Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 7
Sampai di rumah kami masih belum tegur sapa, aku sebetulnya sangat takut. Tanpa banyak bicara, asisten ibu menuntun ke kamar dan membawakan barang-barangku, aku masih kikuk dan tidak tahu harus menjelaskan apa. Tidak terasa, kepergianku dari rumah sudah mencapai satu bulan lebih, aku meninggalkan sesuatu yang semestinya membuatku bahagia untuk sebuah penderitaan yang tidak jelas arahnya ke mana. (Bodoh) memang kata itu yang pantas disematkan untukku.
"Non langsung bebersih ya. Mandi, udah itu turun, makan dulu baru istirahat." ujar mba Nia, asisten ibu. Bahkan orang yang sudah lama akrab denganku di rumah ini tiba-tiba saja asing. Sapaannya penuh hati-hati, tidak ada sebait senyum pun yang terpancar dari wajah seperti biasanya.
*****
Aku hanya menikmati makanan di meja sendiri, sedang ibu dan ayah hanya memperhatikan. Mungkin keduanya sudah makan tadi, karena sekarang memang sudah hampir menuju tengah malam. Setelahnya, aku langsung diminta istirahat, belum ada suara dari ayah dan ibu padaku, sebenarnya aku ingin sekali meminta maaf dan menjelaskan banyak hal. Sayangnya perasaan yang berkecamuk membuat aku bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Aku benar-benar dikeluti rasa bersalah. Tubuh ayah dan ibu membuatku merasa menjadi anak paling durhaka yang ada di muka bumi ini.
Tengah malam aku terjaga dari mimpi, aku tiba-tiba saja merindukan sosok Trio. Aku sadar, baik Trio mau pun keluarganya sudah sangat jahat, tapi entah, hatiku mungkin masih tertinggal di sana. Biar bagaimana pun sebelum Trio berubah setelah menikah denganku, ia pernah sangat baik dan perhatian. Ia seperti takut sekali melihat aku terasakiti, menjadi teman pendengar yang tidak pernah kontra dengan semua ketidak sukaanku. Ia selalu berada di pihakku. Aku tidak mengerti, hal apa yang membuatnya cepat berubah. Sial!
[Tling] Suara pesan masuk di ponselku berbunyi.
[Maaf kalau udah membuat kamu sakit hati, aku cuek selama ini sama kamu, karena aku takut kamu terlalu nyaman. Menikah denganmu bukan ideku. Aku sudah bilang pada ibu untuk tidak bermain-main dengan keluargamu, tapi itu tidak mendengarkanku. Kami hanya orang miskin yang mencari uang dengan cara tidak halal, De. Kamu baik-baik ya, di sana.]
Membaca pesan panjang lebar dari Trio hatiku terhanyut, mungkin kah ia melakukan semuanya benar-benar karena terpaksa? Aku mulai kepikiran dengan segala tentang Trio selama ini, banyak cerita yang telah kita lewati. Aku rindu, tapi aku tidak boleh kembali gegabah, karena nanti masalahnya akan tambah melebar ke mana-mana. Sampai sini aku belum paham, mengapa sikap seseorang lekas berubah, tanpa alasan yang tepat. Rumit, aku dibuat berpikir panjang hanya karena kekecewaan terhadap Trio.
*****
Pagi hari yang cerah, tapi di mataku semua terasa mendung. Aku mencuci wajah lalu turun ke bawah untuk melihat bagaimana bias wajah bahagia orang tuaku setelah aku berada di rumah. Aku ingin keharmonisan kami kembali seperti semula. Sayangnya semua buyar setelah seseorang yang disebut pengacara sudah berada di ruang tamu dan membicarakan sesuatu bersama ayah dan ibu. Kukira semua akan selesai begitu saja, nyatanya aku salah. Akan banyak drama yang disambung ke dapan, ayah tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh keluarga Trio, ia memiliki inisiatif untuk menuntut atas tuduhan pencemaran nama baik keluarga kami, dan beberapa pasal lain termasuk juga pemaksaan perkawinan di bawah umur.
"De, kebetulan kamu sudah bangun. Sini!" minta ayah saat melihatku tanpa basa-basi. Aku mendekat.
"Kenapa ayah?" tanyaku pelan, memasang wajah lugu.
"Ini kenalin, tante Dea, beliau ini pengacara handal, sudah banyak kasus yang beliau menangkan. Saat ini tante Dea ingin menanyakan banyak hal padamu, ayah harap kamu bisa diminta untuk bekerja sama, ya." aku hanya mengangguk karena tidak tahu harus membantah atau menjawab apa.
"De, kasus kamu ini serius. Kamu memang tidak diculik, tapi pernikahan di bawah umur yang kamu lakukan akan mengakibatkan fatal pada masa depanmu. Kamu harus menceritakan, bagaimana mungkin kamu bisa melangkah sejauh itu?" tanpa intro, perempuan yang bernama tante Dea langsung menembak dengan pertanyaan inti.
"Tante, aku sedikit tidak nyaman dengan pertanyaan ini. Lagi pula aku baru sekali bangun dari tidur. Bisa tidak, kasih sedikit jeda." mendengar responku ibu kemudian menarik lenganku pelan dan memeluk erat, iya. Pelukan hangat inilah yang kurindukan, seketika aku menangis sejadi-jadinya, merasa sangat bersalah dan bodoh. Bagaimana bisa, aku memiliki ibu yang sangat mencintaiku justru kutinggal hanya demi laki-laki yang baru saja tiga Minggu kukenal dan kuanggap lebih baik dari orang tuaku sendiri. Ayah juga terpental dari tempat duduknya ikut memeluk penuh cinta.
"Maafin ibu, maaf kalau ibu berlebihan." suara lembut itu terdengar begitu merdu dari perempuan yang telah berjuang dalam memberikan perhatian padaku selama ayah tidak ada di rumah. Siapa sebetulnya yang salah besar dalam kejadian, kenapa justru ibu yang meminta maaf. serius itu kah aku selama ini, hingga aku yang terlalu labil telah membuat ibu meminta maaf atas ketidak salahannya. Ayah beberapa kali mengecup keningku dan mengelus kepala belakang. Ayah merasa gagal mengambil perannya. Ayah pikir dengan bergelimang harta, aku tidak butuh keberadaannya.
Karena keadaan tidak memungkinkan, tante Dea segera pamit pergi dan mungkin akan kembali saat aku sudah mulai tenang. Sekarang ini semua orang sudah menebak bahwa aku trauma, psikis-ku sedang tidak baik-baik saja. Tante Dea menyarankan agar ibu membawakan psikiater guna membantu menenangkan emosional dan menyembuhkan trauma dalam diriku. Rasa takut, malu, canggung juga perasaan bersalah pasti sedang bersarang di dalam tubuhku sehingga semua itu butuh penyembuhan dalam kesabaran.
Setelah kejadian memalukan itu, aku mengurangi aktifitas sebelumnya. Aku juga lebih sering mengurung diri di kamar. Terlalu buruk rasanya kondisiku karena perasaan yang bercampur aduk, aku juga takut bertemu orang banyak, tidak nyaman jika ada orang lain yang mengajakku berinteraksi apa lagi dengan nyata menanyakan pengalaman di mana aku kabur beberapa waktu lalu. Aku juga takut kabar pernikahan dini tersebar luas, itu tidak akan mencoreng namaku tapi juga nama baik ayah dan ibu juga seluruh keluarga besar. Apa yang akan ayah katakan untuk menutupi kesalahan besar yang dibuat putri semata wayangnya? Setiap hari ini memasuki kamar dan menghibur, sesekali ibu juga memaksa aku keluar rumah melihat taman belakang atau sekedar nongkrong di teras kolam untuk berbicara dari hati ke hati menguatkan dan meyakinkan bahwa masa depanku akan baik-baik saja bahkan lebih cerah dari pada apa yang kubayangkan.