"Sekarang tugasku sudah selesai sebagai istri tumbalmu, maka talaklah diriku, bebaskanlah saya. Dan semoga Om Edward bahagia selalu dengan mbak Kiren," begitu tenang Ghina berucap.
"Sampai kapan pun, saya tidak akan menceraikan kamu. Ghina Farahditya tetap istri saya sampai kapanpun!" teriak Edward, tubuh pria itu sudah di tahan oleh ajudan papanya, agar tidak mendekati Ghina.
Kepergian Ghina, ternyata membawa kehancuran buat Edward. Begitu terpukul dan menyesal telah menyakiti gadis yang selama ini telah di cintainya, namun tak pernah di sadari oleh hatinya sendiri.
Apa yang akan dilakukan Edward untuk mengambil hati istrinya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Karena wajah cantik!
"Terima kasih Om Edward atas makan siangnya,” ucap Ghina setelah menyelesaikan makannya.
“Kalau begitu saya permisi dulu,” ujar Ghina lagi, mulai beranjak berdiri.
“Tunggu, biar saya temani kamu.”
“Tidak perlu, saya bisa sendiri,” tolak Ghina.
“Jangan membantah, turuti orang yang lebih tua!”
“Selalu ... selalu seperti itu!” Ghina hari ini berusaha tidak terpancing emosi karena pekerjaannya butuh mood yang bagus.
Tidak mau berdebat lagi, Edward menyelesaikan membayar tagihan makan. Lalu segera membantu Ghina berjalan yang ribet dengan kebayanya.
Entah kenapa Edward terlihat menyenangkan membantu Ghina jalan.
Ghina dan Edward sudah berada di butik kenamaan yang berada di mall tersebut.
Karyawan butik segera membantu Ghina untuk berganti busana dan sang MUA kembali menata rias wajah Ghina.
Edward terlihat santai di butik tersebut, sambil memilih milih jas untuknya yang dijual dalam butik tersebut.
Pak Rudi beserta karyawannya dan pria tampan yang seperti model tiba di butik, mereka langsung ke studio yang ada di dalam butik.
1 Jam kemudian Ghina sudah keluar dari ruang make up.
Mulut Edward menganga melihat Ghina keluar dari ruang make up, tambah terpesona dengan kecantikan Ghina yang selama ini belum ia lihat.
Dengan tubuhnya dibaluti gaun pengantin putih dengan potongan bahu rendah, serta tudung transparan panjang yang menutupi kepala bagian belakangnya. Ditambah dandanan wajah yang natural tapi glowing terlihat semakin cantik.
Edward beranjak dari duduknya dan menghampiri Ghina, menatap lekat lebih dekat.
“Permisi Pak, Ghina nya mau langsung ke studio,” ujar karyawan butik, segera membantu angkat bagian bawah gaun biar mudah jalan.
Ghina melengoskan wajahnya tidak peduli dengan kehadiran Edward. Edward mengikuti mereka masuk ke dalam studio.
Ghina mulai melakukan sesi pemotretan dengan model pria, Edward tidak putus-putus memandangi pose foto Ghina yang terkesan intim. Ya namanya juga tema fotonya pernikahan, adalah adegan di peluk, saling memeluk, menyentuh wajah, dan pose seperti ingin ciuman.
Edward pergi sebentar keluar studio, dan kembali dengan setelan baju yang berbeda.
Selesai pemotretan Ghina dan pria model tersebut, fotografer mempersilahkan Edward untuk mendekat ke Ghina.
Sementara Ghina agak aneh, untuk apa Edward masuk ke lokasi pemotretan. Sepertinya Edward sudah mengkoordinir agar bisa masuk ke area pemotretan.
Tanpa banyak bicara, sang fotografer mengarahkan Ghina dan Edward. Jantung Ghina kembali berdebar-debar tidak seperti dengan pria model tersebut.
Apalagi saat posisi Edward mencium kening Ghina, dan memeluknya dari belakang. Duduk di pangkuan Edward, dengkul kakinya terasa lemas, sedangkan Edward terlihat santai.
“Pak Rudi ... saya beli cincin yang tadi dipakai Ghina,” pinta Edward setelah selesai sesi foto.
“Oh baik Pak Edward, cincin wanitanya saja atau sepasang. Biar saya langsung siapkan.”
“Sepasang Pak Rudi, nanti setelah ini saya ambil ke toko.”
“Baik Pak”
Edward langsung bergegas menuju ruang ganti Ghina. Menunggu dengan sabarnya.
Ghina sudah berganti pakaiannya, dan wajahnya kembali polos tanpa make up. Keluar dari ruang ganti.
“Terima kasih Ghina ya sudah bantu Tante, honornya nanti tante transfer,” ujar Tante Feby pemilik butik.
“Sama-sama tante, Ghina pulang dulu. Makasih ya,” ucap Ghina sambil tersenyum lebar.
Edward segera memegang lengan Ghina saat mereka akan keluar butik.
“Om lepasin dong tangannya!” pinta Ghina.
“Gak bisa, nanti kamu kabur lagi!” jawab Edward.
Mau gak mau Ghina mengikuti langkah Edward, sekarang mereka berada di toko perhiasan, Edward mengambil dan membayar cincin yang dia pesan tadi.
“Gile ... harganya 200 juta ... dasar sultan. Beli cincin udah kaya beli kacang,” gumam Ghina sambil memperhatikan isi etalase yang memajang perhiasan.
Sungguh beruntung sekali mbak Kiren, cincin nikahnya bagus banget, untung tadi udah coba pakai ... batin Ghina.
“Kamu ada yang mau diinginkan gak, biar sekalian saya beliin?”
“Gak Om makasih, cuma lihat-lihat aja kok.”
“Ya sudah, kita langsung pulang setelah ini.”
Kali ini Edward tidak memegang lengan Ghina lagi. Dan Ghina jalan di belakang Edward sedikit memberi jarak.
“Sayang ... kok kalian berdua ada di sini. Dari siang aku telepon tidak di angkat-angkat?” ujar Kiren, tiba-tiba mereka tanpa sengaja bertemu.
“Maaf Honey, tadi saya ada rapat dengan klien, ini saya juga gak sengaja ketemu Ghina,” ujar bohong Edward.
“Lain kali kasih tahu ya sayang, jadi aku tidak khawatir,” ujar lembut Kiren.
“Om, Mbak Kiren ... duluan ya Ghina udah di tunggu sama teman,” pamit Ghina tanpa menunggu di jawab.
Edward tidak bisa menghentikan kepergian Ghina, karena Kiren sudah bergelayut manja di lengannya.
“Kita makan malam dulu yuk sayang,” ajak Kiren.
“Ya ..."
Jam 7 malam Ghina sudah sampai rumah, langsung mandi dan berganti baju.
Berkumpul bersama keluarga menikmati makan malam. Selesai makan malam, Ghina pamit duluan beristirahat karena merasa lelah.
Sebelum tidur, Ghina mengecek fotonya tadi siang di ponselnya. Mengagumi dirinya sendiri.
Om Edward tiba-tiba berubah karena melihatku berubah cantik. Ketika diriku berubah ke semula... diapun berubah sikapnya ... ha-ha-ha rasanya ingin tertawa. Semuanya karena wajah cantik ... sungguh miris!
Tanpa menunggu waktu lama, Ghina mulai tertidur.
Sedangkan Edward sibuk dengan kekasihnya minta dibelanjakan beberapa barang, padahal baru kemarin Kiren minta dibelanjakan.
Jam 10 malam ...
Edward sudah berada di depan rumah Ghina, kebetulan Papa Zakaria dan Mama Sarah sedang duduk di depan rumah.
“Edward kok malam-malam ke sini, ada apa?” tanya Papa Zakaria.
“Mau ngecek Ghina sudah sampai rumah atau belum?”
“Padahal cukup telepon saja, tidak perlu ke sini. Kasihan kamu pasti capek,” ujar mama Sarah.
“Gak pa-pa Kak Sarah, sekalian mau mengantar barang buat Ghina, boleh saya ke kamarnya?”
“Silakan, mudah-mudahan tidak dikunci kamarnya,” ujar mama Sarah.
“Terima kasih Kak, Bang,” Edward masuk menuju kamar Ghina.
Tanpa mengetuk kamar, Edward membuka pintu kamar Edward, ternyata tidak dikunci.
Diletaknya paper bag yang dia bawa di atas meja, terlihat Ghina sudah tidur terlentang dengan memakai daster dari bahan kaos.
Edward mendekati ranjang Ghina, disingkirkannya anak rambut dari wajahnya. Agar jelas ia menatap Ghina yang sudah tertidur, jari tangannya mengelus wajah mulus Ghina, sepintas bayangan Ghina saat pakai baju kebaya dan gaun pengantin terbayang-bayang di pelupuk mata Edward.
Tanpa terasa setengah jam Edward berdiam di kamar Ghina. Langkah kakinya terasa berat untuk keluar dari kamar Ghina.
“Kak, Abang ... saya pamit pulang dulu,” ucap Edward setelah dari kamar Ghina.
“Hati-hati di jalan,” ujar Papa Zakaria.
“Ya Bang.”
Mobil Edward melesat cepat meninggalkan rumah Ghina.
.
.
Pagi hari di rumah Ghina ...
“Mam, ini punya siapa ya?” tanya Ghina sambil menunjukkan paper bag.
“Oh semalam Om Edward mampir ke rumah, katanya antar barang buat kamu,” jawab mama Sarah sambil menyiapkan sarapan.
.
.
bersambung
n