Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alasan Ricardo
Mata Ricardo tetap tertuju pada Adira yang sedang membungkus dirinya dengan pertahanan yang kuat. Seakan sedang menghadapi sesuatu yang rapuh, dengan hati-hati Ricardo mencoba menenang kan..
"Hei... "
Adira masih enggan menjawab. Untuk beberapa saat, ruangan itu pun hanya diisi dengan suara isak tangis nya, sementara Ricardo tetap sabar menunggu dan memandangi Adira dalam diam.
Setelah cukup lama, Adira yang sudah puas menangis pun menarik napas panjang dan menghapus jejak air mata dari wajah nya.
"Maaf," kata Adira sambil masih menunduk.
Tangan Ricardo kembali diangkat, dengan lembut jarinya menyelipkan rambut ke belakang telinga Adira, dia bisa melihat sekilas wajah Adira sekarang.
"Kau sudah tenang? " tanya Ricardo dengan nada yang lebih hangat lagi yang entah bagaimana bisa menenang kan hati Adira yang tadi kacau balau karena ketakutan.
" Sudah.." jawab Adira mengangguk,
" Selama disini, kau tak usah takut apapun.. "
kata Ricardo dengan tenang.
Adira masih menunduk, menyimak kata-kata ricardo.
"Selama disini? " batin Adira.
" Aku pasti akan melakukan apapun untuk melindungimu, " lanjut Ricardo, mata nya masih menatapi Adira yang terus tertunduk.
"Melindungi? " batin Adira bingung, tak mengerti.
Adira yang mengira bahwa hidup nya akan berakhir disini sama sekali tak mengerti maksud perkataan Ricardo, mengapa pria itu malah melindungi tawanan seperti nya? Tiba-tiba Adira mengingat ucapan pria yang dipanggil Javier tadi,
"Tadi juga maksudnya apa?Wanita nya? kenapa aku disebut wanita nya Ricardo?"
Adira pun semakin bingung, ia tak memiliki jawaban apapun di kepalanya.
Adira lantas memberanikan diri menatap wajah Ricardo, mata mereka saling bertemu, Adira merasakan ketenangan saat melihat bola mata biru Ricardo itu, begitu tenang, seperti laut biru yang dalam.
Ricardo pun memandangi Adira sejenak, Ia mendekat, tangannya sedikit bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi dia enggan, suaranya seperti tersendat di tenggorokan.
Dalam kehidupan sehari-hari nya, Ricardo memang selalu diam dan penuh kehati-hatian dalam berbicara. Ricardo tak terbisa untuk bicara panjang lebar atau mengeluarkan kata-kata yang mengumbar perhatian.
"Kau pasti lelah, "
Ricardo tiba-tiba memecah keheningan,nada suara nya berubah.
"Kau istirahat lah di kasur itu, Aku akan tidur dikursi." dengan suara yang berat dan dingin, ucapan nya itu terdengar seperti sebuah perintah.
Tanpa menunggu jawaban, Ricardo beranjak dan berjalan ke kursi kerjanya. Dalam diamnya, Ricardo menjaga jarak, memberikan ruang bagi Adira meski ruangan kecil itu seakan menuntut keintiman.
Adira pun berjalan ke kasur melaksanakan perintah Ricardo lalu membungkus dirinya dengan selimut dan mulai mencoba tidur dengan menutup matanya yang kini sembab karena banyak menangis.
Hening pun memenuhi ruangan, hanya ada suara detik jam dinding yang terdengar.
Ricardo yang sejak tadi memejamkan matanya berusaha untuk tidur. Namun, insomnia yang sudah lama di deritanya mengganggu membuat nya masih saja terjaga.
Dia membuka mata dan mengamati Adira yang kini terlelap, wajahnya terlihat damai meski masih menyimpan kelelahan.
Ricardo merasakan dorongan untuk mendekatinya. Pelan-pelan ia bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati Adira, dia pun melangkah tanpa suara, agar tak membangunkan Adira.
Ia duduk berjongkok di satu sisi kasur, memandangi wajah manis Adira yang tampak lelah. Mata Ricardo menyelidik, mencari sesuatu yang lebih dalam di balik keheningan wajah Adira.
Ternyata, wajah itu bukan wajah yang asing baginya. Pemilik wajah ini 'Adira' pernah ia temui lima tahun yang lalu di tempat yang berbeda, di sebuah malam yang penuh dengan darah dan rasa sakit.
Rasa dejavu itu semakin kuat saat ia mengamati tahi lalat di bawah mata kiri Adira, kenangan masa lalu pun muncul dalam pikirannya.
Flashback ON
(Lima Tahun Lalu)
Ricardo terhuyung di sudut jalan, tangannya terluka parah oleh sayatan benda tajam, darah mengalir tak henti dari lukanya yang menganga.
Pandangannya kabur, hampir hilang kesadaran, tetapi di antara kabut penglihatannya, Ricardo melihat seorang wanita berlari mendekatinya, wajah wanita itu terlihat panik namun penuh tekad.
"Ya ampun pak.. darah nya banyak sekali"
ucap wanita itu,
"Anda masih bisa bertahan kan pak? " lanjut wanita itu dan dengan cekatan merogoh ransel biru tua yang dibawanya, mengeluarkan perban dan obat luka.
Meski tangannya sedikit gemetar, ia membalut luka Ricardo dengan kencang, memastikan luka yang menganga itu tertutup rapat.
Ricardo, yang hampir pingsan karena kehilangan banyak darah, hanya mampu menatapi wanita itu dalam keheningan, memperhatikan setiap detail yang ada pada wajah nya, termasuk sebuah tahi lalat kecil di bawah mata nya.
Ya, wanita itu adalah Adira. Kala itu penampilannya terlihat sedikit berbeda dari dirinya yang sekarang, dengan rambut yang lebih pendek, hitam pekat, dan berponi.
Di tengah-tengah dirinya yang hampir tak sadarkan diri, Ricardo malah terpesona oleh pemandangan itu. Keteguhan dan kelembutan dalam diri Adira sungguh telah meruntuhkan tembok tinggi yang telah lama dibangun dalam hati Ricardo.
Flashback OFF
Ricardo merasakan jantungnya berdebar melihat Adira yang kini sedang terlelap. Dia sungguh tak menyangka wajah yang sejak lima tahun lalu hanya ada dalam ingatannya itu kini terpampang jelas di hadapannya. Membangkitkan kerinduan yang tak pernah ia sadari sebelumnya.
"Dulu.. dengan rambut pendek mu saja kau sudah sangat terlihat cantik, " gumam nya pelan.
"Sekarang.." ucap Ricardo sambil merapikan rambut yang menutupi wajah Adira,
"Dengan rambut panjang kau terlihat semakin cantik," Ricardo tersenyum memandangi wajah Adira.
Keesokan hari nya..
...07.15...
Suasana pagi di ruangan Ricardo terasa sunyi, hanya terdengar suara lembut dari sinar matahari yang mengintip melalui celah jendela, menerangi ruangan dengan lembut.
Udara yang masih segar, menyelip masuk melalui ventilasi di atas pintu, menghadirkan aroma baru di antara debu-debu.
Ricardo, duduk dengan tenang di atas kursi meja makan kayu yang sederhana namun terawat. Di meja itu, telah tersaji dua piring penuh dengan sarapan khas Meksiko. Huevos rancheros dengan salsa segar, kacang hitam yang harum, dan roti tortilla yang hangat.
Adira perlahan terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa sedikit berat,
"Ugghh.. "
Adira masih menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang masuk ke dalam ruangan. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyadari pemandangan di hadapannya.
"Haahh.. ternyata semalam itu bukan mimpi, sekarang ini aku benar-benar sedang jadi tawanan, " ucap Adira dalam hati saat melihat Ricardo yang sedang duduk diam dengan tatapannya kosong, tapi tangannya tampak menggenggam secangkir kopi.
Dengan langkah perlahan, Adira mendekati meja itu dan duduk di kursi yang menjadi satu-satunya yang tersisa berada tepat disamping Ricardo.
"Makanlah, " kata Ricardo begitu Adira duduk disampingnya,
"Terimakasih, tapi..aku sedang tak ingin makan, " Adira menjawab pelan.
Adira memang sedang tak selera makan. Meski kini berjejer makanan lezat di hadapannya. Tubuhnya terlalu letih, pikirannya sibuk memikirkan banyak hal.
" Kenapa? Kau tak suka makanan Meksiko?"
tanya Ricardo dengan tatapan yang dalam.
"Oh? Bukan, suka.. aku suka kok.. "
jawab Adira gugup, ini pertama kalinya dia berbicara lama dengan pria. Adira biasanya selalu menghindari percakapan dengan pria manapun.
" Jadi? " lanjut Ricardo bertanya, mencari tahu keinginan hati Adira.
Adira tak menjawab dia hanya diam, setelah akhirnya dengan keberanian yang entah dari mana, Adira berkata,
"Ricardo,"
(ehemmm/Shhh//Shy/)