Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
First Love
Anan ajak gue buat kencan pertama, dan sumpah, gue enggak punya apa-apa buat dipakai. Ini bukan tentang cewek galau yang punya segudang baju tapi tetap bilang kalau enggak ada baju yang cocok.
Gue benaran enggak punya apa-apa, semua masih dijemur karena nyokap mencuci semua baju yang gue punya. Yang tersisa cuma baju-baju yang sudah lama enggak dipakai dan jelas gue enggak pakai karena punya alasan, entah kekecilan atau sudah uzur alias sobek, atau bolong karena kebanyakan dicuci.
Kenapa juga Anan harus ajak gue jalan pas banget di hari ini?
Gue masih ingat suara lembut dia waktu di telepon, minta gue buat kabur. Mana mungkin gue tolak. Jelas gue enggak berpikir panjang waktu bilang "iya." Sekarang satu-satunya orang yang bisa menolong gue cuma Niria.
Gue telepon Niria, dan dia baru angkat di nada ketiga.
...📞...
^^^“Princes Queen of Tears, ada yang bisa gue bantu?”^^^
“Berhenti, deh, Niria? Gue udah bilang itu enggak lucu.”
Dia ketawa kecil, jelas puas.
^^^“Lucu kok buat gue. Ada apa, nyonya Hae-In?”^^^
“Gue butuh bantuan lo buat jemput gue.”
^^^ “Bukannya lo lagi dihukum?”^^^
“Iya. Tapi gue mau kabur.”
^^^“APA?!”^^^
Respons Niria lebay.
^^^ “Welcome to the dark side, sis.”^^^
Gue tarik napas panjang.
“Lo gila. Jemput gue, tapi tunggu di ujung jalan rumah gue, oke?”
^^^“Oke, tapi lo belum cerita kenapa kabur. Mau party, ya? Sama siapa?”^^^
“Nanti gue jelasin. Lo bakal datang, kan?”
^^^“Ya, gue sampai sana sepuluh menit lagi.”^^^
“Makasih, lo emang yang terbaik.”
^^^“Ceritain apa yang gue belum tahu. Sampai ketemu!”^^^
Gue tutup telepon, terus cepat-cepat menyusun bantal di bawah selimut supaya kelihatan kalau ada orang tidur di kasur. Walaupun gue tahu nyokap enggak mungkin mengecek, soalnya dia enggak pernah berpikir kalau gue bakal nekat kabur. Jujur saja, bahkan gue sendiri baru sadar kalau gue ternyata berani berbuat seperti ini.
Gue keluar kamar pelan-pelan. Lampu rumah mati semua, jadi gue mengintip dulu ke kamar nyokap.
Sumpah, gue enggak pernah segembira ini dengar suara dengkurannya.
Nyokap gue lagi tidur nyenyak. Wajar sih, dia habis kerja malam dan kemungkinan baru bisa tidur sekarang. Sempat ada rasa bersalah yang bikin gue ragu sebentar, tapi begitu sepasang mata biru tiba-tiba muncul di kepala gue, itu bikin gue tambah yakin buat keluar rumah.
Begitu berhasil kabur, angin langsung menyerang. Gue lupa kalau musim kemarau sudah lama berlalu. Enggak pakai jaket, gue cuma bisa memeluk badan sendiri sambil gesek-gesek lengan waktu jalan.
Jalanan terang benderang, dan ada beberapa orang yang lagi nongkrong depan rumah mereka. Gue menyapa mereka sekilas terus lanjut jalan.
Enam menit berlalu. Rumah Niria enggak jauh, tapi gue tahu ada beberapa lampu merah yang kadang suka bikin macet di jam segini.
Gue kedinginan, parah.
Lihat, kan Pangeran?
Gue sampai rela begini buat lo.
Akhirnya gue lihat mobil Niria, rasanya lega. Gue langsung menyelonong masuk ke mobil, dan Niria ngebut ke rumahnya.
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Setelah dua puluh setelan baju dicoba, gue dibilang plin-plan.
Niria kasih gue segudang pilihan baju, semuanya cantik-cantik. Tapi kecemasan gue bikin semuanya kelihatan enggak cukup sempurna. Gue cuma mau kelihatan sempurna buat dia, tapi rasanya enggak ada yang pas. Karena gue harus tampil cantik kali ini.
Sumpah, gue enggak pernah menyiapkan outfit khusus buat ketemu siapa pun. Ini pertama kalinya buat gue.
Anan.
Lagi-lagi dia mengambil semua First-Time gue.
Bagaimana gue bisa lupa, kalau begini caranya?
"Gue pilih rok, blouse, sama boots," kata Niria sambil kunyah keripik dengan mulut terbuka.
"Kelaaas," balas gue sarkas.
"Serius, itu cocok banget buat lo, dan cocok juga buat acara apa pun. Kita kan enggak tahu lo bakal dibawa ke mana."
Dia benar juga.
Gue penasaran, apa kita bakal ke barnya Antari, atau malah ke tempat lain yang lebih seru?
Setelah selesai ganti baju, gue menyisir rambut, belah dua di depan wajah. Dari cermin, gue lihat Niria bangun dan jalan ke arah gue.
Dia tunjuk gue pakai jari yang sudah merah gara-gara bumbu keripik. "Gue harus ngomong sesuatu," ujarnya serius.
Gue langsung balik badan, sedikit gugup. "Apaan?"
"Gue seneng , akhirnya si bego ngakuin perasaannya ke lo. Tapi..." Dia gigit bibir bawahnya, "ingat ya, dia udah sering bikin lo sakit. Gue enggak bilang lo harus dendam atau apa, tapi kasih dia peringatan. Selama ini lo selalu kasih hati lo ke dia secara gratisan. Dan dia enggak pernah benaran ngehargain itu. Kata-kata manis doang, tuh enggak cukup, beb. Lo, tuh berharga, biarin dia sadar itu dan perjuangin lo."
Kata-katanya menusuk. Dada gue sedikit sakit mendengar itu, tapi Niria langsung sadar akan perubahan muka gue dan malah senyum. "Gue enggak mau ngehancurin momen spesial lo, ya. Cuma, ini tanggung jawab gue sebagai sahabat buat ngomong yang sebenarnya, meski enggak enak. Lo pantas buat dapat dunianya, Zielle, gue tahu itu. Dan cowok itu juga harus tahu."
Gue balas senyum dia, merasa terharu. "Makasih." Gue pegang tangannya. "Kadang gue suka kebawa perasaan, terus lupa sama semua hal yang udah gue lalui sama dia."
Dia balas genggam tangan gue. "Gue sayang lo, dasar tolol."
Gue ketawa dan senyum makin lebar. "Gue juga sayang lo, Nyet."
Tiba-tiba HP gue bunyi. Gue dan Niria langsung saling tukar pandang.
...📞...
...Panggilan Masuk: ...
...Anan...
Gue berdehem, berusaha menenangkan diri.
^^^ "Halo?"^^^
"Gue udah di luar."
Tiga kata itu saja cukup buat bikin jantung gue lari maraton.
^^^ "Oke, gue keluar sekarang."^^^
Gue tutup telepon dan teriak karena terlalu senang.
Niria langsung pegang bahu gue. "Santai, dong!"
Gue pamit dan mulai jalan ke pintu, tapi jantung gue mau loncat keluar.
Kenapa, sih gue nerveous?
Oke, tenang, Zielle.
Lo enggak punya alasan buat gugup. Ini cuma Anan. Lo sering ketemu dia. Bahkan lo pernah lihat dia tanpa baju. Hebat, sekarang gue malah membayangkan dia tanpa baju.
Begitu gue keluar ke jalan, gue lihat mobil Jeep hitamnya parkir tepat di depan rumah. Kacanya gelap, jadi gue enggak bisa mengintip ke dalam. Gue fokus buat jalan lurus, tapi entah kenapa itu jadi susah banget.
Sialan, ini gara-gara gugup.
Pas dekat mobil, gue bingung harus buka pintu depan atau belakang. Karena tadi dia bilang datang bareng Tom.
Tom duduk di kursi depan enggak, ya?
Gue berdiri di situ kayak orang bego, bingung. Kayaknya Anan sadar sama kebodohan gue, karena dia menurunkan kaca jendela.
Dia tanya, "Lo ngapain?"
Enggak ada siapa-siapa di kursi depan.
Gue buru-buru buka pintu depan dan naik. "Oh, gue cuma..." Gue tengok ke belakang dan lihat Tom lagi asyik sama HP-nya. "Hai, Tom "
Dia angkat kepala, senyum ramah ke gue. Gue duduk tegak lagi dan enggak tahan buat lihat ke arah Anan. Dan, ya, dia lagi memperhatikan gue dari atas sampai bawah.
Matanya berhenti di muka gue, dan bibirnya yang tebal itu melengkung jadi senyum miring yang mematikan. "Kok, gue enggak disapa juga?"
Gue gigit bibir sambil mencoba enggak kelepek-kelepek. Dia kelihatan luar biasa ganteng pakai kemeja putih itu.
"Hai," jawab gue akhirnya, suara gue nyaris berbisik.
Dia mengangkat alis, ekspresinya setengah menggoda. "Cuma gitu?"
Jantung gue berdetak gila-gilaan, sampai mau naik ke tenggorokan. "Terus harus gimana lagi?"
Dalam gerakan cepat, Anan melepas sabuk pengamannya, menarik leher gue, dan menempelkan bibirnya ke bibir gue. Bibirnya bergerak pelan, gue kehilangan arah dan hampir saja mengeluarkan suara kecil waktu bibir itu menjepit dan menggigit pelan.
Tiba-tiba Tom berdehem keras. "Gue masih di sini, loh!"
Anan mundur perlahan, tapi sebelum sepenuhnya lepas, dia mencuri satu ciuman lagi, sambil senyum di atas bibir gue. "Hai, penyihir."
Dia balik ke tempatnya, pasang sabuk pengaman lagi, dan langsung tarik gas. Sementara itu, gue cuma bisa duduk di situ, diam kayak patung dengan kaki gue yang berubah jadi jelly.
Astaga, cowok ini bisa bikin gue meleleh cuma dengan satu ciuman.
Anan putar musik dan Tom condong ke depan, menyelip di antara kursi kami. "Anggi bilang dia udah siap."
Begitu nama itu disebut, mual langsung muncul di perut. Gue otomatis tegang. Anan belok setir, masuk ke jalan lain. "Kita jemput dia, ya, si Dino?"
Tom mengecek HP-nya. "Dia udah pergi sama Samir."
"Cewek-cewek gimana?"
"Ikut sama mereka."
Pandangan gue langsung pindah ke Anan.
Cewek-cewek?
Selain Anggi, ada siapa lagi?
"Oke, berarti tinggal jemput si Anggi aja."
Anan berhenti di depan rumah dua lantai yang terlihat seperti villa mewah. Halaman depannya cantik banget. Di situ Anggi sudah menunggu, di samping kotak surat, pakai setelan pendek yang ketat di tubuhnya, ditambah jaket. Kaki panjangnya kelihatan mulus.
Dia enggak kedinginan apa?
Anggi senyum ke Anan, dan jelas banget dari matanya kalau dia kagum setengah mati.
Gue jadi penasaran, apa muka gue juga kayak begitu tiap kali melihat Anan?
Dia naik ke kursi belakang, tapi senyumnya langsung berubah kaku setelah melihat gue. "Oh, hai, Zielle."
Gue balas senyum, mencoba baik-baik saja. "Hai."
"Lo, gak kedinginan?" tanya Tom, terlihat khawatir. Anehnya, tiap kali Anggi muncul, raut muka yang biasanya kaku itu langsung luluh.
"Enggak, santai aja."
Anan melirik Anggi lewat spion sambil senyum. Rasanya perut gue kayak digigit sesuatu.
Cemburu itu enggak enak.
Gue enggak pernah merasakan ini sebelumnya, sampai akhirnya ketemu Anan. Apalagi mereka pernah tidur bareng.
Ya ampun, mereka pernah lihat satu sama lain telanj4ng. Itu terlalu intim buat yang namanya teman. Ditambah lagi, Anggi jelas-jelas suka sama dia.
Gue enggak tahu, sih. Ini gue yang lebay apa bagaimana, tapi gue benar-benar mencoba tetap santai dan enggak menunjukkan apa-apa.
Tom mencuat lagi, memotong lamunan gue. "Semuanya udah di sana, mereka mau pesen minum. Lo mau minum apa?"
Anan geleng-geleng. "Gue gak minum, gue nyetir."
Gue sedikit kaget mendengarnya, nada dia serius, tapi gue suka jawaban itu.
Tom langsung mengejek. "Yah, lo. Mending tadi kita naik taksi aja biar lo bisa minum."
Anan mengurangi kecepatan, kita lagi lewat jalan yang macet banget malam ini. "Gue gak suka taksi."
Gue angkat alis.
Oh, orang kaya enggak doyan naik taksi, rupanya.
Tiba-tiba, Tom tanya, "Lo sendiri gimana, Zielle? Mau minum apa?"
Mata gue langsung melirik ke Anan, yang masih fokus menyetir. Tapi gue bisa merasakan tatapan Anggi ke arah gue. "Ehm, gue...," gumam gue sambil mengakap tangan gue di pangkuan "Vodka?"
"Kok, lo kayak gak yakin, gitu," kata Tom sambil ketawa. "Oke, vodka ya. Kayaknya mereka udah pesen whisky sama wine. Gue bakal bilang buat nambah satu botol."
Botol?
Maksudnya, satu botol vodka?
Gue cuma bisa berharap itu buat beramai-ramai, bukan cuma buat gue sendiri. Kalau enggak, fix, malam ini bakal kacau banget. Tapi enggak, gue enggak boleh bikin hal-hal bodoh yang bikin gue malu malam ini. Gue harus melakukan hal yang benar.
Pas sampai di lokasinya, gue langsung sadar. Ini sepertinya Bar yang baru resmi dibuka. Tapi menurut gue enggak bakal bisa mengalahkan Insomnia, Barnya Antari, soalnya lokasinya jauh banget dari pusat kota. Sedangkan Insomnia ada di lokasi yang strategis banget.
Kita masuk, dan gue sedikit heran pas lihat si satpam enggak minta KTP buat cek umur.
Hal pertama yang bikin gue terkejut adalah lampu-lampu warna-warni yang menghiasi seluruh tempat. Efeknya keren banget. Pas lewat dekat bar, gue lihat para bartender lagi pamer skill, lempar-lempar botol sama gelas.
Gila, ini seru banget, semua orang lagi having fun.
Kita naik tangga yang dihiasi lampu-lampu kecil warna-warni, dan di atas sana ada geng teman-temannya Anan.
Gue rasa malam ini bakal seru.