800 setelah perang nuklir dahsyat yang melibatkan Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, dunia telah berubah menjadi bayangan suram dari masa lalunya. Peradaban runtuh, teknologi menjadi mitos yang terlupakan, dan umat manusia kembali ke era primitif di mana kekerasan dan kelangkaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di tengah reruntuhan ini, legenda tentang The Mockingbird menyebar seperti bisikan di antara para penyintas. Simbol harapan ini diyakini menyimpan rahasia untuk membangun kembali dunia, namun tak seorang pun tahu apakah legenda itu nyata. Athena, seorang wanita muda yang keras hati dan yatim piatu, menemukan dirinya berada di tengah takdir besar ini. Membawa warisan rahasia dari dunia lama yang tersimpan dalam dirinya, Athena memulai perjalanan berbahaya untuk mengungkap kebenaran di balik simbol legendaris itu.
Dalam perjalanan ini, Athena bergabung dengan kelompok pejuang yang memiliki latar belakang & keyakinan berbeda, menghadapi ancaman mematikan dari sisa-s
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Taktik Terakhir
Hujan deras turun mengguyur medan yang suram dan penuh kehancuran. Pasukan revolusi yang dipimpin Athena sedang bersembunyi di balik reruntuhan sebuah kota yang hancur, di tepi sebuah desa yang dulunya makmur, kini hanya tinggal bayangan masa lalu. Mereka yang tersisa—sekelompok pejuang tangguh—beristirahat sejenak, menenangkan diri dari kelelahan dan luka-luka yang mereka alami. Tetapi bahkan dalam kelelahan itu, semangat mereka tetap hidup, karena mereka tahu apa yang dipertaruhkan.
Athena berdiri di tepi reruntuhan, menatap horizon yang gelap. Matanya yang tajam menyiratkan tekad yang kuat, meskipun di dalam hatinya, ia merasa berat dengan beban yang harus dipikulnya. Musuh mereka semakin mendekat. Pasukan Atlantis, yang dipimpin oleh Jenderal Theron, tidak akan memberi mereka waktu lebih lama. Di balik kegelapan malam ini, pasukan revolusi harus menemukan cara untuk bertahan dan membangun aliansi yang dapat membalikkan keadaan.
"Saatnya tiba," kata Athena, berbicara pelan namun penuh keyakinan kepada Kael yang berdiri di sebelahnya. "Ini adalah kesempatan kita untuk merebut kembali apa yang telah dirampas dari kita."
Kael menatapnya dengan rasa hormat, namun juga keprihatinan. "Kita sudah kehabisan waktu, Athena. Pasukan kita semakin berkurang, dan musuh kita semakin kuat. Aku tak tahu berapa lama lagi kita bisa bertahan."
"Percayalah," jawab Athena dengan penuh keyakinan. "Kita punya satu hal yang tak dimiliki mereka: hati kita. Kita berjuang untuk kebebasan. Mereka hanya berjuang untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Jika kita bisa membangkitkan hati mereka yang terlelap, maka kita bisa melawan mereka."
Kael mengangguk, meskipun keraguan masih menghantui pikirannya. Mereka tidak punya banyak waktu, dan musuh sudah hampir berada di depan pintu mereka.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari belakang mereka. Seseorang mendekat dengan cepat, dan di hadapan mereka berdiri Elora, wajahnya lelah tetapi penuh tekad.
"Athena," katanya dengan suara yang serak, "aku baru saja mendengar kabar. Ada kelompok yang bertahan di Timur. Mereka... mereka bisa membantu kita."
Athena menatap Elora dengan penuh perhatian. "Kelompok apa itu? Apakah mereka setia dengan cita-cita kita?"
"Ya," jawab Elora. "Mereka dipimpin oleh seorang wanita bernama Kaida. Dia adalah pemimpin yang sama seperti kamu. Dia juga berjuang untuk kebebasan dan kehormatan rakyat, bukan hanya untuk kekuasaan."
Athena menatap Elora dengan rasa haru. Meskipun dunia ini telah hancur, masih ada orang-orang yang berjuang untuk tujuan yang sama. Masih ada secercah harapan di tengah kegelapan ini.
"Baiklah," kata Athena, menarik napas dalam-dalam. "Kita akan pergi ke Timur. Kita akan menemui Kaida dan kelompoknya. Mereka adalah harapan kita."
Kael mengangguk setuju, meskipun ia tahu bahwa perjalanan ini penuh bahaya. Mereka harus melewati medan perang yang semakin dekat, dan musuh mereka tidak akan tinggal diam.
---
Beberapa hari kemudian, pasukan revolusi yang tersisa bergerak menuju Timur. Perjalanan mereka sulit dan penuh rintangan, tetapi semangat mereka semakin berkobar. Mereka harus bertemu dengan Kaida, dan jika mereka berhasil, itu bisa menjadi titik balik yang mereka butuhkan untuk mengalahkan pasukan Atlantis.
Namun, mereka tidak tahu bahwa pasukan Atlantis sudah mengintai mereka. Jenderal Theron tidak akan membiarkan Athena dan pasukannya melarikan diri begitu saja. Theron, yang cerdik dan penuh strategi, tahu betul bahwa revolusi ini adalah ancaman yang serius bagi kekuasaan Atlantis. Dengan pasukan yang lebih besar dan lebih kuat, ia berencana untuk menghancurkan Athena dan pasukannya sekali dan untuk selamanya.
Di tengah perjalanan, pasukan revolusi yang sedang beristirahat tiba-tiba diserang. Ledakan-ledakan mengguncang tanah, dan pasukan Atlantis muncul dari kegelapan. Athena dan pasukannya segera siap melawan, meskipun mereka tahu bahwa jumlah mereka jauh lebih sedikit dibandingkan pasukan Atlantis yang datang dengan kekuatan penuh.
"Ini bukan sekadar serangan biasa," kata Kael, menatap pasukan yang mulai berkumpul. "Mereka datang dengan kekuatan terbesar mereka."
Athena menggenggam pedangnya erat, matanya berkilat tajam. "Kita tidak bisa mundur. Ini adalah perjuangan terakhir kita."
Pertempuran itu berlangsung dengan sangat sengit. Pasukan revolusi yang sebelumnya sudah kelelahan kini terpaksa bertarung habis-habisan. Mereka berjuang untuk hidup mereka, berjuang untuk kebebasan yang mereka impikan selama ini. Tetapi, di tengah kekacauan itu, Athena merasakan sebuah kehadiran yang mengancam dari belakang.
Jenderal Theron, dengan pasukannya yang lebih besar dan lebih terlatih, langsung menerjang ke arah Athena. Ia tahu bahwa jika ia bisa menghancurkan Athena, maka pasukan revolusi akan hancur bersamanya.
Athena berlari ke depan, memimpin pasukannya dengan keberanian yang tak tergoyahkan. Pedangnya berkilat di bawah cahaya yang memudar, menyambar setiap musuh yang datang. Namun, meskipun mereka berjuang sekuat tenaga, pasukan revolusi semakin terdesak.
"Kael, bawa mereka mundur!" teriak Athena, seraya melawan pasukan yang semakin banyak. "Bawa mereka ke tempat yang aman, aku akan menghalangi mereka."
Kael menatap Athena dengan tatapan penuh keprihatinan. "Tidak, Athena! Kami tidak bisa meninggalkanmu!"
"Aku akan baik-baik saja," jawab Athena, meskipun ia tahu itu tidak benar. "Kamu harus membawa mereka pergi. Ini adalah pertempuran terakhir kita."
Kael, dengan hati yang berat, akhirnya mengangguk dan memerintahkan sisa pasukan revolusi untuk mundur. Mereka harus melarikan diri, dan mereka harus menemukan Kaida. Itu satu-satunya harapan mereka.
Athena bertahan di medan pertempuran, menghadapi Jenderal Theron dan pasukannya dengan segala yang ia miliki. Pedangnya menyambar, menghancurkan musuh demi musuh, namun ia tahu bahwa mereka tidak bisa menang sendirian. Pasukan Atlantis jauh lebih kuat, dan Athena terjebak dalam pertempuran yang seolah tak ada ujungnya.
Saat pertempuran semakin memanas, Athena terjatuh, tubuhnya terluka parah. Namun, meskipun tubuhnya kelelahan dan terluka, ia tidak pernah menyerah. Ia tahu bahwa perjuangan ini lebih besar dari dirinya, dan meskipun dunia ini tampak gelap, ia akan terus berjuang untuk kebebasan hingga akhir.
Di tengah kekacauan, suara pasukan yang mundur semakin jauh terdengar, meninggalkan Athena sendirian dalam pertarungan yang penuh darah dan air mata. Namun, di dalam hatinya, Athena tetap percaya bahwa meskipun ia mungkin tidak akan selamat, pertempuran ini akan terus berlanjut.