Demi menghindari kejaran para musuhnya, Azkara nekat bersembunyi di sebuah rumah salah-satu warga. Tanpa terduga hal itu justru membuatnya berakhir sebagai pengantin setelah dituduh berzina dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Shanum Qoruta Ayun, gadis malang itu seketika dianggap hina lantaran seorang pemuda asing masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan bersimbah darah. Tidak peduli sekuat apapun Shanum membela diri, orang-orang di sana tidak ada satu pun yang mempercayainya.
Mungkinkah pernikahan itu berakhir Samawa sebagaimana doa Shanum yang melangit sejak lama? Atau justru menjadi malapetaka sebagaimana keyakinan Azkara yang sudah terlalu sering patah dan lelah dengan takdirnya?
•••••
"Pergilah, jangan buang-buang waktumu untuk laki-laki pendosa sepertiku, Shanum." - Azka Wilantara
___--
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 09 - Sangat Peka
Shock-nya Azkara bertahan cukup lama. Jujur saja dia penasaran, selama di kamar mandi yang ada di otaknya hanya Shanum. Kemana wanita itu membelinya? Apa dia tidak malu? Bagaimana pandangan penjual kepada Shanum dan masih banyak lagi.
Dia yang awalnya berniat mandi asal basah karena tidak suka air dan memar di tubuhnya, mendadak sangat lama karena sambil melamun. Bahkan, jika pintu tidak diketuk dari luar mungkin Azkara akan semakin lama lagi.
"Ck, ganggu saja," gumam Azka tak suka begitu tahu siapa orang yang mengetuk pintu kamar mandi dari luar.
Tidak lain dan tidak bukan, dia adalah Sabila. Dari suaranya Azkara sangat tahu, karena itu sejak dari dalam kamar mandi dia sudah memasang wajah datar mengikuti suasana hatinya.
"Oh, Kakak rupanya ... kupikir abi." Suara Sabila seketika melemah, dia juga sempat tersenyum sebelum kemudian menundukkan pandangan di depan Azkara.
Cara caper-nya terlalu receh, Azka tak tertarik untuk melihatnya lebih lama. Tanpa kata, pria itu berlalu meninggalkan Sabila yang mengepalkan tangan sembari memandangi pemilik tubuh atletis dengan handuk yang menutupi pinggang hingga bawah lutut.
Hingga Azkara benar-benar menghilang dari pandangan, Sabila terus saja menatapnya. Lehernya bahkan sampai sakit, dan itu disadari setelah cukup lama Azkara berlalu pergi.
Di sisi lain, Azkara yang merasa risih dan sangat terganggu akan kehadiran adik iparnya di depan pintu kamar mandi bergegas masuk ke kamar segera. Begitu tiba di sana, Azka sudah disambut oleh Shanum yang baru saja selesai menata barang belanjaannya.
Cukup banyak yang dia beli, bukan pakaian dalam saja, tapi juga ada kaos oblong, kemeja dan celana di sana. Kebetulan sekali, Azkara tidak meminta akan tetapi sang istri justru menyiapkan segalanya.
"Baru pulang?" tanya Azka basa-basi.
"Iya, yang punya toko baru buka jadi aku nunggu dulu," jelas Shanum seadanya dan hanya diangguki Azkara sebagai jawaban.
"Mas baru selesai mandi?" Shanum mendongak, sengaja menatap wajah Azkara demi menghindari roti sobek di hadapannya.
"Iya, mandinya pelan-pelan ... badanku sakit semua."
Azka bercerita tanpa diminta, entah hanya sekadar membangun suasana agar tidak kaku atau memang sudah bersedia memberitahukan apa yang tengah dia rasa, Shanum tidak tahu juga.
"Coba kulihat." Shanum mendekat, memerhatikan beberapa luka kecil dan memar di tubuh Azka. Baik di bagian depan maupun belakang dan hal itu baru dia lihat pagi ini.
Semalam hanya luka di kaki, di wajah memang ada tapi tidak begitu parah. Yang parah justru di bagian dada dan punggungnya, jika diperhatikan lebih teliti, Azkara persis korban penganiayaan.
"Kenapa bisa separah ini? Kamu diap_"
"Sssshhh ... jangan dipegang, sakit." Azka meringis begitu Shanum menyentuh pundaknya.
Tidak heran kenapa tadi malam sampai terduduk lemas dan memohon untuk diizinkan tetap di kamar ini dengan alasa takut mati, nyatanya memar yang Azkara alami tak main-main.
Kaos oblong dan jaket Azka semalam juga sudah Shanum lihat keadaannya. Dan, ya memang ada robekan di bagian punggung dan dadanya. Entah dikeroyok sebrutal apa sampai membekas begitu banyak.
"Kamu sering berantem sampai begini ya?" tanya Shanum penasaran.
Azka yang mendengar pertanyaan sang istri hanya tersenyum tipis. Sudah dia duga jika Shanum akan bertanya, tapi ternyata lebih cepat dari yang dia duga.
"Dulu iya, sekarang tidak lagi ... tapi semalam sial saja," jelas Azkara mengambil cerita singkatnya.
Dia tidak akan menceritakan secara jelas kronologinya. Bukan hal mudah bagi pria berusia 28 tahun itu untuk bercerita yang sekaligus membuka jati dirinya. Bukan tidak mau, akan tetapi terlalu cepat bagi Shanum untuk tahu.
"Sial?"
"Iya, kamu tahu hari sial tidak ada di kalender, 'kan?"
"Iya sih, memang ... tapi boleh aku tahu kenapa bisa dikejar-kejar seperti semalam?" Azkara sudah berusaha mengalihkan pembicaraan.
Akan tetapi, sang istri yang ternyata tetap memiliki rasa ingin tahu berani melontarkan bertanya lebih dalam. Sudah pasti Azka tidak bersedia menjawab pertanyaan sang istri, setelah gagal dengan cara halus, Azkara mengalihkan pembicaraan dengan topik yang berbeda.
"Nanti saja aku ceritakan ... ehm senjataku kamu simpan dimana?" tanya Azkara sukses membuat Shanum kembali bergidik dibuatnya.
"A-ada, Mas, di bawah ranjang," jawab Shanum gelagapan.
Beberapa saat Azkara pandangi, Shanum tidak lagi berani menatapnya. Perlahan, Azka meraih pergelangan tangannya dan detik itu juga Shanum merinding sebadan.
"Kamu kenapa? Takut?" tanya Azkara begitu lembut, seketika itu juga Shanum menggeleng dan menarik paksa tangannya.
"Aku tunggu di luar, Mas bisa pilih mau pakai baju yang mana ... aku tidak tahu sukanya apa, semoga ukurannya pas," pungkas Shanum berlalu pergi meninggalkan Azkara yang lagi-lagi tersenyum miring lantaran merasa terhibur dengan reaksi istrinya.
"Menggemaskan, penakut sekali ternyata."
.
.
Setelah berhasil membuat sang istri lagi-lagi ketakutan, Azkara keluar dengan penampilan yang tampak lebih segar sesuai umurnya. Semua yang Shanum beli pas dan nyaman di tubuhnya. Pilihan Azkara jatuh pada kemeja biru muda dan celana hitam yang membuat kharismanya semakin terpancar.
Lengan kemeja yang dilipat hingga siku dan memperlihatkan lengan kekar nan putihnya seketika membuat orang-orang yang melihatnya lupa bagaimana penampilan Azkara tadi malam, terutama istrinya.
"Sudah siap?" tanya Shanum kali ini tidak lagi terlihat takut, dia bahkan sempat mengulas senyum tatkala menyerahkan helm untuk Azkara.
"Kita pakai motor?" Kening Azkara berkerut, dia menatap sekeliling berharap ada mobil, tapi kendaraan lain yang tersisa hanya sepeda.
"Iya, kenapa, Mas?"
"Tidak apa-apa ... biar aku yang_"
"Eeh jangan, biar aku saja, badan kamu masih sakit semua nanti makin sakit," ucap Shanum masih begitu perhatian walau sempat Azka takut-takuti beberapa saat lalu.
"Yakin?"
"Yakin, sudah ayo buruan ... keburu ramai, hari ini banyak yang berobat biasanya," desak Shanum dan ternyata berhasil membuat Azkara ikut naik.
Akan tetapi, bukan berarti dia mengikuti perintah Shanum. Pria itu memang naik, tapi dia yang memegang stang motornya hingga posisi Shanum persis anak TK hendak diantar ayahnya.
Kebetulan ukuran tubuh mereka lumayan jauh hingga Azka masih mampu mengemudikan motornya dengan leluasa sekalipun Shanum duduk di depan.
"Mas, kok posisinya gini?" tanya Shanum berdegub tak karu-karuan karena punggungnya tak lagi berjarak dengan dada Azka.
"Mau duduk di depan atau belakang?" tanya Azka memberikan dua pilihan, jarak mereka begitu dekat sampai Shanum bisa mendengar walau mengenakan penutup kepala.
"Belakang saj_"
"Telat, dari tadi harusnya," ucap Azka memotong ucapan Shanum dan mulai melajukan kuda besi dengan kecepatan sedang.
"Heh? Mas, serius ... masa beg_"
"Aawwh, Shanum diam!! Jangan banyak gerak." Azkara gelagapan tatkala Shanum menggerakkan tubuhnya. "Nanti kita jatuh," lanjutnya kemudian demi menyembunyikan fakta bahwa tubuhnya sangat peka terhadap rangsang.
.
.
- To Be Continued -
...Azkara : Berbukalah dengan yang manis, selamat berbuka puasa para penduduk bumi❣️...
kanebo kering manaaaa
gak boleh num-num