Hamdan seorang siswa SMA kelas dua. Sedari kecil sudah tinggal di Panti sehingga dia tidak pernah tahu akan keberadaan orang tuanya.
Hamdan sangat suka silat tapi dia tidak punya bakat.
Setiap kali latihan, dia hanya jadi bahan ledekan teman-temannya serta omelin Kakak pelatihnya.
Suatu hari Hamdan dijebak oleh Dewi, gadis pujaan hatinya sehingga nyawanya hampir melayang.
Tak disangka ternyata hal itu menjadi asbab berubahnya takdir Hamdan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Didiskualifikasi
Pertandingan silat terus berlangsung walau pun tadi sempat terkendala sebentar.
Cedera Tanto tidak parah sehingga hanya dalam waktu sebentar, dia sudah kembali ke tempat Kak Seto dan Zaki.
Karena tadi Kak Seto langsung melemparkan kain putih sebagai pertanda menyerah, sehingga otomatis lawannya akan menang.
Di tengah hiruk-pikuk pertarungan silat yang semakin memanas di gelanggang, Kak Seto, Tanto, dan Zaki beserta kepala sekolah yang kebetulan hadir untuk menonton pertandingan, memutuskan untuk diam-diam meninggalkan ruangan. Mereka merasa malu dan tidak nyaman dengan situasi yang terjadi.
Dengan langkah cepat dan hati-hati, mereka berjalan menuju pintu keluar.
Untung lah Kepala sekolah mengenakan topi dan kacamata hitam sehingga bisa menyamarkan identitasnya.
Dia berharap tidak ada orang yang mengenalinya terutama sesama Kepala Sekolah dari sekolah yang lain.
Oleh karena itu, dia tetap berusaha bergerak secepat mungkin agar bisa segera meninggalkan tempat tersebut tanpa menarik perhatian.
Di luar ruangan, baru lah mereka menarik napas lega. Kak Seto mengusulkan agar mereka segera pulang dan melupakan insiden yang terjadi di dalam.
Mereka pun berjalan menuju tempat parkir dengan perasaan lega, namun juga sedikit risau karena tidak ingin kejadian ini tersebar luas.
Setelah keluar dari area SMAN 1 itu, Kepala Sekolah mengajak Kak Seto bicara empat mata di salah satu kedai kopi.
"Kak Seto, saya sangat kecewa dengan hasil seleksi silat tahun ini. Tanto dan Zaki, yang kita harapkan dapat mengharumkan nama sekolah, malah kalah di babak penyisihan." Ujar Kepala Sekolah.
"Saya juga merasa sangat malu, Pak Kepala Sekolah. Sebagai pelatih mereka saya sudah berusaha keras melatih mereka dan menyiapkan mereka sebaik mungkin."
"Pada hal saat latihan mereka menunjukkan peforma yang bagus." Kak Seto tak ingin namanya sebagai Pelatih menjadi tercemar.
"Mungkin ada yang kurang dalam persiapan kita, atau mungkin mereka terlalu tegang dan tidak bisa mengeluarkan kemampuan terbaik mereka saat pertandingan berlangsung."
"Jika nyali sudah kena, sebanyak apa pun teknik yang sudah Kak Seto ajarkan, tidak akan ada gunanya."
"Bisa jadi, Pak. Kita perlu evaluasi lagi metode pelatihan kita. Mungkin kita bisa tambahkan sesi untuk melatih mental mereka agar tidak mudah gugup di bawah tekanan."
"Betul, itu ide yang bagus, Kak Seto. Jangan sampai tahun depan, hal yang memalukan seperti ini terulang lagi. Jika pun terpaksa kalah, ya setidaknya sudah masuk final lah, masa baru babak penyisihan sudah gugur."
"Siap, Pak. Kita akan berusaha sebaik mungkin." Janji Kak Seto.
"Oh ya, di mana Hamdan? Saya tidak melihatnya di tempat pertandingan tadi? Apa kah dia sudah kalah duluan?"
Kepala Sekolah tidak menaruh harapan sama sekali terhadap Hamdan.
Jika bukan karena campur tangan seseorang yang dia takuti, maka dia tidak akan pernah memasukkan Hamdan ke dalam tim yang akan ikut seleksi.
Kak Seto langsung mendengus.
"Dia siswa yang penakut, Pak. Tidak punya nyali sama sekali." katanya dengan nada meremehkan.
"Jangankan ikut bertanding, dia malah tidak berani masuk ke dalam ruangan pertandingan itu."
Kepala sekolah mengernyitkan dahinya, memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulut Kak Seto.
"Kamu serius, Kak Seto? Apakah dia separah itu?"
Kak Seto mengangguk dengan tegas.
"Benar, Pak. Saya melihatnya sendiri. Dia bahkan tidak mau mendekati ruangan itu, apalagi ikut bertanding."
Perlahan, emosi Kepala Sekolah mulai terpancing. Dia tidak ingin ada siswa yang tidak memenuhi harapan di sekolahnya, apalagi dalam hal keberanian dan tanggung jawab.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Saya tidak menyangka Hamdan bisa seperti itu," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Kak Seto.
Kepala Sekolah menghela napas panjang.
"Jika benar Hamdan pengecut seperti yang kamu katakan, dia perlu diberi sanksi."
Kak Seto menundukkan kepala sedikit, menyembunyikan senyum puas di wajahnya. Kepala Sekolah berdiri dari kursinya, matanya menyala dengan tekad.
"Terima kasih atas informasinya, Kak Seto. Saya akan menangani masalah ini dengan serius."
...****************...
"Perhatian kepada peserta, mohon bersiap-siap, karena sebentar lagi akan dilaksanakan pertandingan antara Hamdan dari SMA Selat Panjang yang akan berhadapan dengan Sapta dari SMK. Hamdan berada di sudut merah dan Sapta di sudut biru."
"Kepada Hamdan dan Sapta, harap segera menuju ke tempat timbang ulang. Terima kasih."
"Apa? SMA Selat Panjang masih ada utusan? Yang mana?"
"Aku tak tahu. Sedari tadi tak ada kelihatan seperti siswa SMA Selat Panjang di sini."
"Apakah dia minta dipukuli lagi hingga lari terbirit-birit seperti kawan dia sebelumnya? He he."
"Orang-orang dari SMA Selat Panjang satu pun tidak ada lagi." Ujar yang lain.
Mereka telah melihat sekitar ruangan ini, tak ada seorang pun yang berjalan menuju timbangan kecuali Sapta, siswa SMK.
"Ayo Sapta, kamu pasti bisa!"
"Nampaknya Sapta akan menang tanpa bertanding."
"Salut buat Sapta, nasibnya mujur sekali."
Setelah selesai timbang berat badan, Sapta langsung menuju gelanggang.
Wasit dan Juri pun sudah mengambil posisi masing-masing.
"Kami panggil peserta yang bernama Hamdan agar segera timbang ulang..."
"Hamdan perwakilan dari SMA Selat panjang agar segera timbang ulang..."
Semua mata penonton tertuju kepada pembawa acara.
Bagai mana, ketua?"
Pembawa acara bertanya kepada Ketua Pertandingan.
Jika terjadi hal seperti ini, keputusan ada pada Ketua Pertandingan.
Setelah berpikir sejenak, Ketua pertandingan pun berkata, "Peserta bernama Hamdan didiskualifikasi saja."
"Baik, Ketua."
Pembawa acara mendekatkan microphone. "Karena peserta bernama Hamdan, perwakilan dari SMA Selat Panjang, tidak hadir setelah tiga kali panggilan, maka dia dinyatakan didiskualifikasi dan Sapta yang berada di sudut biru dinyatakan..."
"Tunggu dulu...!!!"
Pintu ruangan terbuka dengan suara keras. Hamdan datang dengan tergesa-gesa.
"Mohon beri saya kesempatan untuk bertanding, Pak. Saya benar-benar minta maaf atas keterlambatan saya."
"Tidak bisa. Kamu sudah didiskualifikasi karena tidak hadir tepat waktu."
"Saya mohon, tolong dipikirkan lagi, Pak."
Ketua Pertandingan menjadi marah). "Kamu pikir kamu siapa?"
Hamdan tampak terkejut dan tidak bisa menjawab.
"Pokoknya saya tak peduli apa alasan keterlambatan kamu. Yang namanya terlambat tetap terlambat. Tak ada dispensasi bagi siapa pun juga."
"Huu..." Para penonton menyoraki Hamdan.
"Dasar tak tahu diri! Sudah datang terlambat tapi minta dispensasi."
"Dia kira, aturan bisa dia rubah seenak isi perutnya saja."
Hamdan hanya bisa tertunduk lesu, menyadari bahwa usahanya untuk berpartisipasi dalam pertandingan telah berakhir. Ia tidak bisa ikut bertanding, rasa kecewa dan penyesalan terlihat jelas di wajahnya.
Tentu saja dia tidak menyesali penyebab keterlambatan dia datang ke sini.
Dia hanya menyesal, karena tidak mempunyai kesempatan untuk mengharumkan nama sekolahnya.
Hamdan melihat sekeliling, dia tidak mendapati seorang pun dari SMA Selat Panjang.
"Di mana mereka?"