Berkat bantuan sang ayah yang bekerja sebagai sopir di keluarga kaya, Daisy diterima bekerja di perusahaan milik bos ayahnya. Namun, Daisy yang bar-bar, ceroboh, bahkan berisik, dituntut menjadi pendiam. Sebab Athan selaku anak dari bos ayahnya yang menjadi CEO di perusahaan Daisy bernaung, anti berisik.
Selain sangat pendiam sekaligus misterius, sejak kecil Athan merupakan seorang indigo. Namun karena kejadian memilukan di masa lalu, Athan yang awalnya bisa melihat sekaligus mendengar kejadian tak kasatmata, jadi kehilangan semua itu. Hanya saja, pertemuannya dengan Daisy membuatnya mendengar setiap isi pikiran bahkan suara hati Daisy yang sangat berisik.
Athan nyaris memecat Daisy yang sudah beberapa kali membuat masalah. Namun kenyataan ayah Daisy yang meninggal karena menyelamatkan Athan, membuat Athan merasa bahwa Daisy merupakan tanggung jawabnya. Fatalnya, meninggalnya ayah Daisy juga membuat rencana pernikahan Daisy dengan tunangannya batal.
“Menikahlah denganku! Aku bersumpah akan selalu membahagiakanmu!” ucap Athan sungguh-sungguh.
“Ketika orang kaya terlebih itu bosmu mendadak mengajakmu menikah. Padahal kamu enggak punya kelebihan selain bikin susah, satu-satunya alasan paling masuk akal kenapa itu sampai terjadi. Karena memang kamu akan dia jadikan tumbal pesugihan! Kabur saja Daisy, si bos Athan memang agak laen!” batin Daisy yang tentu saja, lagi-lagi bisa Athan dengar. Andai Daisy tahu, pasti ia tidak akan terus-menerus membahas sikap misterius Athan, di dalam hatinya apalagi pikirannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Ayah!
Dimas, selaku pemuda yang datang, merupakan tunangan Daisy. Dialah sosok tukang siomay dan juga tukang bangunan yang Daisy perjuangkan.
“Tukang siomay sekaligus tukang bangunan yang Daisy perjuangin. Entah Daisy yang terlalu begok, atau memang hati Daisy yang terlalu bersih. Demi memberi tukang siomay dan tukang bangunan ini jodoh, Daisy sampai enggak mau mengakui kalau aku keren!” batin Athan sambil bersedekap.
Athan sadar, Dimas terus meliriknya sinis. Iya, Athan juga sadar, pemuda berkulit agak gelap itu marah kepadanya. Kemarahan yang Athan yakini masih berkaitan dengan pelukan Athan kepada Daisy.
Sambil balas menatap tegas Dimas yang meliriknya sinis, Athan berkata, “Bawa Daisy istirahat. Biar saya yang jaga ayahnya. Pastikan Daisy juga makan agar perutnya terisi.”
“Biasa saja, ... enggak usah sok perhatian. Aku tunangan Daisy, jadi aku jauh lebih tahu apa yang terbaik buat Daisy!” tegas Dimas.
“Heh,” lirih Daisy sambil mendelik berusaha menyadarkan Dimas. Ia melakukannya sambil menyeka air matanya menggunakan sapu tangan pemberian Athan.
“Yang harusnya biasa saja harusnya kamu. Karena aku juga sudah biasa saja. Jangankan yang tunangan, yang sudah menikah punya cucu saja bisa cerai. Termasuk juga pernyataan kamu yang bilang hanya karena kamu tunangan Daisy, kamu jadi yang paling paham Daisy. Enggak juga, kan? Memangnya kalau Daisy sakit, kamu bisa jadi sembuhin menggantikan pekerjaan dokter? Enggak kan? Jadi memang kamu yang harusnya biasa saja.” Athan berbicara sekaligus mengangguk-angguk santai. “Enggak usah pakai ego karena situasinya sedang berduka. Ayahnya Daisy sedang sakit dan ibu maupun adiknya juga sedang tidak baik-baik saja. Sebagai calon suami Daisy yang otomatis harus bisa menjadi kepala keluarga keluarga Daisy, kamu harus lebih waras!”
Sebelum bos dan tunangannya ribut, Daisy sengaja mengajak Dimas pergi. Apalagi sebelumnya, Athan berdalih akan membantunya menjaga pak Maryo.
“Siapa, sih? Belagu banget? Lagian kamu ngapain mau dipeluk-peluk dia? Berduka sih berduka, tapi tetap wajib ingat kamu siapa!” sebal Dimas membiarkan Daisy membawanya ke lorong sebelah.
Daisy berhenti tepat di depan tangga darurat yang memang sepi. Di sana hanya ada mereka berdua, meski tentu saja, Athan masih tetap bisa membaca pikiran maupun mendengar suara hati Daisy.
“Dia anaknya bos ayah. Namanya Athan, dan aku memanggilnya bos Athan. Karena memang, bos Athan itu bosku di kantor,” jelas Daisy yang berhadapan dengan Dimas.
“Terus, ... ngapain dia di sini dan sampai peluk-peluk kamu? Harusnya sedekat apa pun hubungan sopir dengan majikan, ... ya hanya sebatas basa basi sih. Lagian bos mana yang beneran tulus ke pembantu atau sopir? Beneran enggak ada kalau bukan buat maksud lain!” balas Dimas makin sewot jika harus menyinggung adegan Athan yang memeluk Daisy.
“Ya ampun, ... kok kamu malah cemburu sih?” keluh Daisy. Sebelum Dimas memberinya alasan atau setidaknya balasan, Daisy berkata, “Kan kamu sendiri yang tadi bilang. Bos mana yang bisa tulus ke pembantu maupun sopirnya? Lagian, aku yang dipeluk saja biasa-biasa saja!”
Dimas jadi tidak bisa berkomentar lagi. Ia memilih diam, tapi hanya bertahan sebentar lantaran ia telanjur emosi. “Dia bos, sementara aku? Meski aku tunanganmu, aku hanya tukang siomay yang merangkap sebagai tukang bangunan!”
“Kamu tahu ayah sedang sakit, tapi kamu malah marah-marah begini? Bukannya mengurangi beban hidupku, kamu malah sengaja menambahnya!” kesal Daisy memilih pergi. Ia bahkan mengibaskan kasar tahanan tangan Dimas yang berusaha menahan kepergiannya.
Daisy kembali ke depan ruang ICU sang ayah terbaring. Yang membuat Daisy diam, ia memergoki Athan tengah sangat khusyu bertasbih. Athan melakukannya sambil berdiri di depan pintu. Dengan kedua mata terpejam, Athan menunduk sementara jemari tangannya dengan sangat cekatan menyentuh setiap biji tasbih.
Kedatangan Dimas yang masih disertai emosi, membuat Daisy nyaris menghantam kepala tunangannya itu. Daisy memberi isyarat keras kepada Dimas agar pemuda itu diam.
“Bos Athan, ... sebagai anaknya saja aku lupa mendoakan sekhusyu itu. Ya sudah, mending sekarang aku mandi terus salat malam. Aku doa sebanyak-banyaknya ke Allah!” batin Daisy yang kemudian pamit mandi dan langsung pergi. Suara hati yang lagi-lagi didengar Athan dengan jelas.
Daisy mengambil pakaian ganti miliknya lengkap dengan perlengkapan mandi. Semua itu masih pemberian ibu Hasna siang tadi.
“Ngapain mandi? Eh, kamu jadi ganjen gini, ya?!” sergah Dimas sengaja berucap lirih.
Athan yang berangsur membuka mata, sengaja menyusul Dimas. Sebab Dimas yang masih emosi dan meluapkannya kepada Daisy, sampai mengikuti Daisy. Athan tidak mau, Dimas nekat melukai Daisy lebih dari ucapan kasar yang terus pemuda itu lakukan. Kendati demikian dan turut menunggu Daisy di depan area toilet, jemari tangan kanan Athan masih sibuk bertasbih.
“Nih orang sok alim banget!” jengkel Dimas merasa muak dan sengaja menjauhi Athan.
Namun pada akhirnya, Hanya Athan yang menemani Daisy bertasbih hingga subuh. Keduanya bahkan menunaikan salat hajat kemudian salat subuh bersama di mushola yang ada di rumah sakit. Malahan yang Dimas lakukan justru ngorok di lantai depan ICU.
“Andai kemungkinan buruknya, ayah kamu harus meninggal, ... kamu harus ikhlas,” ucap Athan ketika akhirnya mereka keluar dari mushola.
Athan menatap berat punggung Daisy yang sampai kini masih tertutup mukena. Karena memang, Daisy yang masih memakai mukena, melangkah di depan Athan. Namun, ucapan Athan barusan sukses meremukkan hati Daisy.
“Enggak! Aku enggak ikhlas!” tegas Daisy sesaat setelah ia menoleh sekaligus menatap Athan. Ia menatap bosnya itu penuh ketegasan di tengah air matanya yang berlinang. Karena memang, membahas kematian untuk sang ayah, menjadi hal paling sensi.tif untuk Daisy. Bahkan meski keadaan pak Maryo memang sangat memprihatinkan.
“Minimal ayah kamu enggak merasakan sakit lagi. Karena ... karena dokter bilang, ... andai semua alat bantu hidup di ICU dilepas dari tubuh ayah kamu. Sebenarnya, ... sebenarnya ayah kamu sudah enggak ada,” lembut Athan berusaha memberi Daisy pengertian.
Athan sudah berusaha melakukan pendekatan. Ia berusaha berucap selembut mungkin ke Daisy. Akan tetapi, ucapannya tetap membuat Daisy berlinang air mata.
“Enggak, Bos Athan! Ayah saya akan baik-baik saja. Apalagi ayah sendiri yang janji, sampai kapan pun, ayah akan selalu jagain aku. Karena ayah tahu, aku yang begini enggak bisa tanpa ayah. Aku harus selalu dibimbing ayah!” yakin Daisy terisak pedih.
Namun ketika Daisy baru sampai di bangku tunggu ibu dan adiknya lelap, seorang suster keluar buru-buru dari ruang ICU pak Maryo dirawat.
Jantung Daisy seolah sudah langsung copot hanya karena kenyataan tersebut. “Kenapa, Sus? Ada apa?” sergahnya.
Athan yang masih menemani Daisy, sudah bisa menduga apa yang sebenarnya terjadi. Athan bahkan langsung menerobos masuk. Hingga suara mesin EGK yang teramat datar dan terdengar sangat mengerikan, sampai ke telinga Daisy akibat pintu ruang ICU dibuka sempurna oleh Athan.
“Mohon maaf, Kak. Ayah Kakak sudah tidak bernapas. Detak jantungnya juga sama sekali tidak terdeteksi. Ini saya mau panggil dokter,” jelas sang suster dan membuat Daisy refleks lari. Daisy sampai menginjak tangan Dimas yang sampai detik ini masih ngorok.
Dimas yang meringkuk di sana bahkan tetap anteng dan baru bangun setelah dibangunkan Daniel.
“Ayah ... ayah buka mata ayah! Ayah enggak boleh gini. Ayah sudah janji ke aku, Ayah! Ayah, aku mohon!” Daisy sungguh berisik dan kedua tangannya tak hentinya menepuk-nepuk pipi ayahnya.
Kehebohan Daisy juga dibarengi tangis ibu Syifa maupun Daniel. Athan yang terdiam layaknya patung di seberang Daisy juga tidak bisa untuk tidak menangis. Athan bahkan merasa sangat bersalah. Karena andai tidak karena menyelamatkannya, tentu pak Maryo baik-baik saja. Tentu tangis kesedihan Daisy dan ibu maupun adiknya, tidak akan terjadi.
Dimas menjadi orang yang paling telat masuk ICU.
“Ayah!” histeris Daisy sampai loncat-loncat di tempat sambil mendekap erat tubuh sang ayah menggunakan kedua tangan.