Novel ini terinspirasi dari novel lain, namun di kemas dalam versi berbeda. Bocil di larang ikut nimbrung, bijaklah dalam memilih bacaan, dan semua percakapan di pilih untuk kata yang tidak baku
-Entah dorongan dari mana, Dinar berani menempelkan bibirnya pada mertuanya, Dinar mencoba mencium, berharap Mertuanya membalas. Namun, Mertuanya malah menarik diri.
"Kali ini aja, bantu Dinar, Pak."
"Tapi kamu tau kan apa konsekuensinya?"
"Ya, Saya tau." Sahutnya asal, otaknya tidak dapat berfikir jernih.
"Dan itu artinya kamu nggak boleh berenti lepas apa yang udah kamu mulai," kata Pak Arga dengan tegas.
Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon An, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Suasana rumah mendadak dingin. Arin tidak berbicara sama sekali dengan Pak Arga, perempuan itu memilih mengurung diri di kamarnya. Dinar merasa khawatir pada adik iparnya itu.
Dinar mengetuk pintu kamar Arin, berharap dia ke luar. Arin seharian mengurung diri di dalam kamar tanpa mengisi perut, membuat Dinar khawatir nanti dia bisa saja sakit.
Tok! Tok! Tok!
"Dek.., Mbak bawain makanan nih buat kamu, apa aku boleh masuk? Buka pintu kamar kamu ya?" Tidak ada jawaban, Dinar kembali mengetuk kamar.
Tok! Tok! Tok!
"Arin ini, Mbak. Tolong buka pintunya Rin. Dari pagi kamu belum ngisi perut. Nanti kalau dibiarin, kamu bakal sakit, Dek!"
Pak Arga yang baru saja lewat menatap datar ke arah Dinar, “Biarkan aja, mau sakit itu juga yang milih dia! Dia memang keras kepala. Kalau dia lapar pasti juga ke luar!"
Dinar menghela napas mendengarnya, "Pak, dari pagi Arin gak ngisi perutnya, dia gak bangkit-bangkit dari kamarnya. Seenggaknya Bapak bujuk lah Arin, supaya dia mau ke luar ngisi perut."
"Biarkan aja dia kelaparan! Itu juga pilihan dia sendiri yang mogok makan. Gak ada yang maksa dia buat mogok makan, sudah lah, lebih baik urusin kerjaan kamu." Pak Arga pergi dari sana meninggalkan Dinar yang masih mematung di depan kamar Arin.
"Anak sama Bapak sama-sama keras kepala," Gumam pelan.
Dinar meletakan makanan di meja samping kamar Arin. Dia memutuskan kembali ke kamar. Namun, saat dia hendak kembali ke kamar, ada panggilan masuk dari Vano.
Senyuman merekah di bibirnya. Ah! Tapi dia tidak sempat mengangkatnya, sedikit membuatnya sedih, Dinar putuskan menelfon kembali.
Tak berselang lama, panggilannya di angkat. "Halo?" Bukan suaminya, melainkan seorang wanita.
Dinar berdegup kencang mendengarnya. "Kenapa Mas Vano sama perempuan?" Fikirnya!
"Maaf, ini ponsel suami saya kan? Lalu, kamu siapa yang ngangkatnya?"
"Saya Latifa, Buk.., Pegawai yang kerja sama Pak Vano." Dinar mendengarnya mengeryitkan kening.
"Lancang banget kamu ngangkat telpon suami saya! Apa kamu gak tau sopan santun?!" Marahnya.
"Maaf, saya lancang ngangkat telpon dari Ibu. Tapi, saya dapat pesan dari Pak Vano kalau istri beliau nelpon, nanti ngasi tau sama pak Vano."
Mendengar wanita itu menjawab Dinar di landa perasaan sedikit lega. Tapi dia lihat jam di dinding sudah menunjukan lebih dari jam kerja, lalu untuk apa wanita itu masih bersama dengan suaminya?
"Kayaknya udah gak termasuk jam kerja. Lalu buat apa kamu masih sama suamiku?" Cecarku.
"Maaf Buk, memang Pak Vano sama pegawai lainnya yang bertugas udah selesaikan trip perjalanan seharian. Ini kami baru aja turun dari kapal. Jadi, saya selaku asisten Pak Vano pribadi yang bertanggung jawab semuanya untuk perintah Pak Vano, Buk. Beliau berpesan untuk njaga barang-barangnya, kalau beliau pergi sebentar."
"Ke mana suami saya?"
"Maaf, saya kurang tau, Buk."
"Yaudah, Latifa. Tolong kasi tahu suami saya, kalau saya mau dia hubungi saya lepas balik."
"Baik Buk."
"Oke, makasih."
Klik!
Dinar menutup telpon dan kembali bertanya-tanya, apa yang sedang di kerjakan suaminya? Kenapa dia menjadi sangat khawatir?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Latifa." Wanita itu menoleh, dan tersenyum ke arah pria yang berjalan ke arahnya. Dia adalah Vano, yang baru saja datang entah dari mana.
"Terimakasih. Udah nyimpan barang-barang saya." Katanya serius.
"Sama-sama Pak. Dan, saya minta maaf sebelumnya. Saya dengan lancang ngangkat ponsel Pak Vano, karna istri Bapak nelpon. Ibu bilang, kalau Pak Vano suruh hubungi balik lepas urusan Bapak selesai."
"Baik.., kamu bisa balik ke Hotel. Barang saya taruh aja ke meja." Latifa tersenyum tipis dan meletakan barang milik Vano. "Saya pamit, Pak."
"Hmm, ya."
...BERSAMBUNG, ...