Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria Asing Yang Dirindukan
📍 Mvvo Entertainment
Ruangan Presedir
Reymond perlahan meletakkan beberapa lembar kertas di atas meja kaca di depannya. Dia dan Mattheo duduk berhadapan di sofa, suasana ruangan terasa formal namun tegang.
“Apa ini?” tanya Mattheo, alisnya sedikit terangkat saat matanya melirik kertas-kertas tersebut.
Reymond menjawab dengan tenang sambil menyandarkan tubuhnya sedikit. “Yang bagian ini, Papa harus menandatangani. Itu untuk pengajuan visi dan misi saya jika nanti saya diangkat menjadi CEO.”
Mattheo mengambil salah satu lembaran tersebut, membacanya sepintas lalu menatap Reymond tajam. “Ah, visi misi kamu, ya. Memangnya, apa visi misi kamu, Reymond?”
“Menjaga nama baik perusahaan, Pa. Itu sudah pasti. Tapi lebih dari itu, saya ingin memberikan penilaian perlindungan untuk semua talent yang ada di perusahaan ini,” jawab Reymond dengan penuh keyakinan.
Mattheo mengangguk kecil, kemudian menandatangani kertas itu tanpa membaca detailnya lebih jauh. Reymond, yang memperhatikan gerakan tangan ayah mertuanya, menyodorkan beberapa dokumen tambahan.
“Dan ini?” Mattheo kembali bertanya, matanya mulai menyipit.
Reymond menjelaskan, kali ini dengan sedikit penekanan. “Kalau yang ini, sebuah penilaian kinerja. Jika mereka yang bekerja di Mvvo tidak memenuhi target, maka atasan berhak memecat mereka. Dengan garis bawah, hanya jika mereka benar-benar tidak memenuhi standar perusahaan.”
Mattheo meletakkan dokumen itu, diam sejenak, lalu menatap Reymond dengan nada serius. “Semuanya?”
“Iya, semuanya, Pak Presedir. Mulai dari staf kantor hingga mereka yang tampil di atas pentas.”
Mattheo menghela napas panjang. “Tapi, Reymond, kita tidak bisa seenaknya memecat mereka.”
Reymond menyandarkan tubuhnya lebih dalam, mencoba menguasai situasi. “Papa, saya yang akan berbicara dengan mereka. Perusahaan ini tidak perlu menampung orang-orang yang tidak kompeten. Mereka hanya menjadi beban.”
Mattheo terdiam, tangannya menyentuh dagu seolah sedang menimbang-nimbang. Dalam benaknya, ia tahu bahwa beberapa orang di perusahaan adalah "favoritnya" yang sengaja dipertahankan meski tidak memenuhi standar. Namun, jika Reymond benar-benar meninjau kinerja mereka, orang-orang itu mungkin akan tereliminasi.
“Reymond… kita tidak bisa menggunakan kekuasaan untuk sekadar mengusir mereka,” ujar Mattheo dengan nada pelan namun tegas.
Reymond tersenyum tipis. “Mereka tidak kompeten, Pa. Lagi pula, apa gunanya menggaji mereka jika mereka tidak bekerja sesuai harapan?”
Mattheo menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. “Papa akan pikirkan soal ini.”
“Baiklah kalau begitu.” Reymond mengangguk kecil, memberikan waktu pada Mattheo untuk merenungkan.
Mattheo, tampaknya merasa topik ini terlalu berat untuk dibahas lebih jauh, segera mengganti arah pembicaraan. “Kamu sudah bertemu dengan Tano?”
Reymond menggeleng singkat. “Belum, Pa.”
Mattheo mendecakkan lidah, nada suara berubah menjadi kesal. “Hhh… ya sudah. Lupakan tentang si brengsek itu.”
****
-Parkiran Basement, Mvvo Entertainment-
Lift di parkiran basement berbunyi pelan ketika pintunya terbuka. Emily melirik Yubin yang berdiri dengan beberapa barang di tangan.
“Eonnie, kamu naik aja duluan,” ujar Emily sambil tersenyum kecil.
“Kenapa gak barengan?” Yubin memiringkan kepala, bingung.
“Aku mau menghubungi Baby sebentar.”
“Di atas aja?”
“Iya, iya, duluan aja. Eonnie bawa banyak barang, kan?” ucapnya tersenyum.
Yubin menghela napas sambil tersenyum, menyerah. “Oke, aku tunggu di lobi.”
Begitu Yubin masuk ke lift, pintu tertutup dengan lembut. Emily tinggal sendirian di depan pintu lift. Dia segera membuka ponselnya dan mengetik nama Baby di daftar kontak. Wajahnya tampak serius, jemarinya berhenti sejenak di atas layar.
Namun, saat itu juga, pintu lift di sebelahnya terbuka. Dari dalam, seseorang melangkah keluar. Emily langsung membeku. Pandangan matanya bertemu dengan Reymond.
Reymond berhenti sejenak, matanya menatap Emily. “Kamu mau naik ke atas?” tanyanya dengan nada yang terkontrol.
Emily mengalihkan pandangannya, mencoba terlihat acuh. “Hm, iya,” jawabnya singkat tanpa menatap Reymond.
“Emily, bisa kita bicara?” suara Reymond terdengar lebih dalam kali ini.
“Maaf, Pak. Saya sibuk,” sahut Emily sambil melangkah cepat ke pintu lift yang baru saja terbuka lagi.
Namun, sebelum ia berhasil masuk, Reymond meraih pergelangan tangannya. Tarikan itu menghentikan langkah Emily seketika.
“Pak Reymond, lepas!” Emily mencoba melepaskan diri, tapi Reymond lebih cepat. Ia menarik Emily keluar ke area parkiran yang lebih sepi, menyudutkannya di dekat dinding.
“A-aku…” Emily terbata, bingung harus berkata apa.
Reymond menatapnya dengan intens. “Kenapa kamu gak angkat telepon saya?” tanyanya dengan nada tajam, tapi penuh rasa ingin tahu.
Emily terdiam, menahan napas sesaat. Tatapannya beralih ke mata Reymond yang menuntut jawaban. Akhirnya, dia bersuara. “Apa itu perlu? Aku pikir, enggak.”
Reymond tertegun. “Kamu marah dengan saya?” tanyanya, suaranya sedikit melembut.
Emily tertawa kecil, namun tanpa ekspresi bahagia. “Harusnya. Tapi setelah aku pikir-pikir, untuk apa?”
“Emily, saya sudah menikah,” Reymond akhirnya berkata, nadanya terdengar berat.
Emily mengangkat bahu dengan dingin. “Lalu?”
Reymond menunduk, menghindari tatapan Emily. “Yang kita lakukan kemarin itu salah.”
“Hm,” Emily mendengus pelan. “Jadi, ini alasan kamu menghindari aku?”
“Emily…” Reymond mencoba menjelaskan, tapi Emily memotongnya cepat.
“Lakukan saja seperti ini. Aku akan mengikuti keinginanmu,” katanya dingin, lalu mencoba pergi.
Namun lagi-lagi, Reymond menahan pergelangan tangannya.
“Saya belum selesai—” ucap Reymond, yang kemudian langsung dipotong Emily.
“KALAU KAMU MERASA BERSALAH, KENAPA MENARIK AKU SEJAUH ITU!?” teriak Emily, suaranya bergetar, penuh dengan emosi yang selama ini ia tahan.
Reymond terdiam, matanya membulat saat melihat air mata menggenang di pelupuk mata Emily. Dia mendekat, tanpa berpikir panjang, dan memeluknya erat.
Emily membeku dalam pelukan itu, tapi hanya untuk beberapa detik. Dengan cepat, dia melepaskan diri. “Jangan seperti ini, pak Reymond.”
Tanpa menunggu jawaban, Emily berbalik, berjalan cepat menuju lift, dan masuk ke dalamnya.
***
-Dalam Lift-
Pintu lift menutup, mengisolasi Emily dari suara-suara di luar. Dia bersandar pada dinding lift, tubuhnya terasa lemas. Pandangannya jatuh ke lantai, kedua tangannya gemetar.
Air mata yang tadi ia tahan akhirnya jatuh perlahan, tapi ia segera menghapusnya dengan cepat. “Aku nggak boleh lemah,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Saat lift hampir sampai di lantai tujuan, ponselnya berdering. Suara itu membuat Emily tersentak. Nama Endrick muncul di layar, dan dengan ragu, dia mengangkatnya.
“Halo?” suaranya terdengar pelan, hampir tak bernyawa.
Endrick berbicara dari ujung sana, memberi tahu bahwa Pak Presedir sedang menunggunya di ruangan.
Emily menutup telepon dengan tangan gemetar. Beberapa detik ia berdiri diam, mencoba mengatur napas. Tekanan di setiap sisi kehidupannya terasa semakin berat, tapi ia tahu, tak ada pilihan selain melanjutkan langkah. “Tarik napas, Emily. Kamu bisa,” gumamnya pada dirinya sendiri.
Ketika pintu lift terbuka, Emily melangkah keluar dengan kepala tegak, meski hatinya masih terasa sesak.
“Emily, aku menunggumu.” ucap Yubin.
“Pak presedir memanggilku lagi.” Jawab Emily, dengan suara yang terdengar begitu berat.
“L-lagi?” tanya Yubin, seraya tak percaya dengan sikap presedirnya.
“Iya eonnie.”
Tapi saat itu, pintu lift terbuka. Reymond beranjak keluar dari lift.
“Emily,” panggil Reymond yang mendekatinya.
Emily hanya diam tertegun, menatap Reymond yang semakin dekat dengannya.
Beberapa pasangan mata, menatap keadaan itu. Dengan sikap tegas dan profesional, Reymond berdiri di hadapan Emily.
“Pulang, temui Baby.” Ucapnya tenang.
Kening itu mengernyit, mendengar ucapan Reymond.
“A-apa yang terjadi?“ Yubin kebingungan dengan sikap itu.
“Meimeimu, hari ini ada jadwal terapi, kan? Temani dia.” Singkat Reymond yang langsung beranjak kembali ke lift.
Emily hanya diam menatap punggung itu beranjak menjauh dan menghilang.
“Baby hari ini terapi?” ulang Yubin bertanya.
‘Bagaimana dia tahu soal ini.’ Ucap Emily di dalam hatinya, yang masih terus menatap pintu lift itu tertutup rapat.
****
-Ruangan Kerja Mattheo-
Pandangan itu terangkat dengan wajah yang tersenyum. Namun, senyum itu pudar saat Mattheo menatap seseorang yang masuk.
“Reymond?” dia tampak kebingungan, kenapa menantunya kembali masuk.
“Pak presedir, kalau saya bisa membawa Mr. Tano kembali kerjasama dengan perusahaan ini. Apa anda mau menandatangi berkas yang saya ajukan tadi?” sikapnya tegas, matanya terlihat serius dan tajam.
Mattheo pun menatap Reymond yang berdiri di hadapannya.
“Kamu… terlihat lebih gigih, untuk mengupayahkan semuanya.” Ucap Mattheo yang mulai menyipitkan matanya dengan serius.
“Untuk perusahaan, saya akan melakukannya.” Jawab Reymond kembali.
“Baiklah, saya akan memberikan tanda tangan itu, kalau kamu bisa menjamin Mr. Tano mau bekerja sama dengan perusahaan ini.”
Reymond menunduk hormat pada Mattheo yang duduk dikursi kerja.
Dia melangkahkan kakinya. Namun, dia tahan kembali menoleh.
“Ah! pak presedir?”
Mattheo menatap mata Reymond, “hm, ada apa?”
“Saya melihat Emily menangis di bawah tadi.” Ucap Reymond.
“Kenapa dia menangis?” Mattheo mulai penasaran akan itu, tetapi… dia berusaha tenang.
“Meimeinya, berada di rumah sakit. Dan saya, menyuruhnya untuk menemui meimeinya. Tidak masalahkan, kalau saya menyuruhnya seperti itu?” dengan tenangnya, dia bertanya.
Reymond, mencoba untuk melindungi Emily, dari Mattheo yang ingin bertemu dengan Emily sore ini.
Dan, Mattheo pun hanya mengangguk setelah mencernah ucapan Reymond.
“Baik pak presedir, saya izin keluar.”
“Iya.”
Suara ketukan langkah itu menggema di ruangan kerja Mattheo.
Dimana Mattheo menatap punggung itu mulai menghilang saat pintu ruanganya tertutup dengan rapat.
“Kenapa dia bersikap seenaknya.” Ucap Mattheo nyaris tak terdengar.
Perasaan kesal itu, menyelimuti hati Mattheo yang hari ini gagal menikmati tubuh Emily.
****
-Dalam Mobil-
Emily menyetir sendirian. Di dalam kabin mobil yang sunyi, pikirannya terus berputar. Matanya tetap terfokus pada jalan, tetapi di dalam hatinya, ada pertanyaan besar yang tak bisa diabaikan.
Bagaimana Reymond bisa tahu? pikir Emily. Bagaimana dia tahu kalau hari ini jadwal terapinya Baby, meimeinya.
Mobil Ferrari merah itu melaju mulus di jalanan kota yang terlihat masih sepi. Suara deru mesinnya hampir tidak terdengar, hanya menyisakan pikiran Emily yang semakin ramai.
Tiba-tiba, dering telepon memecah kesunyian. Nama Baby muncul di layar perangkat mobil, dan Emily langsung menjawab panggilan itu melalui speaker.
"Ce, maafkan aku. Aku baru melihat handphone," suara lembut Baby terdengar di dalam kabin mobil.
Emily tersenyum tipis, meski Baby tak bisa melihatnya. "Tidak apa. Kamu ada di mana sekarang?" tanyanya, tetap menjaga pandangan ke depan.
"Aku sudah di rumah sakit. Lagi menunggu antrean," jawab Baby dengan nada tenang.
Emily mengangguk kecil, meski hanya untuk dirinya sendiri. "Tunggu di situ. Cece akan segera menyusul."
"Baiklah, aku tunggu," balas Baby sebelum panggilan terputus.
Emily menginjak pedal gas sedikit lebih dalam, membuat mobil itu melaju lebih cepat di jalanan yang lenggang. Ferrari merah itu menjadi sorotan, melesat di antara kendaraan lain dengan kecepatan yang stabil.
***
📍 Rumah Sakit
Di koridor rumah sakit yang cukup ramai, Baby duduk menunggu di kursi pasien. Saat ia melihat Emily datang, wajahnya langsung cerah.
"Cece..." panggil Baby sambil melambaikan tangan kecilnya.
Emily berjalan menghampiri meimeinya dengan langkah cepat. Wajahnya yang awalnya serius berubah menjadi lembut, menyiratkan kasih sayang.
"Aku pikir hari ini cece sibuk," ujar Baby sambil tersenyum polos.
Emily menghela napas sambil mengusap kepala Baby dengan sayang. "Tadinya memang begitu. Tapi untuk kamu, cece pasti sempatkan."
Saat itu, seorang suster memanggil nama Baby. Tanpa menunggu lama, Baby berdiri dan mengikuti suster masuk ke ruang dokter, meninggalkan Emily di kursi penunggu pasien.
***
Emily duduk di kursi penunggu, mencoba mengalihkan pikirannya dari apa pun yang sedang membebaninya. Namun, seketika perasaan aneh mulai menyelimutinya. Déjà vu.
Ia menoleh ke kursi kosong di sampingnya, pandangannya tiba-tiba kabur oleh ingatan.
“Emily...”
Sebuah bayangan muncul di benaknya. Ingatan itu kembali; ia pernah duduk di kursi rumah sakit sebelumnya. Ia pernah menangis di tempat yang hampir sama posisinya. Dan saat itu, ada pria asing yang mendengarkan ceritanya tanpa berkata banyak.
Reymond.
Nama itu berputar di pikirannya seperti angin yang menerobos masuk ke ruangan kosong. Emily menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba mengusir ingatan itu. Tapi, semakin ia melawan, semakin jelas gambaran itu.
Tangannya mulai gemetar. Ia tak mampu menahan perasaan yang menggelegak di dalam dadanya. Air mata mulai jatuh tanpa kendali, membasahi telapak tangannya.
“J-jadi itu kamu?” ucapnya hampir tak terdengar jelas.