Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alasan Ricardo
Ricardo menatap Adira yang duduk terdiam di kursinya, wajahnya tertutup oleh rambut panjang yang terurai, seakan ingin menghindar dari dunia.
Mata Ricardo terfokus pada setiap helai rambut yang jatuh, menutupi emosi yang mungkin tersimpan di balik wajah Adira.
Di dalam hatinya, ada dorongan yang tak terbendung untuk meraih wajahnya, untuk memberikan sentuhan yang bisa mengusir kesedihan yang tergambar jelas meski ia tidak sepenuhnya melihatnya.
Tangan besar Ricardo bergerak pelan, dengan hati-hati, seakan ia sedang menghadapi sesuatu yang rapuh.
Jarinya yang kokoh nyaris menyentuh helai rambut Adira, mencoba menyelipkan rambut itu ke belakang telinga, berharap bisa melihat sekilas wajah Adira.
Namun saat tangannya mendekat, tiba-tiba Adira merespons dengan cepat, mengangkat kedua lengannya dan menutupi wajahnya.
Perlahan, Ricardo menarik tangannya kembali, menyadari bahwa Adira masih berada dalam cangkangnya yang rapuh.
Dengan melihat reaksi defensif Adira, Ricardo merasakan hatinya bergetar. Dia tidak ingin menambah ketakutannya, tetapi juga ingin menunjukkan bahwa dia tidak bermaksud menyakiti.
Matanya tetap tertuju pada Adira yang semakin membungkus dirinya dengan pertahanan yang kuat.
Jarak di antara mereka terasa semakin besar, bukan secara fisik, tetapi secara emosional.
Dalam diam, Ricardo mengubah pendekatannya, mengingat bahwa kehadirannya seharusnya memberi rasa aman, bukan ketakutan. Dia tetap di tempatnya, membiarkan Adira memiliki ruang yang dia butuhkan, sambil berusaha mencari cara untuk menenangkan gadis yang terjebak dalam situasi yang tidak terduga ini.
Ricardo memandangi Adira sejenak, matanya yang tajam tak menunjukkan banyak emosi, Ia mendekat, tangannya sedikit bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi kata-kata tersendat di tenggorokannya.
Dalam kebiasaannya yang selalu diam dan penuh kehati-hatian, Ricardo tak terbiasa mengeluarkan kalimat panjang atau mengumbar perhatian.
"Kau istirahat lah di kasur. Aku akan tidur dikursi" ujarnya, singkat tapi penuh makna, menunjuk ke arah kasur di sudut ruangan. Suaranya rendah dan berat, seolah perintah tapi juga sekaligus perhatian yang tersembunyi.
Tanpa menunggu jawaban, Ricardo berbalik dan berjalan ke kursi kerjanya. Ia duduk, membiarkan tubuhnya jatuh ke dalam posisi yang mungkin tidak nyaman bagi kebanyakan orang, tapi baginya itu sudah biasa.
Dalam diamnya, Ricardo tetap menjaga jarak, memberikan ruang bagi Adira meski ruangan kecil itu seakan menuntut keintiman.
Hening memenuhi ruangan, hanya ada suara nafas yang terdengar samar-samar dari kedua sosok yang dipenuhi oleh luka dan masa lalu masing-masing.
Beberapa jam berlalu..
Ricardo yang memejamkan matanya berusaha tidur namun insomnia yang sudah lama mengganggu menghalanginya.
Dia membuka mata dan mengamati Adira yang kini terlelap, wajahnya terlihat damai meski masih menyimpan kelelahan.
Merasakan dorongan untuk mendekatinya, Ricardo bangkit pelan dan berjalan mendekati Adira, langkahnya begitu tenang meskipun ada kerinduan yang samar di wajahnya.
Ia duduk di samping Adira, memandangi wajah manisnya yang tampak lelah. Mata Ricardo menyelidik, mencari sesuatu yang lebih dalam di balik keheningan wajah Adira.
Wajah itu ternyata bukan wajah asing baginya. Ricardo menyadari, wanita ini 'Adira' pernah ia temui lima tahun lalu di tempat yang berbeda, di sebuah malam yang penuh dengan darah dan kebingungan di sebuah jalan di New York bernama Willis Avenue.
Rasa dejavu itu semakin kuat saat kenangan masa lalu muncul dalam pikirannya.
......................
Flashback (Lima Tahun Lalu)
Ricardo terhuyung di sudut jalan, tangannya terluka parah oleh sayatan benda tajam, darah mengalir tak henti dari lukanya.
Pandangannya kabur, hampir hilang kesadaran, tetapi di antara kabut penglihatannya, ia melihat seorang wanita berlari mendekat, wajahnya terlihat panik namun penuh tekad.
Wanita itu adalah Adira. Ia dengan cekatan merogoh ransel biru tua yang dibawanya, mengeluarkan perban dan obat luka.
Meski tangannya sedikit gemetar, Adira membalut luka Ricardo dengan kencang, memastikan sayatan itu tertutup rapat. Wajah Adira kala itu masih sama, meskipun rambutnya lebih pendek, hitam pekat, dan berponi, dengan tahi lalat di bawah mata kirinya yang khas. Saat itu, dia terpesona oleh keteguhan dan kelembutan dalam diri gadis itu.
Ricardo, yang hampir pingsan karena kehilangan banyak darah, hanya mampu menatap wajah itu dalam keheningan, memperhatikan setiap detail yang kini kembali tergambar jelas di hadapannya. Wajah yang dulu menyelamatkannya di ambang batas antara hidup dan mati kini kembali hadir, membangkitkan kerinduan yang tak pernah ia sadari sebelumnya.
Kembali ke kenyataan, Ricardo merasakan jantungnya berdebar melihat Adira yang sekarang terlelap. Kenangan itu mengingatkannya bahwa ada ikatan yang lebih dalam di antara mereka—sebuah pertemuan yang membekas di hatinya. Momen lima tahun lalu itu seakan menyatukan kembali dua jalan hidup yang terpisah, dan Ricardo bertekad untuk tidak membiarkan gadis itu pergi lagi.
gemezz/Angry/
update teruss..