Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Kaki Amara terasa lemas saat menginjak pintu utama rumah Radit. Ia merasa sesuatu yang tak beres. Udara di rumah itu berasa tebal, dipenuhi dengan ketegangan yang tak terlihat. Ia mencari Radit, namun ia hanya menemukan Dewi yang duduk di sofa ruang tamu, wajahnya menyeramkan.
"Amara, kau kembali?" ujar Dewi, nada suaranya keras dan dingin. "Akhirnya kau datang. Aku sudah menunggu kau."
Amara merasa takut, namun ia berusaha tetap tenang. "Mba Dewi, apa yang terjadi?" tanya Amara, suaranya bergetar sedikit.
Dewi tersenyum sinis, kemudian menyodorkan ponselnya pada Amara. Di layar ponsel itu, terlihat foto Amara yang sedang berbincang dengan Dimas di Cafe Tiara.
"Kau berani berselingkuh dengan pria itu?" tanya Dewi, matanya menyorot kebencian. "Aku akan memperlihatkan foto ini pada Radit."
Amara menatap foto itu dengan kaget. Ia tak menyangka Dewi mengintai ia selama ini.
"Mba Dewi, aku takut Kau salah paham," ujar Amara, suaranya mencoba tetap tenang. "Aku hanya bertemu dengan Dimas untuk membicarakan promosi klub. "
"Berbohong! Radit akan marah ketika melihat foto ini!" ujar Dewi, nada suaranya menyeramkan.
Dewi berjalan keluar dari ruang tamu, meninggalkan Amara yang merasa terpuruk. Ia takut akan kemarahan Radit.
Saat itu, Radit masuk ke ruang tamu. Ia menatap Amara dengan tatapan yang dingin, wajahnya menunjukkan kemarahan.
"Amara, apa yang kau lakukan?" tanya Radit, suaranya bergetar dengan kemarahan.
Dewi kembali masuk ke ruang tamu dengan senyum sinis. Ia menunjukkan foto Amara dan Dimas pada Radit.
"Lihatlah, Radit," ujar Dewi, nada suaranya menyeramkan. "Amara berselingkuh dengan pria itu."
Radit menatap foto itu dengan kecewa dan kemarahan.
"Amara, kau membohongi aku?" tanya Radit, suaranya keras dan mengancam.
Amara merasa terpuruk. Ia mencoba menjelaskan kebenaran, namun Radit tidak percaya. Amara merasa hatinya terluka dan tercabik-cabik.
******
"Radit, aku mohon lepaskan aku," teriak Amara, suaranya bergetar dengan ketakutan. "Aku tak bersalah! Aku hanya ingin membantu bisnismu!"
Radit berbalik dan menatap Amara dengan tatapan yang dingin. "Kau telah membohongi aku. Kau telah menghancurkan kepercayaanku."
"Aku tak berbohong, Radit! Aku bersumpah!" ujar Amara, air matanya mengalir deras. "Dewi yang menjebak aku! Ia menghasut Dimas untuk berperilaku mesra dengan aku!"
Radit tersenyum sinis. "Kau masih berani berbohong?"
"Aku tak berbohong!" teriak Amara dengan suara yang cemburu. "Aku bersumpah! Aku tak akan menghancurkan hubungan kita! Aku cinta padamu, Radit!"
Radit menutup pintu kamar dengan keras. Ia meninggalkan Amara yang merasa terjebak dalam penjara yang ia buat. Amara merasa tertekan dan ingin melarikan diri. Ia mencoba menghubungi keluarganya, namun Dewi dan Yuni menghalanginya. Mereka menjaga Amara dengan ketat di rumah Radit. Amara merasa terjebak dalam situasi yang mengerikan.
Amara berusaha mencari cara untuk melarikan diri dari rumah Radit. Ia mencoba mencari peluang ketika Dewi dan Yuni tidak mengawasi. Amara melihat sebuah jendela di kamarnya yang tak terkunci. Ia mencoba untuk membuka jendela itu, namun ternyata itu merupakan jebakan. Dewi dan Yuni telah menyiapkan segalanya untuk menghentikan Amara.
Amara merasa terpuruk. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia merasa terjebak dalam jebakan neraka yang diciptakan oleh Dewi dan Yuni. Amara merasa putus asa.
*******
Radit duduk sendirian di meja makan, wajahnya masih berkerut kesal, matanya menatap kosong ke arah piring yang kosong. Ia masih terngiang kata-kata Amara yang mengatakan bahwa Dewi telah menjebaknya. Namun, ia takut untuk percaya. Ia takut kecewa lagi pada wanita yang dicintainya.
"Kenapa kau tak mau percaya padaku?" gumam Radit, suaranya menurun hingga hanya ia yang mendengar. "Kau akan menyesal jika kau melakukan ini padaku."
Tiba-tiba, Dewi muncul di ruang makan. Ia menatap Radit dengan senyum licik, seolah menikmati kesedihan yang menyelimuti Radit.
"Radit, aku tahu kau sedang marah pada Amara. Kau tak perlu mengurungnya seperti itu," ujar Dewi, nada suaranya lembut namun menyeramkan. "Lebih baik pulangkan saja ia pada orang tuanya. Kau tak akan mendapat kebahagiaan bersamanya."
Radit berdiri mendadak, wajahnya menunjukkan kemarahan yang membara.
"Diam! Jangan berani mencampuri urusanku!" bentak Radit, suaranya bergetar dengan kemarahan. "Jangan berani mendekat lagi!"
Radit berjalan meninggalkan Dewi yang terdiam menatap Radit dengan tatapan kecewa dan kebencian. Dewi mengepalkan tangannya, marah karena rencananya tak berjalan sesuai rencana.
"Kau akan menyesal percaya padanya, Radit!" gumam Dewi, suaranya menghilang di balik ketegangan yang menyelimuti rumah itu. "Aku akan memastikan kau akan menyesal menyakitiku."
Dewi berjalan menjauh, meninggalkan Radit yang masih dipenuhi kemarahan. Radit merasa takut dan bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa. Amara terus menghantui pikirannya. Ia merasa salah dan ingin membenarkan kesalahan itu.
******
Amara terkulai lemas di atas ranjang yang berbalut kain sutera mahal. Kamar yang mewah itu tiba-tiba terasa sangat sempit, mencekik jiwanya yang terluka. Cahaya bulan yang menyelinap melalui celah tirai tak mampu menghilangkan bayangan kecewaan yang menyelimuti wajahnya.
"Sialan!" desis Amara, suaranya berbisik keras hingga membuat dada ia bergetar. "Kenapa aku terjebak dalam permainan busuk ini?"
Amara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan amarah yang memendidih di dalam dadanya. Ingatan tentang kebaikan Radit yang telah membiayai pengobatan ayahnya yang sakit seolah-olah tercoreng oleh kelicikan Dewi dan Yuni. Mereka menghancurkan kepercayaan Radit padanya, menjatuhkannya dalam neraka yang diciptakan oleh kedua istri Radit itu.
"Aku bodoh!" teriak Amara, matanya meneteskan air mata kekecewaan. "Aku percaya pada mereka! Aku benar-benar bodoh!"
Namun, di tengah kemarahan dan kekecewaan itu, Amara merasakan sebuah tekad yang kuat bersemi di dalam hatinya. Ia tak akan membiarkan Dewi dan Yuni menghancurkan hidupnya. Ia akan mencari jalan keluar dari jebakan neraka ini.
"Aku tak akan membiarkan mereka menang," gumam Amara, suaranya bergetar dengan tekad. "Aku akan pergi dari rumah ini. Aku akan menunjukkan pada mereka bahwa aku bukanlah wanita lemah!"
Amara menatap jam di dinding. Besok pagi, Radit akan pergi ke kantor. Amara berencana untuk pergi dari rumah itu ketika Radit tak ada.
Amara menyusun rencana perjalanannya. Ia akan menghubungi keluarganya dan menceritakan segalanya. Ia akan kembali ke desanya dan menjalani hidup yang sederhana.
"Aku akan pergi, Radit," gumam Amara, suaranya menghilang di balik tekad yang membara di dalam hatinya. "Aku akan mencari kebebasan dan menentukan nasibku sendiri."
Amara menutup matanya, mencoba untuk menenangkan perasaannya. Ia tahu perjalanan yang akan ia tempuh tak akan mudah. Namun, ia bertekad untuk melakukannya.
******
Mentari pagi menyinari rumah mewah Radit, menembus celah tirai, menyorot bayangan Amara yang sedang menyiapkan sarapan di dapur. Aroma kopi dan kue panas mengharumkan ruangan, namun tak mampu menghilangkan kesedihan yang menyelimuti hati Amara. Ia mencoba mengatasi perasaannya dengan menyibukkan diri di dapur.
Radit keluar dari kamarnya, menatap Amara dengan tatapan yang dingin. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya berjalan menuju pintu utama rumah.
"Selamat pagi, Radit," sapa Dewi dengan senyum licik, matanya menyorot kepuasan. "Semoga harimu menyenangkan."
Radit menangguk saja, kemudian berjalan keluar dari rumah tanpa menoleh ke arah Amara. Amara merasa sedikit terkejut dengan perlakuan Radit. Namun, ia tak menunjukkan rasa kecewanya.
"Selamat pagi, Radit," ujar Yuni, dengan nada yang sedikit mengejek. "Semoga hari ini berjalan lancar."
Radit hanya mengangguk dan berjalan meninggalkan rumah. Dewi dan Yuni tersenyum saling berpandangan. Mereka sangat puas dengan permainan mereka.
Amara menatap Radit yang berjalan menjauh. Hatinya berasa hancur. Ia merasa terbuang dan tak berarti lagi di mata Radit. Amara menahan tangisnya dan mencoba untuk tetap kuat.
Amara berjalan menuju meja makan. Ia menyiapkan sarapan untuk Dewi dan Yuni. Namun, kedua istri Radit itu hanya menatap Amara dengan tatapan menyeramkan.
"Amara, kau tak perlu menyiapkan sarapan untuk kami," ujar Dewi dengan nada yang kasar. "Lebih baik kau kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumah ini."
Amara menatap Dewi dengan kekecewaan. Ia tak menyangka Dewi akan berbicara sekasar itu.
"Aku akan pergi, Dewi," ujar Amara, suaranya bergetar sedikit. "Aku tak akan menganggu hidup kamu lagi."
Amara berjalan meninggalkan meja makan, menahan tangisnya. Ia berjalan menuju kamarnya dan mulai mengemasi barang-barangnya.
Dewi menatap Amara yang berjalan menjauh. Ia tersenyum licik, sangat puas dengan permainannya.
"Selamat tinggal, Amara," gumam Dewi, suaranya menghilang di balik senyum liciknya. "Kau tak akan menghancurkan kebahagiaanku."
Dewi dan Yuni tersenyum saling berpandangan. Mereka sangat puas dengan permainan mereka. Mereka berhasil menyingkirkan Amara dari rumah Radit.
Amara mencari kesempatan untuk menghubungi keluarganya. Ia berharap keluarganya akan membantunya untuk menjalani hidup baru.