Tidak pernah Jingga bayangkan bahwa masa mudanya akan berakhir dengan sebuah perjodohan yang di atur keluarganya. Perjodohan karena sebuah hutang, entah hutang Budi atau hutang materi, Jingga sendiri tak mengerti.
Jingga harus menggantikan sang kakak dalam perjodohan ini. Kakaknya menolak di jodohkan dengan alasan ingin mengejar karier dan cita-citanya sebagai pengusaha.
Sialnya lagi, yang menjadi calon suaminya adalah pria tua berjenggot tebal. Bahkan sebagian rambutnya sudah tampak memutih.
Jingga yang tak ingin melihat sang ayah terkena serangan jantung karena gagalnya pernikahan itu, terpaksa harus menerimanya.
Bagaimana kehidupan Jingga selanjutnya? Mengurus suami tua yang pantas menjadi kakeknya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Alifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MERASA BODOH
Sepeninggal Jingga, Langit mengusap wajahnya dengan gusar, lalu kedua tangannya terkepal kuat. Rahangnya mengeras, giginya beradu, wajahnya tampak memerah. Kemarahan mulai menguasainya, "Mega!!" erangnya dengan suara menakutkan. Kilat amarah terlihat jelas dari kedua netranya, nafasnya memburu dan masih berusaha ia tahan.
Hawa dingin di kamar itu semakin terasa menakutkan, pria itu mengambil kunci mobil di atas ranjang lalu keluar dari kamar dengan langkah lebar.
Pintu kamar pun menjadi korbannya, ia banting hingga menimbulkan suara keras.
BUG
Pak Lim yang tengah berdiri di ujung anak tangga terakhir di lantai bawah menoleh. Ia terkejut mendengar suara keras itu, Singa itu kembali terbangun dari tidurnya.
Pak Lim hanya bisa menunduk memberi hormat saat Langit melewatinya. Ia tak bertanya apapun, bukan karena tak berani, tapi begitu lah Langit. Saat pria itu marah, tak boleh ada yang mengajaknya bicara apalagi banyak bertanya. Ia menoleh saat Jingga berlari menuruni anak tangga menghampirinya.
"Nyonya, berhati-hati lah.." ucapnya dengan raut wajah cemas.
Tanpa menghiraukan kecemasan pak Lim, Jingga berkata, "Pak Lim, kemana suamiku pergi?" Tanyanya, saat ia tengah di kamar yang dulu ia tempati, terdengar suara benturan keras. Ia terkejut, teringat ia meninggalkan Langit dengan kemarahan, Jingga pun segera keluar kamar untuk melihat keadaan Langit.
Tapi kamar sudah kosong, lalu ia menoleh ke lantai bawah, ternyata Langit pergi. Karena itu lah ia segera turun untuk menyusul. Ia tak mau Langit pergi dengan kemarahan, ia takut hal buruk akan terjadi dengan pria itu.
"Maaf nyonya, saya tidak tahu," jawab pak Lim. Jingga semakin cemas, ia lalu mengajak pak Lim untuk menyusul Langit.
"Aku takut terjadi apa-apa padanya. Antar aku menyusulnya pak Lim," ucapnya.
Pak Lim mengangguk, ia segera menyiapkan mobil yang lain lalu mengejar mobil Langit yang ternyata sudah tak terlihat.
Jingga semakin cemas, ia bahkan duduk tak tenang di jok belakang. "Pak Lim, kemana suamiku pergi? Sepertinya dia marah," lirih Jingga.
"Nyonya, bisa anda ceritakan semuanya? Baru setelah itu, kita akan tahu kemana Tuan pergi," ucap pak Lim.
Jingga lalu menceritakan semuanya. Tentang perdebatannya dengan Langit beberapa saat yang lalu, tentang rahasia pria itu yang terbongkar karena Mega. Air mata kembali meleleh di pipinya, ia tak tahu harus melakukan apa, satu sisi ia merasa kecewa pada Langit. Tapi di sisi yang lain ia begitu mencintai pria itu dan mencemaskannya. "Aku harus apa pak Lim? Dan kemana dia pergi?"
Pak Lim menghela nafas panjang, benar yang ia duga, Mega memang tidak akan pernah berubah. Gadis itu diam hanya untuk menunggu waktu yang tepat untuk menghancurkan hubungan langit dan Jingga.
"Nyonya, sepertinya Tuan pergi ke rumah anda.."
Jingga mengerutkan dahinya, lalu menghapus air mata yang terus menetes dari ujung netranya.
"Apa pak Lim yakin? Untuk apa dia kesana?" Jingga masih belum bisa berpikir jernih. Ia tak bisa berpikir dengan benar.
"Saya yakin, Tuan pasti menemui Nona Mega."
Jingga terkejut, matanya membulat. Kenapa ia tak berpikir kesana? Otaknya terlalu mumet sampai ia tak bisa berpikir.
"Pak Lim, kita kesana sekarang! Aku mohon cepatlah!"
Pak Lim mengangguk sebagai jawaban. Kemudian mempercepat laju mobilnya. Ia melirik kaca spion dalam, memastikan keadaan sang nyonya. Perempuan itu tampak semakin cemas.
Bagaimana tidak, Langit pasti akan melakukan sesuatu pada Mega. Jingga tak ingin terjadi hal buruk pada keduanya, Jingga sangat menyayangi mereka, ia harus mencegah Langit.
***
Hardi baru saja sampai di rumahnya saat mobil mewah Langit memasuki pekarangan rumah. Pria itu tersenyum mendapati menantunya datang, ia lalu menghampiri Langit yang baru saja keluar dari mobil.
"Nak, Langit.."
Tak seperti biasanya, Langit tampak begitu dingin. Ia pantas berkata, "Dimana putri sulung mu?"
Pak Hardi mengerutkan dahinya, melihat kemarahan di wajah sang menantu, ia pun bertanya, "Ada apa nak? semuanya baik-baik saja kan?"
"Tidak ada yang baik-baik saja ayah! Putri sulung mu sudah menghancurkan semuanya! Dengan lancang dia membongkar semuanya pada istriku, aku harus memberinya pelajaran!!" Kilat kemarahan tergambar jelas di sorot matanya, setiap kalimat yang Langit lontarkan penuh penekanan. Suara dinginnya seolah mampu membekukan sekelilingnya.
Pak Hardi terkejut mendengar ucapan Langit, karena ia tahu betul kemarahan Langit seperti apa. Ia tak menyangka Mega membahayakan dirinya sendiri juga membahayakan Langit dan Jingga, “Ap-apa? Ya Tuhan Mega..”
“Dimana dia sekarang! Katakan padaku ayah, aku harus membuat perhitungan dengannya, kenapa dia melakukan itu? Hubunganku dan Jingga membaik, kami saling percaya satu sama lain, tapi putrimu yang lain menghancurkan semuanya!”
Memang tak ada teriakan atau bentakan dari ucapan Langit, tapi dari suara dingin yang penuh penekanan itu Hardi dapat melihat sebesar apa kemarahan menantunya, “Ayah yang akan menghukumnya. Sabarlah nak, tenangkan dirimu,” pinta Hardi.
“Bagaimana aku bisa tenang ayah, istriku meragukan aku. Dia kecewa padaku, dan semua ini akibat ulah putri sulung mu!”
Di tengah perdebatan itu, mobil Langit yang lain datang. Dua pria itu menoleh, Jingga keluar dari mobil dan terburu-buru menghampiri mereka.
Ada yang aneh disini, Langit datang menemui ayahnya dengan wajah aslinya. Tak memakai penyamaran sebagai pria tua, tapi sang ayah tampak tak terkejut dan seperti mengenali Langit. Jingga menatap Langit dan ayahnya bergantian, dengan suara bergetar ia bertanya, “Apa hanya aku yang bodoh disini? Apa ayah tahu tentang semua ini?”
Baik Langit maupun Hardi terkejut mendengar pertanyaan Jingga. Ia melupakan satu hal, bahwa Langit datang dengan wajah muda dan tampannya. Bukan sebagai pria tua saat pertama kali datang ke rumah itu untuk melamar.
Mendapati tatapan nanar Jingga, Hardi gelagapan, ia bingung harus berkata apa. Karena faktanya, ia mengetahui segalanya. Tentang Langit, juga tentang kehidupan di masa lalu pria itu. Karena bukan satu bulan dua bulan ia mengenal Langit, bukan juga satu tahun atau dua tahun, tapi sejak pria bernama Langit itu berusia Lima tahun.
“Kenapa ayah diam? Ada apa ini ayah? Apa bukan cuma mas Langit saja yang menyembunyikan fakta sebesar ini dariku? Tapi juga ayah?”
“Nak..”
“Sayang..”
Langit dan Hardi kompak berkata, mereka harus menenangkan Jingga yang tampak lebih kecewa lagi.
Tapi Jingga menggelengkan kepalanya, ia terlampau kecewa. Ternyata tak hanya Langit yang menyembunyikan rahasia besar ini darinya, tapi juga sang ayah. Dan mungkin juga ibunya, karena Mega pun tahu tentang siapa Langit yang sebenarnya. Hanya dirinya yang bodoh, mengabaikan beberapa petunjuk yang sebenarnya mudah untuk ia kenali dan ia sadari.