Namun, ancaman yang baru saja dilontarkan Aldo membuat dadanya berdebar kencang. Dia sadar, permainan ini berisiko, tapi dia tak punya pilihan.
---
Keesokan harinya, saat Riska sedang berusaha menenangkan diri di balkon, Aldo muncul, membawa secangkir kopi. Ekspresi wajahnya masih menampilkan kemarahan yang tersimpan.
“Pagi yang tenang, bukan?” Aldo menyapa dengan suara yang terdengar tenang, tapi menyimpan ancaman.
Riska menatapnya tanpa senyum. “Ya, tenang... setenang badai yang akan datang.”
Aldo mengangkat alisnya, tersenyum sinis. “Apa kau mencoba menantangku, Riska?”
Riska menggigit bibirnya. Ada api di matanya yang membuat Aldo tertegun sejenak. “Bukan menantang, Aldo. Tapi kau telah membakar hidupku. Sekarang, kau yang akan merasakan apinya.”
Aldo mencondongkan tubuhnya, suaranya berbisik tajam. “Jangan lupa, hidupmu masih dalam kendaliku, Riska. Dan sekali kau membuat kesalahan... hanya ada satu jalan keluar.”
Riska tersenyum, meskipun tangannya bergetar. “Dan kau pikir aku akan takut, Aldo? Aku sudah hidup dalam ketakutan setiap hari sejak kau masuk ke hidupku.”
Aldo tertawa kecil, dingin. “Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Tapi ingat satu hal... aku tidak pernah kalah.”
---
Pertemuan itu membuat Riska semakin yakin bahwa dia harus melakukan sesuatu, dan segera. Aldo tak akan pernah membiarkannya bebas kecuali ada hal yang bisa menghentikannya.
Dengan keberanian baru, Riska mendatangi seorang detektif pribadi. Dia meminta bantuan untuk menyelidiki lebih lanjut tentang wanita dalam foto tersebut. Riska sadar, dia harus berhati-hati, memastikan Aldo tidak mengetahuinya. Setiap langkah harus direncanakan dengan teliti.
Dua hari kemudian, dia menerima laporan dari detektif tersebut. Wanita dalam foto itu adalah Lina, mantan kekasih Aldo yang meninggal dalam kecelakaan tragis. Dari laporan itu, Riska mengetahui bahwa Lina meninggalkan sebuah surat terakhir untuk Aldo, surat yang selama ini Aldo sembunyikan di brankas pribadinya.
“Surat terakhir?” bisik Riska, berpikir keras. Mungkin di sinilah letak kelemahan Aldo yang bisa dimanfaatkannya.
---
Malam itu, Riska mencoba mendekati Aldo dengan strategi baru. Dia menyiapkan makan malam istimewa, berpura-pura mencoba memperbaiki hubungan mereka. Aldo, yang curiga, tetap duduk di meja makan dengan pandangan penuh tanda tanya.
“Kau mencoba mengesankanku, Riska?” Aldo bertanya sambil memotong makanannya.
Riska tersenyum tipis. “Tidak ada salahnya, kan? Lagi pula, bukankah hubungan kita… perlu dihangatkan kembali?”
Aldo mengangkat alisnya, jelas tidak sepenuhnya mempercayainya. Namun, Riska bertahan dengan wajah tenang dan senyum lembut. Dia terus mencoba membuka obrolan kecil, berharap bisa membangun kepercayaan Aldo sejenak.
Sampai akhirnya, Riska mengambil kesempatan. “Aldo... aku ingin tahu lebih banyak tentang masa lalumu. Tentang Lina.”
Nama itu berhasil memukul Aldo dengan keras. Matanya berubah, seakan ada luka lama yang baru saja terbuka kembali. “Jangan sebut nama itu!” seru Aldo dengan suara tertahan.
“Maaf... aku hanya berpikir, mungkin jika kau mau berbagi denganku, kita bisa saling mengerti,” ucap Riska, mencoba terlihat tulus.
Aldo menatapnya dalam diam, tampak bergulat dengan perasaannya sendiri. Namun, dia bangkit dari kursinya dan berjalan pergi tanpa menjawab apapun.
---
Setelah Aldo pergi, Riska duduk sendirian di meja makan. Percakapan itu membawa ketegangan luar biasa dalam dirinya, tapi juga memberikan harapan kecil. Reaksi Aldo menunjukkan bahwa ada luka yang bisa dia manfaatkan.
Esoknya, ketika Aldo sedang dalam pertemuan penting, Riska memutuskan untuk menyelinap ke ruang kerjanya. Dengan cepat, dia membuka brankas sesuai informasi yang didapat dari laporan detektif.
Di dalamnya, dia menemukan surat terakhir Lina—surat yang tak pernah dibaca Aldo. Tangan Riska bergetar saat dia mengambil surat itu, menyadari bahwa inilah kunci untuk menggoyahkan hati Aldo. Surat itu mungkin bisa membuka sisi lain Aldo, sisi yang selama ini tersembunyi di balik kekejamannya.
Bab ini diakhiri dengan Riska yang memandang surat di tangannya, dengan perasaan campur aduk antara ketakutan dan harapan.