Arumi harus menelan kekecewaan setelah mendapati kabar yang disampaikan oleh Narendra, sepupu jauh calon suaminya, bahwa Vino tidak dapat melangsungkan pernikahan dengannya tanpa alasan yang jelas.
Dimas, sang ayah yang tidak ingin menanggung malu atas batalnya pernikahan putrinya, meminta Narendra, selaku keluarga dari pihak Vino untuk bertanggung jawab dengan menikahi Arumi setelah memastikan pria itu tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
Arumi dan Narendra tentu menolak, tetapi Dimas tetap pada pendiriannya untuk menikahkan keduanya hingga pernikahan yang tidak diinginkan pun terjadi.
Akankah kisah rumah tangga tanpa cinta antara Arumi dan Narendra berakhir bahagia atau justru sebaliknya?
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada calon suami Arumi hingga membatalkan pernikahan secara sepihak?
Penasaran kisah selanjutnya?
yuk, ikuti terus ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17
Arumi berjalan cepat setelah turun dari ojeknya sambil menenteng tas bekal dari sang mertua. Senyumnya terus mengembang ketika mendapatkan perlakuan hangat dari mertuanya, bahkan ia juga diwanti-wanti untuk selalu berhati-hati dalam bekerja. Arumi hendak masuk. Akan tetapi, langkahnya terhenti ketika mendengar seruan dari seseorang.
“Eh, OB, sini kamu!” Seorang wanita berkaca mata hitam serta berpenampilan begitu terbuka melambaikan tangan ke arah Arumi.
“Saya, Mbak?” Arumi menunjuk ke dirinya sendiri.
“Iya! Cepetan ke sini!”
Arumi yang tadinya hendak masuk pun urung dan memilih menghampiri wanita yang saat ini berdiri di samping bangunan kantor.
“Ada apa, ya, Mbak?” tanya Arumi sambil memindai wanita cantik di hadapannya.
“Kamu tahu Narendra? Hari ini dia masuk kerja nggak?” tanyanya dengan nada penasaran.
Arumi mengernyitkan keningnya heran. Ia bertanya-tanya, siapakah wanita di hadapannya dan untuk apa mencari suaminya.
“Hei! Ditanya malah bengong!” seru wanita itu kesal. Ia melepas kacamatanya kemudian melotot menatap Arumi.
“Ma-maaf, Mbak. Mungkin masuk, Mbak. Saya tidak tahu,” jawab Arumi ragu.
Wanita itu mendesah pelan. “Biasanya bos kamu itu masuknya jam berapa? Masak nggak tahu, sih? Ah, sudahlah … bicara sama kamu bikin aku naik darah aja. Sudah, sana pergi!” usirnya sambil mengibaskan tangannya ke udara.
Arumi berbalik meninggalkan wanita itu. Namun, meski. Begitu, pikirannya tetap bertanya-tanya akan hubungan wanita itu dengan suaminya.
Nantilah aku tanyain, batin Arumi.
Di perusahaan itu Arumi bekerja di bagian belakang, ia membersihkan kamar mandi, membuatkan minuman, dan menyiapkan beberapa keperluan yang diminta oleh kepala kebersihan. Sehingga, Arumi jarang bertemu dengan karyawan kantor lainnya apalagi Bos besarnya. Selama ia bekerja, ia sama sekali belum pernah bertemu dengan bosnya.
***
Narendra sudah duduk manis di ruang kerjanya. Matanya tampak jeli meneliti pekerjaannya. Hari sudah beranjak siang, tetapi pria itu belum sama sekali membasahi tenggorokannya yang kering.
Ia segera menghubungi Satria untuk membawakan kopi karena matanya kini sedikit mengantuk sebab semalam ia tidur terlalu larut.
“Hah, bagaimana bisa aku membuat Arumi terus menerus bekerja sementara aku bisa memberikan dia nafkah yang cukup,” gumam Narendra pelan.
Tadi pagi ketika sampai di kantor, Narendra tanpa sengaja melihat Arumi tengah mengepel lantai di bagian lorong menuju pantry. Ingin sekali Narendra memanggil Arumi dan memintanya untuk pulang, tetapi ia tidak memiliki cukup keberanian. Ia takut Arumi salah paham padanya sehingga ia memilih untuk terus berjalan menuju ke arah lift.
Arumi yang baru saja hendak beristirahat tiba-tiba saja dipanggil oleh Bu Desi—kepala kebersihan—untuk.menghadap padanya.
“Arumi, tolong ke sini sebentar, saya ada perlu,” pintanya cepat.
“Ada apa, Bu?”
“Tolong buatkan kopi dan antar sekalian ke ruangannya Pak Direktur, ya, saya lagi kebelet mau ke kamar mandi. Tolong, Arumi. Cepat, ya!” Bu Desi berseru sambil berlari menuju ke arah kamar mandi.
Arumi segera membuatkan kopi sesuai pesanan yang tertulis di buku catatan. Setelah selesai ia segera membawanya menuju ruangan direktur yang terletak di lantai tiga.
Kok aku jadi deg-degan, ya, batin Arumi.
Tok! Tok!
“Masuk!”
Mendengar seruan dari dalam, Arumi tiba-tiba menegang. Ini adalah kali pertama ia akan masuk ke ruangan atasannya. Dengan menguatkan tekadnya, Arumi segera memutar pegangan pintu kemudian membukanya dengan perlahan.
Terlihat seorang pria tengah duduk di balik laptop yang hanya terlihat samar di mata Arumi. Wanita itu segera mendekat dan meletakkan kopi pesanan atasannya ke atas meja.
“Kopinya, Tuan–”
Deg!
Mata Arumi hampir lepas ketika melihat Narendra yang tengah sibuk menatap laptopnya. Wanita itu beberapa kali mengerjapkan matanya berharap yang ia lihat bukankah Narendra, suaminya.
“Arumi?” Narendra juga sama terkejutnya. Ia bahkan langsung beranjak dari duduknya dan menghampiri Arumi yang masih mematung di tempatnya.
“Ja-jadi, kamu Pak Rendra? Naren, Rendra? Narendra? Hah?” lirihnya dengan napas tercekat.
Arumi kembali teringat percakapan semalam. Kata-kata perusahaan, kakek Vino, uang pembangunan, Dicicil, lunas, sekarang seakan memenuhi isi kepalanya.
Astaga, Arumi baru tersadar akan hal itu, padahal tadi pagi juga ada seorang wanita yang mencari Narendra, bosnya. Bisa-bisanya Arumi baru tersadar setelah banyaknya fakta yang ada.
“Kamu benar-benar tidak mengenalku?”
Arumi menggeleng pelan. “Jadi kamu Direktur di sini? Astaga, bagaimana bisa aku tidak tahu. Yang ku tahu namanya Rendra. Aku pikir itu bukan kamu.”
Narendra membimbing Arumi untuk duduk di kursinya, ia langsung memberikan segelas air putih untuk Arumi yang terlihat masih syok siang ini.
“Sudah tenang?”
Arumi mengangguk pelan. “Jadi, aku menikahi anak pemilik perusahaan? Apa aku sedang bermimpi menjadi cinderella?” tanya Arumi dengan tatapan kosong.
“Tidak, kamu tidak sedang bermimpi, Arumi. Ini kenyataannya.”
Arumi kembali menatap Narendra. Pantas saja selama ini Narendra selalu berpenampilan rapi bak seorang bos muda. Ternyata dugaannya tidak meleset sama sekali, suaminya benar-benar seorang bos.
Hal itu membuat Arumi kembali berkecil hati. Ia pikir, seorang Narendra pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari dirinya. Kini, Arumi kembali berpikir ulang untuk meneruskan pernikahannya dengan Narendra.
Tok! Tok!
“Tuan–” Satria termangu dan menghentikan langkahnya ketika melihat atasannya bersama seorang OG di sana. “maaf.” Satria segera berbalik Arah dan kembali keluar.
Arumi sendiri segera beranjak dari kursi Narendra dan menunduk takut. “Terima kasih atas bantuannya, Tuan. Saya permisi,” pamit Arumi sembari menunduk dalam.
Arumi dengan cepat segera keluar dari ruangan Narendra. Sampai di luar, ia kembali bertemu dengan Satria, Arumi hanya menunduk—mengangguk—ke arah pria yang saat ini tengah kebingungan itu.
“Permisi, Tuan.”
🤪🤪🤣🤣🤣🤣