Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilema Atas Harapan
📍Apartement
-Kamar Emily-
Pagi itu, cahaya matahari yang hangat menembus tirai tipis kamar Emily, memaksanya membuka mata. Ia mengerjap perlahan, berusaha mengumpulkan kesadaran. Tangannya terulur ke meja kecil di samping tempat tidur, meraih ponselnya. Dengan setengah mengantuk, ia membuka layar.
"Semoga ada pesan darinya," gumam Emily dengan nada penuh harap.
Namun, harapannya pupus. Kotak masuk pesan tetap sunyi tanpa ada pesan dari Reymond. Wajahnya berubah muram. Ia menarik napas panjang.
Emily melangkah keluar kamar dengan langkah lesu. Di ruang makan, Baby, meimeinya, tengah sibuk menyiapkan sarapan. Aroma roti panggang memenuhi udara, bercampur dengan aroma kopi hangat.
"Cece, kenapa mukanya kusut begitu?" tanya Baby sambil menatap Emily yang duduk di meja makan dengan ekspresi masam.
Emily hanya menghela napas tanpa menjawab. Tangannya memainkan sendok kecil di atas piring tanpa selera. Baby mengerutkan kening, merasa heran, tetapi memilih untuk tidak memaksa Emily berbicara.
Tiba-tiba, suara dering telepon memecah keheningan. Emily segera meraih ponsel dan mengangkatnya.
"Halo, Yubin," sapanya lemah.
Suara Yubin terdengar ceria di ujung telepon. "Hai, Emily! Hari ini jadwal kamu cuma bertemu Anne untuk konsultasi karier, ya. Jangan lupa!"
"Oh, oke. Terima kasih sudah mengingatkan aku ce," jawab Emily singkat.
Namun, saat telepon ditutup, sebuah pikiran terlintas di benaknya. Ia tersenyum kecil, menyembunyikan raut wajahnya dari Baby yang sedang memperhatikannya.
"Kalau aku ke agensi, mungkin aku bisa bertemu Rey," bisik Emily dalam hati.
Emily berdiri dengan cepat, meninggalkan meja makan. Baby yang melihatnya buru-buru pergi hanya bisa menatap bingung.
"Cece mau ke mana sih?" tanya Baby, tetapi Emily tak menjawab.
-Kamar Emily-
Begitu sampai di kamar, Emily langsung menuju lemari pakaian. Ia membuka pintunya dengan semangat dan mulai mencari-cari pakaian yang tepat. Tangannya menyibak gaun demi gaun sambil bergumam, "Apa yang harus aku pakai untuk bertemu Rey nanti?"
Setelah beberapa saat, ia akhirnya memilih sebuah gaun sederhana namun anggun berwarna pastel. Emily memandang pantulan dirinya di cermin. Senyum kecil tersungging di bibirnya, membayangkan kemungkinan bertemu Rey di agensi nanti.
"Semoga dia memperhatikan aku hari ini," ucapnya lirih sambil memegang gaun itu erat.
Ya, dan itu terjadi tanpa dia sadari. Dia… terlihat berharap, penuh untuk pertemuan dengan Reymond, di agensi.
****
📍Rai's House
-Ruang Makan-
Suasana pagi di ruang makan terasa tenang, dengan aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang masih hangat memenuhi udara. Reymond duduk di salah satu sisi meja panjang, menikmati sarapannya dengan santai. Di sebelahnya, Mattheo—mertuanya—tampak sibuk memotong daging steak kecil di piringnya, sementara Rein, istri Reymond, sedang menyajikan jus jeruk segar.
Reymond mengangkat cangkir kopinya perlahan, memperhatikan percakapan ringan antara Rein dan Mattheo yang sesekali diselingi tawa kecil. Namun, ketenangan itu terusik ketika ponsel Mattheo berdering keras di meja.
"Endrick," gumam Mattheo, membaca nama di layar. Ia segera mengangkat telepon itu, suaranya berubah serius. "Ya, ada apa pagi-pagi begini?"
Reymond memasukkan potongan roti ke mulutnya, memilih untuk tetap diam sambil mendengarkan. Sementara itu, Rein memandang penasaran ke arah suaminya.
"Maaf, Pak Mattheo," suara Endrick terdengar di ujung telepon. "Saya baru saja mendapat kabar bahwa Mr. Tano mendadak mengganti semua penjaganya tanpa memberi tahu kita terlebih dahulu. Saya sudah mengonfirmasi ke Nano, sekretaris Mr. Tano, dan dia membenarkan perubahan itu."
Mattheo berhenti makan. Alisnya mengernyit, lalu ia menegakkan tubuh di kursinya. "Mengganti penjaga? Tanpa pemberitahuan? Bukankah itu perusahaan yang saya rekomendasikan?" tanyanya dengan nada bingung dan sedikit tegas.
"Betul, Pak. Tapi saya juga tidak mendapat informasi sebelumnya," jelas Endrick. "Saya masih menunggu balasan dari Nano untuk mengetahui alasan pastinya."
Mattheo mengusap dagunya, tanda ia sedang berpikir keras. Reymond meletakkan sendok garpunya perlahan, kini lebih tertarik mendengar percakapan itu.
"Kapan saya bisa bertemu Mr. Tano hari ini?" tanya Mattheo lagi, suaranya terdengar tenang meski matanya menatap kosong ke depan.
"Belum ada kabar, Pak. Saya masih menunggu konfirmasi jadwal dari Nano," jawab Endrick dengan nada sopan.
"Baiklah. Segera kabari saya kalau ada perkembangan," ujar Mattheo sebelum menutup telepon.
Suasana hening sejenak setelah panggilan berakhir. Mattheo tampak termenung, sementara Rein melirik suaminya dengan tatapan ingin tahu. Reymond, di sisi lain, tetap duduk dengan tenang, meskipun jelas ia mendengar semuanya.
"Ada apa, Pa?" tanya Rein akhirnya, memecah keheningan.
Mattheo menghela napas. "Mr. Tano tiba-tiba mengganti penjaganya. Padahal aku yang merekomendasikan perusahaan itu. Aneh, sepertinya ada sesuatu yang tidak biasa."
Rein mengangguk perlahan, meski tidak sepenuhnya paham situasi. Reymond, yang sejak tadi diam, hanya memandang mertuanya tanpa banyak reaksi, meneguk kopinya pelan, seolah menimbang apakah situasi itu penting untuknya atau tidak.
****
📍Hotel
Pintu kaca otomatis hotel bintang lima itu membuka dengan perlahan saat Yubin melangkah masuk. Di tangannya, sebuah kartu nama putih dengan tulisan tegas Nano, Secretary of Mr. Tano. Ia memandangi kartu itu dengan ekspresi yang tak bisa ditebak—antara ragu dan cemas. Matanya menatap ke sekeliling lobi hotel yang mewah, dengan marmer mengilap dan lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya keemasan.
Yubin menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya. Setelah bertanya kepada resepsionis, ia duduk di salah satu sofa empuk di lobi, mencoba mengatur napasnya. Tidak lama kemudian, seorang pria berjas abu-abu dengan sikap profesional mendekatinya.
"Yubin?" panggil pria itu dengan suara tegas namun ramah.
"I-iya," jawabnya sambil berdiri.
"Kita bertemu lagi. Saya Nano, sekretaris Mr. Tano. Ikuti saya," kata pria itu, memberi isyarat dengan tangannya.
Yubin mengikuti Nano melewati lorong hotel yang panjang dan menuju lift eksklusif. Mereka turun ke sebuah area yang terbuka, tempat lapangan golf pribadi berada di belakang hotel. Udara segar langsung menyambut mereka, dengan pemandangan hijau yang menyejukkan mata. Di kejauhan, terlihat seorang pria berusia pertengahan 40-an sedang memegang stik golf, memukul bola ke arah bendera kecil di tengah lapangan.
"Itu Mr. Tano," kata Nano, memberi isyarat agar Yubin mendekat.
Langkah Yubin terasa berat, namun ia mencoba menyembunyikan kegugupannya. Mr. Tano, pria tinggi dengan postur tegap, berbalik begitu menyadari kedatangan mereka. Senyum tipis tersungging di wajahnya saat ia mendekati Yubin.
"Ah, Yubin. Akhirnya kita bertemu," sapanya dengan nada ramah namun penuh wibawa. "Bagaimana kabar Anda? Semuanya baik-baik saja?"
Yubin mengangguk sedikit gugup. "Ya, semuanya baik, Pak. Terima kasih."
Mr. Tano mengangguk, memandang Yubin seolah sedang menilai. Ia meletakkan stik golfnya ke rak di dekatnya dan melipat kedua tangannya di depan dada.
"Yubin," katanya pelan namun tegas, "saya ingin meminta pendapat Anda. Apa menurut Anda saya harus melanjutkan kerja sama dengan Mvvo?" tanyanya tanpa basa-basi.
Pertanyaan itu membuat Yubin terdiam. Matanya melebar sedikit, sementara pikirannya bergulat dengan berbagai kemungkinan. Apa yang harus ia katakan? Ia tahu, Mvvo adalah perusahaan yang di bawah pengawasan Mattheo—atasannya sendiri, yang begitu mengerikan, karena sikap jahatnya. Namun, berbicara jujur kepada orang seperti Mr. Tano bisa jadi langkah berbahaya.
"Saya..." Yubin ragu-ragu, menunduk sejenak.
Mr. Tano melihat keraguan itu dan melangkah lebih dekat, menepuk bahu Yubin dengan ringan. "Tidak perlu takut. Saya menghargai kejujuran. Anda aman di sini."
Kata-kata itu memberi sedikit kelegaan pada Yubin, meskipun dadanya masih terasa sesak. Dengan suara pelan, ia berkata, "Mvvo memiliki potensi, Pak. Tapi... ada beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan."
Mr. Tano mengangkat alis. "Hal-hal seperti apa?"
Yubin ragu lagi, namun ia memberanikan diri. "Lingkungan di Mvvo terkadang... sulit, Pak. Tidak semua orang di sana memiliki niat yang baik."
Mr. Tano tersenyum tipis, lalu tertawa kecil, sebuah tawa yang penuh arti. "Saya sudah menduga hal itu," katanya. "Jujur saja, saya hanya ingin bekerja dengan orang-orang yang sehat, baik secara mental maupun moral. Saya tidak suka berada di sekitar orang-orang... brengsek."
Nada terakhir itu keluar dengan penekanan yang jelas, membuat Yubin langsung mengerti siapa yang disindir oleh Mr. Tano. Ia hanya bisa menunduk, tidak berani menanggapi lebih jauh. Dalam hatinya, ia tahu ucapan itu mengarah pada Mattheo, presiden direksi Mvvo, yang sering kali melakukan pelecehan s*ksual terhadap karyawan perempuan dan talent-talent perempuan.
Mr. Tano kembali menepuk bahu Yubin. "Kamu orang baik, Yubin. Saya harap kamu tetap seperti ini."
"Terima kasih, Pak," jawab Yubin pelan, merasa lega namun sekaligus semakin terjebak dalam dilema yang lebih besar.