Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada apa dengannya
Saat mobil Arzan berhenti di depan rumah Haryo, ia turun dengan langkah tegap. Pikirannya masih penuh dengan pertanyaan tentang Kirana. Sesuatu tentang gadis itu membuatnya tidak tenang, terutama setelah melihat raut wajahnya yang tampak tertekan beberapa hari lalu. Arzan berjalan menuju pintu utama dan mengetuknya beberapa kali.
Pintu terbuka, dan Bi Lina muncul dengan senyum ramah. "Selamat siang, Tuan Arzan. Ada yang bisa saya bantu?"
Arzan mengangguk sopan. "Selamat siang, Bi Lina. Haryo ada di rumah? Saya ingin bertemu dengannya."
Bi Lina menggeleng. "Maaf, Tuan Arzan, Tuan Haryo sedang keluar."
Arzan mengernyit. "Keluar? Dengan siapa?"
Bi Lina tampak ragu sejenak, tapi akhirnya menjawab, "Beliau bersama Nona Kirana, Tuan. Mereka pergi untuk fitting baju pernikahan."
Arzan terdiam beberapa detik, mencoba mencerna kata-kata itu. "Fitting baju pernikahan?" tanyanya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
"Iya, Tuan," jawab Bi Lina dengan nada hati-hati. "Persiapan untuk pernikahan mereka sudah mulai berjalan."
Arzan menghela napas panjang, mencoba menutupi rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul. "Baiklah. Kalau begitu, kapan mereka akan kembali?"
Bi Lina menggeleng lagi. "Saya tidak tahu pasti, Tuan. Tapi biasanya mereka tidak terlalu lama."
Arzan menatap ke dalam rumah, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kalau begitu, bolehkah saya menunggu di dalam?"
Bi Lina tampak sedikit terkejut, tapi akhirnya mengangguk. "Tentu saja, Tuan. Silakan masuk."
Arzan sedang duduk di ruang tamu, matanya tertuju ke arah jendela besar yang menghadap halaman depan rumah Haryo. Sudah hampir satu jam ia menunggu, dan akhirnya ia melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah. Haryo keluar terlebih dahulu, diikuti oleh seorang wanita yang langsung menarik perhatian Arzan. Itu Kirana.
Arzan segera bangkit dan berjalan menuju pintu. Saat Haryo masuk bersama Kirana, Arzan langsung menyapa dengan senyuman. "Haryo! Akhirnya kau pulang juga. Aku sudah menunggu cukup lama."
Haryo membalas dengan tawa kecil. "Arzan! Maaf membuatmu menunggu. Aku dan Kirana baru saja selesai dari butik untuk persiapan pernikahan kami."
Arzan melirik Kirana sekilas, yang hanya berdiri diam dengan ekspresi dingin di wajahnya. "Oh? Dan ini... siapa?" tanya Arzan dengan nada yang dibuat seolah-olah ia benar-benar tidak tahu.
Haryo tersenyum lebar, jelas bangga. Ia merangkul Kirana dengan penuh kepercayaan diri. "Ini calon istriku, Kirana."
Kirana tidak bereaksi. Pandangannya kosong, dan senyumnya tidak muncul meskipun diperkenalkan oleh Haryo. Arzan memperhatikan sikap itu dengan seksama, merasa ada sesuatu yang salah. Namun, ia tetap menjaga sikapnya.
"Oh, calon istrimu? Senang bertemu denganmu, Kirana," ujar Arzan, menyodorkan tangannya.
Kirana tampak ragu sejenak sebelum akhirnya menjabat tangan Arzan dengan cepat. "Senang bertemu," katanya singkat, tanpa emosi.
Haryo tertawa lagi, mencoba mencairkan suasana. "Kirana ini memang agak pendiam, terutama di depan orang baru. Tapi, itu salah satu hal yang membuatku suka padanya."
Arzan tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya ia merasa tidak nyaman melihat dinamika di antara mereka. "Aku bisa mengerti. Tidak semua orang langsung terbuka di hadapan orang lain."
Haryo mengangguk. "Benar sekali. Jadi, apa yang membawamu ke sini, Arzan? Kau tampaknya punya sesuatu yang ingin dibicarakan."
Arzan melirik Kirana yang masih berdiri di samping Haryo, tampak seperti ingin menghilang dari tempat itu. "Ah, hanya ingin berbicara santai denganmu. Tapi, jika kau sedang sibuk dengan persiapan pernikahan, kita bisa membicarakannya nanti."
Haryo melirik Kirana, lalu kembali menatap Arzan. "Tidak apa-apa. Kirana bisa beristirahat di kamarnya. Kirana, kau lelah? Bi Lina mungkin sudah menyiapkan teh di atas."
Kirana mengangguk pelan, terlihat lega mendapatkan alasan untuk pergi. Tanpa banyak bicara, ia berbalik dan berjalan menuju tangga.
Arzan memperhatikan kepergian Kirana dengan tatapan penuh pertanyaan. Begitu Kirana sudah tak terlihat, ia beralih ke Haryo. "Calon istrimu terlihat sangat... pendiam, Haryo. Apa dia baik-baik saja?"
Haryo hanya mengangkat bahu. "Dia masih beradaptasi dengan banyak hal. Kau tahu, persiapan pernikahan memang bisa membuat seseorang sedikit tertekan."
Arzan tersenyum, meskipun dalam hatinya ia tahu ada lebih dari sekadar tekanan persiapan pernikahan yang terjadi di sini. Namun, ia memilih tidak membahasnya lebih lanjut, setidaknya untuk saat ini.
"Kalau begitu, semoga semuanya berjalan lancar. Aku yakin pernikahan kalian akan menjadi momen yang luar biasa." Arzan menepuk bahu Haryo, mencoba memasang wajah ramah meskipun pikirannya terus dipenuhi kecurigaan.
...----------------...
Haryo dan Arzan berbincang santai di taman belakang. Obrolan mereka mengalir, membahas berbagai topik mulai dari bisnis hingga rencana pernikahan Haryo. Namun, di balik senyum dan tawa Arzan, pikirannya sibuk mencari cara agar bisa menemui Kirana tanpa diketahui Haryo. Setelah hampir dua jam berbicara, kesempatan itu akhirnya datang.
"Aku harus bersiap-siap, Arzan," ujar Haryo sambil berdiri. "Nanti malam aku ada pertemuan penting dengan klien."
"Oh, tentu, Haryo. Aku akan menunggumu di sini," jawab Arzan dengan senyum ramah, menyembunyikan niat sebenarnya.
Haryo mengangguk dan berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Arzan sendirian di taman. Begitu Haryo menghilang dari pandangan, Arzan mulai memeriksa situasi di sekitar. Setelah memastikan tidak ada orang yang memperhatikan, ia berjalan dengan hati-hati menuju lantai dua.
Sesampainya di depan kamar Kirana, Arzan menghela napas, lalu perlahan membuka pintu. Di dalam, ia melihat Kirana yang sedang tertidur di atas tempat tidur. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap memancarkan keindahan yang membuat Arzan terpaku. Dia berdiri di sana, memandang Kirana dengan perasaan campur aduk.
Namun, Kirana mulai bergerak dan membuka matanya. Ia langsung terkejut melihat Arzan berdiri di dekat pintu. "Kau? Kenapa kau ada di sini?" tanyanya dengan nada cemas.
Arzan melangkah mendekat, mencoba menenangkan Kirana. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."
Kirana duduk di tepi tempat tidur, menatap Arzan dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Kau tidak seharusnya di sini. Bagaimana jika Haryo tahu? Dia bisa marah besar."
"Aku akan pergi sebelum dia kembali," ujar Arzan pelan. "Tapi aku ingin tahu sesuatu. Kenapa kau tiba-tiba menyetujui pernikahan ini? Bukankah sebelumnya kau ingin melarikan diri?"
Kirana tertunduk, matanya berkaca-kaca. Ia menggenggam erat kedua tangannya, seolah berusaha menahan rasa sakit yang ia rasakan. "Aku tidak punya pilihan, Arzan. Haryo mengancamku."
Arzan mengernyit. "Mengancammu? Dengan apa?"
Kirana menarik napas dalam, lalu berkata dengan suara bergetar. "Dia mengancam akan memastikan ayahku lebih lama mendekam di penjara jika aku tidak menikah dengannya. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Ayahku sudah cukup menderita."
Mendengar itu, Arzan terkejut. "Ayahmu di penjara? Untuk kasus apa?"
"Dia dituduh melakukan korupsi di partai tempat dia bekerja," jawab Kirana lirih. "Tapi aku tahu ayahku tidak bersalah. Dia hanya dijadikan kambing hitam. Haryo tahu itu, dan dia memanfaatkan situasi ini untuk memaksaku."