"The Secret Behind Love." adalah sebuah cerita tentang pengkhianatan, penemuan diri, dan pilihan yang sulit dalam sebuah hubungan. Ini adalah kisah yang menggugah tentang bagaimana seorang wanita yang bernama karuna yang mencari cara untuk bangkit dari keterpurukan nya, mencari jalan menuju kebahagiaan sejati, dan menemukan kembali kepercayaannya yang hilang.
Semenjak perceraian dengan suaminya, hidup karuna penuh dengan cobaan, tapi siapa sangka? seseorang pria dari masa lalu karuna muncul kembali kedalam hidupnya bersamaan setelah itu juga seorang yang di cintai nya datang kembali.
Dan apakah Karuna bisa memilih pilihan nya? apakah karuna bisa mengendalikan perasaan nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jhnafzzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Kerja Sama?
Damian memasuki ruang rapat di gedung perkantoran yang terletak di pusat kota, dengan harapan tinggi untuk memulai kemitraan yang dapat menyelamatkan perusahaannya, FusionTech Enterprises. Ia tahu betul bahwa tanpa dukungan dari pihak luar, kebangkrutan adalah hal yang sudah di depan mata. Namun, ia juga merasa bahwa ini adalah kesempatan terakhir untuk bangkit, dan ia bertekad untuk meyakinkan Dirga agar bersedia bekerja sama.
Ketika pintu ruang rapat terbuka, Damian melihat Dirga duduk di kursi depan meja besar, tampak tenang dengan ekspresi yang terjaga. Dirga mengenakan jas rapi, wajahnya serius, namun tidak ada tanda-tanda kehangatan yang dulu pernah ada antara mereka. Damian merasa sedikit janggal, seakan ada jarak yang semakin lebar antara dirinya dan pria itu.
Dirga mengangkat wajahnya dari berkas-berkas yang ada di meja, tatapannya langsung bertemu dengan Damian. Tanpa ada senyuman yang mengembang di wajahnya, Dirga hanya memberi anggukan singkat, menunjukkan bahwa Damian boleh duduk. Suasana dingin itu membuat Damian merasakan ketegangan yang mulai merayap dalam dirinya.
"Silakan duduk," ujar Dirga dengan suara yang datar, tidak banyak kata-kata pembuka.
Damian mengambil tempat di sisi seberang meja, sedikit mengatur napas. Ia tahu ini bukanlah pertemuan yang mudah, terutama dengan semua yang telah terjadi antara dirinya dan Karuna. Namun, ia tidak bisa membiarkan itu menghalangi niat baiknya untuk menyelamatkan perusahaannya.
"Saya ingin membahas kemungkinan kerja sama antara FusionTech dan perusahaan Anda, Dirga. Kami dalam posisi yang sangat sulit, dan kami butuh bantuan untuk bisa bertahan," kata Damian dengan nada serius.
Dirga hanya mengangguk sekali lagi. "Saya sudah mendengar tentang kondisi perusahaan Anda. Memang tidak mudah, tapi... kenapa Anda datang ke saya, Damian?" tanya Dirga, tatapannya tajam.
Damian sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Karena saya percaya Anda punya kemampuan untuk membantu, Dirga. Anda punya sumber daya yang kami butuhkan. Saya tidak ingin perusahaan ini jatuh. Dan itu... juga akan menguntungkan satu sama lain."
Dirga menyilangkan tangan di dada, masih diam sejenak sebelum akhirnya berbicara dengan nada yang lebih dalam. "Dan apa yang membuat Anda berpikir bahwa saya akan membantu Anda, setelah semuanya yang terjadi antara kita?" Suara Dirga terdengar lebih keras, hampir seperti tantangan.
Damian terdiam sesaat. Ia tahu apa yang Dirga maksud. Hubungan pertemanan mereka memang bukanlah yang terbaik. Namun, ia tidak pernah menganggap Dirga sebagai ancaman, lebih sebagai seorang sahabat yang ia khianati persahabatan mereka dengan cara yang berbeda.
"Mungkin saya tidak bisa mengubah masa lalu," ujar Damian dengan sedikit penyesalan. "Tapi saya ingin perbaiki semuanya. Ini bukan soal kita, atau masa lalu. Ini tentang masa depan perusahaan dan masa depan orang-orang yang bergantung pada kami."
Dirga menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Damian tanpa mengubah ekspresi wajahnya. "Anda tidak mengerti, Damian," katanya, suaranya lebih rendah tapi tajam. "Ini bukan soal pekerjaan atau bisnis semata. Ini soal keputusan yang Anda buat. Anda tahu betul mengapa saya tidak pernah ingin terlibat lebih jauh lagi dengan Anda."
Tatapan Dirga semakin dingin, seolah menyadari bahwa meskipun Damian berusaha keras untuk menjalin kembali hubungan kerja, masih ada luka lama yang sulit untuk sembuh. Damian merasa seolah ada tembok besar yang tak bisa ditembus, sebuah pemisah yang jelas antara mereka.
"Saya tahu saya telah membuat banyak kesalahan," jawab Damian, mencoba merendahkan diri. "Namun, saya tidak berharap Anda menilai saya hanya dari masa lalu. Ini tentang apa yang bisa kita lakukan untuk masa depan."
Dirga menunduk, sejenak merenung. Setelah beberapa detik, ia mengangkat wajahnya dan berbicara dengan lebih tenang, meskipun tetap penuh makna. "Masa depan, Damian? Anda mungkin bisa menyelamatkan perusahaan Anda, tapi saya sudah cukup dengan segala yang terjadi. Saya tidak lagi tertarik pada masa lalu Anda atau apa yang terjadi antara kita."
Damian merasakan tenggorokannya serasa tercekat. Kata-kata itu seperti pisau yang menembus langsung ke dalam hati, membuatnya merasa seolah-olah telah kehilangan kesempatan terakhir untuk mendapatkan bantuan Dirga. Tetapi meskipun begitu, ia tahu bahwa Dirga memang benar—selama ini ia telah memilih pekerjaan dan ambisi di atas segalanya, termasuk keluarganya, dan itu membuat Dirga merasa sangat terluka.
"Jadi, anda tidak ingin membantu saya..?" tanya Damian, suara berat.
Dirga tersenyum tipis, namun senyum itu terasa lebih seperti sebuah kebingungan. "Bukan masalah mau atau tidak, Damian. Ini lebih tentang keputusan yang Anda buat. Anda terlalu sibuk dengan ego Anda sendiri untuk melihat siapa yang benar-benar ada di samping Anda."
Damian terdiam. Kata-kata itu menyakitkan, namun ia tahu Dirga tidak salah. Semuanya memang salah dia. Karuna, keluarga, dan perusahaannya. Semua itu berantakan karena pilihannya yang selalu mengejar karier dan meninggalkan hal-hal yang lebih penting.
Keheningan mengisi ruang rapat itu, dan Damian merasa begitu terasing. Tidak ada lagi tawaran kerja sama yang bisa ia harapkan dari Dirga. Yang ada hanya kenyataan bahwa hubungan mereka telah berakhir, dan mungkin, inilah konsekuensi dari segala yang telah terjadi.
"Saya mengerti," ujar Damian akhirnya, mencoba merangkai kata-kata yang tepat meski hatinya terasa berat. "Terima kasih atas waktunya, Dirga."
Dirga hanya mengangguk singkat, tidak ada lagi percakapan lebih lanjut. Damian berdiri dan berjalan menuju pintu, merasa kecewa namun juga ada semacam kelegaan, seperti sebuah babak yang telah berakhir.
Begitu keluar dari ruang rapat, Damian menatap langit luar gedung, merasa seolah beban yang dipikul semakin berat. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa kesalahan terbesar yang ia buat bukan hanya tentang pekerjaan, melainkan telah mengabaikan orang-orang yang benar-benar peduli padanya.
Di sisi lain, Dirga duduk kembali di kursinya, matanya terfokus pada layar komputer di depannya. Sesuatu dalam dirinya terasa tenang, meskipun tetap ada sisa rasa sakit yang sulit dihilangkan. Sebuah pertemuan yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi, dan sekarang, Dirga hanya bisa melangkah maju—menjaga jarak dari masa lalu yang membekas.
Damian pulang ke rumah dengan langkah gontai, kepala terasa berat setelah pertemuan yang menegangkan dengan Dirga. Rasa kecewa dan penyesalan menyelubungi dirinya, tetapi di sisi lain, ia juga merasa seperti beban yang begitu lama ia bawa, akhirnya mulai sedikit terangkat. Meskipun peluang untuk menyelamatkan perusahaannya semakin kecil, entah mengapa hatinya merasa kosong, seakan kehilangan arah.
Saat ia membuka pintu rumah, ia disambut oleh suara tawa dan langkah kaki yang terdengar riang dari ruang tamu. Riska, istrinya, yang sedang sibuk memeriksa barang belanjaannya yang baru saja ia bawa pulang. Riska adalah wanita muda yang baru beberapa tahun ia nikahi setelah perceraiannya dengan Karuna. Kehadiran Riska sempat memberi sedikit kebahagiaan baru dalam hidupnya, tetapi belakangan ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Keinginan Riska untuk selalu menghabiskan uang dan gaya hidupnya yang semakin materialistis sering kali membuat Damian merasa kesal.
Riska yang tengah membuka kantong belanjaan menoleh ke arah Damian, wajahnya berbinar seolah tidak ada masalah besar. "Sayang, kamu pulang juga. Lihat, aku beli banyak barang baru! Ini tuh diskon besar-besaran, kamu nggak bakal nyesel, deh!" ujarnya sambil mengangkat beberapa tas belanjaan yang penuh dengan barang-barang mahal.
Damian hanya menatapnya dengan tatapan kosong. Tentu saja, saat ini pikirannya jauh dari barang belanjaan atau kebahagiaan yang coba ditunjukkan Riska. Bagaimana bisa ia merasa senang melihat Riska yang terus menerus berbelanja, sementara ia terjebak dalam kebingungannya tentang masa depan perusahaannya?
“Apa lagi, Riska?” tanya Damian dengan nada rendah, tetapi jelas terdengar ada penekanan pada kata 'lagi'. Ia meletakkan tas kerja di meja samping pintu, berjalan ke arah Riska yang tampaknya tidak menyadari ketegangan yang mulai menggelayuti dirinya.
Riska tersenyum, tidak menangkap nada marah dari Damian. "Ah, ini sayang, aku cuma beli pakaian yang lagi trend itu loh! lagi diskon jadi aku beli semuanya pakai uang bulanan yang kamu kasih." katanya, menimpali dengan wajah polos.
Damian menghela napas, menahan amarah yang mulai membuncah. Setiap kali Riska meminta uang, selalu ada rasa frustrasi yang menggelayuti dirinya. Ia tahu ia harus menanggapi dengan sabar, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang mulai pecah. Ia mengingat pertemuan tadi dengan Dirga, betapa kerasnya ia berusaha untuk bisa mendapatkan bantuan, tetapi di sisi lain, ia merasa seakan hidupnya digerogoti oleh orang-orang yang tidak bisa mengerti betapa beratnya ia bekerja untuk mempertahankan apa yang telah ada.
"Riska, sudah cukup dengan semua ini!" katanya dengan suara yang mulai meninggi, mengejutkan Riska yang sedang membuka kotak belanjaan.
Riska menoleh, terkejut dengan nada suara suaminya yang tiba-tiba berubah. “Apa maksudnya, Damian? Kamu kenapa sih?”
Damian menatapnya dengan penuh amarah, dan tanpa sadar, kata-kata kasar mulai meluncur dari bibirnya. "Kamu itu nggak tahu diri! Selalu saja minta uang, belanja barang-barang yang nggak perlu. Kamu pikir aku ini mesin ATM? Aku lagi menghadapi masalah besar dengan perusahaanku, dan kamu malah sibuk belanja! Kamu nggak paham apa yang aku rasakan!" bentaknya, suaranya bergetar dengan kekesalan yang selama ini terpendam.
Riska terdiam sejenak, wajahnya berubah cemas, namun ia tetap mencoba mempertahankan sikap cerianya. "Damian, aku nggak bermaksud bikin kamu marah. Aku cuma mau punya barang-barang bagus, kamu kan bisa ngerti, itu buat kenyamanan kita berdua juga." Ia mencoba menjelaskan dengan nada lembut, berharap bisa meredakan kemarahan suaminya.
Namun, Damian tidak bisa lagi menahan perasaan yang sudah begitu lama terpendam. "Kenyamanan? Kenyamanan kamu itu cuma dengan barang-barang yang kamu beli dengan uang yang kita nggak punya! Dulu kamu bilang kamu akan membantu aku bangkit, tapi sekarang malah terus menambah beban!" teriak Damian dengan marah, tangannya terangkat, menunjuk ke arah tas belanjaan yang berhamburan di ruang tamu.
Riska semakin terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi ia tahu betul bahwa ini bukanlah pertama kalinya Damian menunjukkan kemarahannya seperti ini. Sebelumnya, ia sering kali menanggapi keluhan Damian dengan rasa bersalah, namun kali ini, ada rasa takut yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Ia tak menyangka kemarahan Damian kali ini bisa begitu besar.
"Kamu nggak paham, Riska," lanjut Damian, napasnya semakin berat. "Aku sedang terjepit, aku berusaha menyelamatkan perusahaan, dan kamu cuma peduli sama barang-barang yang bisa kamu tunjukin di media sosial! Aku harus berjuang setiap hari, dan kamu malah semakin menyusahkan!"
Riska kini terlihat mulai tegang. Dia menatap suaminya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Damian, aku nggak ngerti kenapa kamu jadi marah kayak gini. Aku cuma mau sedikit kebahagiaan. Kenapa sih kamu nggak bisa ngerti? Aku nggak mau bikin hidup kita susah."
Damian mengusap wajahnya dengan tangan, merasa frustrasi dan kelelahan. "Kebahagiaan? Kamu bilang itu kebahagiaan? Kamu tahu apa yang terjadi di luar sana? Semua yang aku bangun mulai runtuh, dan yang kamu lakukan cuma minta uang buat belanja!" suaranya berubah menjadi lebih parau.
Keheningan sesaat melanda ruang tamu itu. Riska tak tahu harus berbuat apa. Dalam hatinya, ia merasa sakit hati, tetapi ia juga merasa terpojok. Damian yang dulu selalu penuh semangat dan ambisi kini terlihat seperti sosok yang rapuh. Ia tidak pernah menyangka bahwa keadaan bisa berubah seburuk ini.
"Damian," Riska mulai bicara pelan, suaranya penuh keraguan. "Aku… aku nggak tahu harus gimana lagi. Tapi aku nggak mau kamu marah terus-menerus. Aku juga capek, Damian. Aku cuma…"
"Tutup mulutmu!" potong Damian dengan suara keras, matanya berkilat marah. "Jangan coba cari pembenaran untuk segala yang kamu lakukan, Riska! Aku sudah cukup dengan ini semua. Cukup!"
Riska terkejut dan mundur selangkah. Tak pernah sebelumnya Damian berbicara seperti ini, bahkan saat mereka menghadapi masalah besar dalam hidup mereka sebelumnya. Damian menatapnya dengan tatapan kosong, seolah tidak lagi mengenali wanita yang kini ada di hadapannya. Ia merasa terjebak dalam pernikahan yang semakin membuatnya tertekan, tidak hanya oleh pekerjaan, tetapi juga oleh sosok istri yang terus-menerus menginginkan lebih tanpa peduli pada keadaan.
Damian menoleh dan berjalan keluar dari ruang tamu, meninggalkan Riska yang masih berdiri diam di sana, terdiam dalam kesedihan dan ketakutan. Riska tahu bahwa ini bukanlah sekadar amarah biasa. Ini adalah puncak dari segala ketegangan yang telah lama mengendap.
Sementara itu, Damian berjalan menuju ruang kerjanya, menutup pintu dengan keras. Hatinya masih bergemuruh dengan amarah yang tak tertahankan, dan di dalam dirinya, ada rasa kekosongan yang semakin dalam. Ia merasa semakin jauh dari semua orang, bahkan dari dirinya sendiri.
Namun, dalam keheningan itu, ada satu hal yang ia tahu pasti. Semua yang terjadi—baik itu masalah dengan Riska, perusahaan, atau hubungan dengan Karuna—membuatnya merasa lebih terasing dan bingung. Keputusan-keputusan buruk yang ia buat di masa lalu kini mulai menghantuinya, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk bangkit dari semua ini.