Naya yang tak pernah mendapatkan kasih sayang dari keluarganya harus mengalami malam kelam bersama dokter Mahesa, dokter bedah syaraf sekaligus direktur rumah sakit tempatnya bekerja sebagai seorang perawat.
Naya yang sadar akan dirinya yang hanya orang dari kelas bawah selalu berusaha menolak ajakan dokter Hesa untuk menikah.
Namun apa jadinya jika benih dari dokter tampan itu tumbuh di rahimnya, apakah Naya akan tetap menolak?
Tapi kalau mereka menikah, Naya takut jika pernikahan hanya akan membawa derita karena pernikahan mereka tanpa di landasi dengan cinta.
Namun bagaimana jadinya jika dokter yang terlihat dingin di luar sana justru selalu memperlakukan Naya dengan manis setelah pernikahan mereka?
Apakah Naya akhirnya akan jatuh cinta pada suaminya itu?
Follow ig otor @ekaadhamasanti_santi.santi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi.santi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima ratus ribu
"Kalian sudah pulang? Gisel mana?" Sambut Ina.
"Gisel masih nanti pulangnya Ma, katanya mau pulang sendiri" Sahut Hesa menyalami Mamanya begitu pun dengan Naya.
"Tapi kamu baik-baik aja hari ini kan Nay? Kalau nggak kuat jangan di paksa loh!"
"Naya nggak papa kok Ma. Malah mulanya berkurang kalau buat kerja"
"Syukurlah kalau begitu. Sekarang kalian istirahat aja. Nanti turun kalau makan malam ya?" Ina mengusap lengan Naya dengan lembut. Hanya dengan sentuhan itu, Naya bisa merasakan betapa tulusnya Mama mertuanya itu menyayanginya.
"Iya Ma, Kakak sama Naya ke kamar dulu"
"Iya"
Naya pun mengikuti Hesa ke kamar. Dia juga ingin segera istirahat. Karena kehamilannya itu, tubuh Naya mudah terasa lelah dan mengantuk.
Bukannya membersihkan badannya lebih dulu, Hesa justru mengikuti Naya untuk duduk di sofa. Mereka hanya duduk bersebelahan dengan jarak yang tak begitu jauh.
Tapi mereka berdua hanya diam. Hesa juga malah menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata. Pria itu terlihat lelah di mata Naya saat ini.
"Apa Mas Hesa kelelahan karena tadi malam harus tidur di sofa?"
"Mas?" Panggil Naya dengan pelan.
"Hmm?" Hesa membuka matanya.
"Kalau Mas capek, istirahat di tempat tidur aja. Naya nggak papa kok. Mas pasti badannya sakit semua kalau tidur di sofa"
"Emang boleh kalau Mas tidur di sana sama kamu?" Hesa masih menyandarkan kepalanya sambil menatap Naya.
"B-boleh kok Mas"
"Jadi mulai hari ini Mas boleh tidur sama istri Mas?" Hesa menyunggingkan senyum tipisnya.
"I-iya Mas. Nggak papa kok" Naya tidak mau menjadi istri durhaka karena memilih tidur sendiri sedangkan suaminya tidur di sofa.
Meski masih ada rasa takut di dalam diri Naya tentang kejadian malam itu, namun Naya berusaha untuk menekannya. Dia sekarang sudah menjadi istri Hesa, mereka sudah sah secara hukum dan agama. Jadi Naya tidak bisa selamanya menghindar dari Hesa.
"Meski Mas boleh tidur satu ranjang sama kamu, Mas nggak akan memaksa kamu untuk melakukan kewajiban kamu sebagai istri. Mas akan menunggu sampai kamu siap"
Wajah Naya langsung memerah. Dia tau apa yang dimaksud dengan kewajiban itu.
"Iya Mas terimakasih karena sudah mengerti Naya"
"Sama-sama, tapi sebenarnya sekarang Mas bukan capek karena tidur di sofa semalam. Tapi Mas memikirkan orang yang memberikan Mas obat malam itu. Kenapa sudah jalan hampir dua bulan tapi Mas belum juga menemukan siapa orangnya"
Hesa tampak menghela nafasnya dengan panjang. Dia benar-benar lelah karena pencariannya tidak kunjung menemukan titik terang.
Dia memang memiliki rumah sakit dan sebuah hotel milik keluarganya. Tapi dia tidak bisa di bilang kaya raya seperti CEO dalam novel yang bisa melakukan apa saja.
"Kalau memang orangnya belum ketemu, biarkan aja Mas, semuanya juga sudah terjadi. Yang penting orang itu udah nggak ganggu Mas lagi"
"Biarkan aja? Semudah itu Naya? Dia yang membuat Mas beringas malam itu loh Nay. Gara-gara dia Mas jadi menghancurkan kamu dan masa depan mu. Meski sampai sekarang belum ketemu, Mas akan tetap mencari pelakunya!!"
Hesa sampai duduk dengan tegak karena tak habis pikir dengan pendapat Naya. Di sini Naya adalah orang yang paling di rugikan, tapi Naya juga orang yang mudah memaafkan orang itu.
"Terus mau gimana lagi Mas kalau nggak ketemu?"
"Setidaknya Mas masih terus berusaha untuk mencari orang itu. Meski Mas nggak bisa menuntutnya karena tidak ada bukti akurat, minimal Mas tau siapa orangnya dan apa motifnya!!" Geram Hesa. Menurutnya istrinya itu sangatlah polos.
"Maaf Mas, Naya nggak sampai ke sana mikirnya. Dari dulu Naya hanya berpikir, segala sesuatu yang menimpa Naya itu adalah takdir. Walau Naya kecewa, marah ataupun sedih, Naya nggak bisa merubah apapun karena keterbatasan Naya. Seperti halnya yang terjadi sama kita. Sejak awal Naya tau kalau Mas merenggut kesucian Naya karena pengaruh obat, Naya nggak pernah menyalahkan Mas karena Naya menganggap semua itu memang sudah takdir Naya" Naya menunduk memainkan jarinya.
Karena selalu hidup di bawah garis kemiskinan sejak kecil, Naya selalu menganggap apa yang terjadi di dalam hidupnya adalah ujian.
Hanya itu yang bisa menguatkan Naya sampai sekarang. Karen orang seperti Naya itu bisa apalagi selain menerima kenyataan.
"Jadi Naya nggak pernah berpikir ke situ. Boro-boro menemukan orangnya, saat ini Naya mengandung dengan status yang sudah resmi dengan Mas Hesa saja Naya sudah bersyukur"
Hesa tersentil dengan ucapan Naya. Dia bisa membayangkan kehidupan Naya yang dari dulu hanya dijalani dengan pasrah dan pasrah.
"Sudah, tidak usah bahas lagi masalah itu. Tapi Mas lupa mau kasih sesuatu ke kamu"
Hesa segera mengambil dompetnya yang ia simpan dalam saku jasnya. Naya hanya menatap Hesa tanpa tau apa yang akan diberikan pria itu kepadanya.
"Pakailah kartu debit ini buat kebutuhan kamu" Hesa meraih tangan Naya dan memberikan sebuah kartu debit kepadanya.
"Setiap bulannya Mas akan kirimkan nafkah yang Mas berikan ke rekening itu. Kamu bebas memakainya untuk apapun. Kamu juga nggak usah memikirkan urusan rumah ini karena Mama sudah mengurus semuanya. Kamu cuma boleh menggunakan uang itu untuk keperluan kamu saja"
"Tapi Mas, uang mas kawin yang Mas berikan saja belum Naya pakai sama sekali. Naya rasa Naya nggak perlu kartu ini"
"Mas kawin itu beda sama nafkah Naya. Mas kawin itu sepenuhnya sudah menjadi milik kamu, hak kamu. Mau buat apa saja itu terserah kamu asal dalam hal yang baik. Tapi kalau ini adalah kewajiban Mas yang harus Mas berikan untuk istri. Mas akan berdosa kalau Mas tidak memenuhi kewajiban itu"
Naya menggenggam benda tipis berbentuk persegi panjang itu.
"Makasih banyak Mas"
"Tapi maaf kalau misalnya nafkah yang Mas berikan jauh dari harapan kamu. Tapi semoga saja masih bisa memenuhi kebutuhan kamu"
"Berapapun yang Mas berikan, Naya menerimanya dengan ikhlas" Walaupun Naya tak tau berapa jumlah uang yang ada di dalam kartu itu, tapi Naya tetap mensyukurinya.
"Beneran? Kalau Mas cuma kasih uang lima ratus ribu sebulan gimana?" Hesa menunggu reaksi Naya.
"Ya nggak papa, kan Naya masih kerja. Masih punya uang mas kawin. Pulang pergi kerja juga sama Mas. Gaji Naya juga mulai utuh karena nggak di minta sama Ibu lagi. Jadi ya nggak papa" Jawab Naya dengan jujur karena semenjak dia di rawat di rumah sakit hingga saat ini, Naya belum mengeluarkan uangnya sepeserpun.
"Ck" Hesa menyentil dahi Naya dengan pelan karena kepolosan istrinya itu. Dia juga tidak mungkin memberikan nafkah hanya sebesar lima ratus ribu pada Naya.
👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻
Tapi itulaa n̈amanya pengikat kasih sayang ♥️♥️♥️♥️♥️