NovelToon NovelToon
Mira: Jiwa Api, Darah Malam

Mira: Jiwa Api, Darah Malam

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Vampir
Popularitas:824
Nilai: 5
Nama Author: revanyaarsella

Mira Elvana tidak pernah tahu bahwa hidupnya yang tenang di dunia manusia hanyalah kedok dari sesuatu yang jauh lebih gelap. Dibalik darahnya yang dingin mengalir rahasia yang mampu mengubah nasib dua dunia-vampir dan Phoenix. Terlahir dari dua garis keturunan yang tak seharusnya bersatu, Mira adalah kunci dari kekuatan yang bahkan dia sendiri tak mengerti.

Ketika dia diculik oleh sekelompok vampir yang menginginkan kekuatannya, Mira mulai menyadari bahwa dirinya bukanlah gadis biasa. Pelarian yang seharusnya membawa kebebasan justru mempertemukannya dengan Evano, seorang pemburu vampir yang menyimpan rahasia kelamnya sendiri. Mengapa dia membantu Mira? Apa yang dia inginkan darinya? Pertanyaan demi pertanyaan membayangi setiap langkah Mira, dan jawabannya selalu membawa lebih banyak bahaya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon revanyaarsella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 32: Keraguan yang Menggelora

Malam semakin larut, namun pikiran Mira tak kunjung tenang. Kegelapan hutan yang baru saja dilaluinya seakan terus membayangi langkahnya kembali ke kastil. Kata-kata berputar di benaknya, mengisi ruang kosong yang dihasilkan oleh kegelapan malam. Evano, sosok yang selama ini selalu ada di sisinya, ternyata menyimpan rahasia besar? Bagaimana mungkin? Setiap kali ia mencoba mengabaikan peringatan Rayan, rasa curiga yang tak terhindarkan kembali muncul, menghantuinya.

Mira melangkah perlahan melewati koridor kastil. Setiap langkahnya menggema di lantai marmer yang dingin, menciptakan suara sunyi yang teramat nyata. Seluruh ruangan tampak sepi, seolah memantulkan kekosongan yang ia rasakan di dalam hatinya. Para pelayan sudah beristirahat, dan hanya suara angin malam yang terdengar samar-samar dari luar jendela.

Saat Mira sampai di depan pintu kamar Evano, keraguannya semakin mendalam. Ia berhenti, tangannya ragu-ragu mengangkat untuk mengetuk pintu. Apa yang sebenarnya ia harapkan? Jawaban? Atau konfirmasi atas kecurigaan yang baru saja tertanam di benaknya? Dengan tarikan napas dalam, ia mengetuk pintu perlahan.

“Masuk.”

Suara berat Evano terdengar dari dalam, meski lemah karena luka yang dideritanya. Mira membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Di dalam kamar, Evano duduk di tepi ranjang, wajahnya pucat, namun matanya tetap tajam. Luka di sisi tubuhnya masih dibalut perban, dan meskipun ia terlihat lelah, tatapan matanya menunjukkan kekuatan yang tersisa.

“Mira…” Evano menatapnya dalam-dalam, seolah menyadari ada sesuatu yang tak beres. “Ada yang ingin kau bicarakan?”

Mira berdiri diam sejenak, merasakan beban yang seakan menghantam dadanya. Rasa ragu dan curiga bercampur dengan kasih sayang yang selama ini ia rasakan untuk Evano. Ia tak bisa langsung mengucapkan apa yang mengganggu pikirannya.

“Kau butuh sesuatu?” tanya Evano lagi, kali ini suaranya lebih lembut, seperti ingin meyakinkan Mira bahwa semuanya baik-baik saja.

Namun Mira tak bisa menahan lagi, pertanyaan itu keluar sebelum ia bisa menahannya. “Apakah kau menyembunyikan sesuatu dariku, Evano?”

Ruangan seketika menjadi lebih sunyi, seolah waktu berhenti. Evano terdiam, matanya masih tertuju pada Mira, namun kali ini ada kilatan perasaan yang sulit diterjemahkan di sana—campuran antara keterkejutan dan sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap.

“Apa maksudmu?” tanyanya, meskipun nadanya menunjukkan bahwa ia tahu lebih dari yang diungkapkannya.

Mira menggigit bibirnya, menatap Evano tanpa berkedip. “Rayan—utusan Kuil Kegelapan—dia mengatakan padaku bahwa kau punya hubungan dengan mereka. Bahwa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku. Benarkah itu?”

Evano tampak menghela napas panjang, menutup matanya sejenak sebelum membukanya kembali. Ada ketegangan yang begitu jelas di wajahnya, dan Mira bisa merasakan bahwa jawaban yang akan ia dapatkan bukanlah sesuatu yang mudah diterima.

“Rayan…” gumam Evano, suaranya penuh penyesalan. “Seharusnya aku tahu dia akan mencoba mendekatimu.”

Mira semakin bingung. “Jadi itu benar? Kau… berhubungan dengan Kuil Kegelapan?”

Evano menundukkan kepalanya, seperti mencoba menemukan cara untuk menjelaskan sesuatu yang begitu kompleks. “Mira, dengar… tidak semua hal sesederhana yang terlihat. Apa yang Rayan katakan mungkin memiliki sedikit kebenaran, tapi dia tidak menceritakan semuanya.”

Mira merasakan dadanya bergetar, perasaan marah, kecewa, dan bingung semuanya bercampur menjadi satu. “Apa maksudmu? Kau sudah bersekongkol dengan mereka? Setelah semua yang kita lalui?”

Evano langsung berdiri dari tempat duduknya, meski dengan susah payah karena lukanya. “Aku tidak pernah bersekongkol dengan Kuil, Mira! Aku tidak pernah berpihak pada mereka!” Nada suaranya terdengar tegas, namun ada kepedihan yang jelas terlihat di matanya. “Tapi masa laluku… aku tidak bisa menghapusnya begitu saja.”

Mira menatapnya tanpa berkedip. “Masa lalu?”

Evano mengangguk, wajahnya penuh beban. “Kuil Kegelapan… dulu mereka adalah bagian dari hidupku, sebelum aku bertemu denganmu, sebelum aku menyadari apa yang sebenarnya penting. Aku dibesarkan dalam bayangan mereka. Mereka mencoba memanfaatkan kekuatanku, tapi aku melawan mereka. Aku meninggalkan mereka.”

Mira merasa dadanya semakin sesak. Setiap kata yang keluar dari mulut Evano bagaikan tamparan keras yang mengguncang dunianya. “Jadi, kau pernah menjadi bagian dari mereka?”

Evano menundukkan kepalanya lagi, seolah-olah beban masa lalu itu kembali menghantamnya. “Ya. Tapi aku tidak pernah memilih jalan mereka, Mira. Sejak aku bertemu denganmu, aku tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari kegelapan yang mereka tawarkan. Aku memilih untuk melindungi dunia ini, untuk melindungi kau.”

Mira menggelengkan kepalanya, perasaan kecewa dan terluka semakin besar. “Kenapa kau tidak pernah memberitahuku sebelumnya? Kenapa kau menunggu sampai Rayan yang mengatakannya?”

“Karena aku takut,” jawab Evano dengan jujur. “Aku takut kau akan melihatku sebagai bagian dari mereka, padahal aku berusaha sekuat tenaga untuk menjauh dari itu semua. Aku takut kehilangan kepercayaanmu, Mira.”

Keheningan mengisi ruangan, dan Mira hanya bisa menatap Evano dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia ingin mempercayai Evano, seperti yang selalu ia lakukan. Tapi di sisi lain, rasa pengkhianatan tak bisa diabaikan begitu saja.

“Aku tidak tahu harus percaya apa lagi sekarang,” ucap Mira lirih, suaranya dipenuhi oleh rasa sakit yang terpendam.

Evano mendekat, meski langkahnya tertatih karena lukanya. “Percayalah padaku, Mira. Segala yang kulakukan, semuanya demi melindungimu. Aku telah memutuskan untuk meninggalkan masa lalu, meninggalkan Kuil Kegelapan. Aku bukan lagi bagian dari mereka.”

Mira memalingkan wajahnya, air mata yang selama ini ia tahan mulai menggenang di matanya. “Tapi bagaimana aku bisa yakin? Bagaimana aku tahu kau tidak menyembunyikan hal lain dariku?”

Evano berdiri di hadapannya, menatap Mira dengan mata yang penuh penyesalan dan rasa bersalah. “Aku akan memberitahumu segalanya, Mira. Setiap rahasia, setiap bagian dari masa lalu yang kutinggalkan. Aku tak ingin ada lagi yang disembunyikan darimu.”

Mira tak menjawab. Ia masih berjuang dengan perasaannya sendiri—antara ingin mempercayai Evano atau terjebak dalam rasa curiga yang semakin dalam.

Keheningan itu terasa begitu lama, hingga akhirnya Mira menghela napas panjang. Ia memandang Evano, melihat kesungguhan di matanya, namun masih ada keraguan yang menggelora di hatinya.

“Baiklah,” ucapnya pelan, suara Mira bergetar. “Aku akan mendengarkanmu. Tapi kau harus jujur, Evano. Segala sesuatu yang kau sembunyikan—aku ingin tahu.”

Evano mengangguk, wajahnya serius. “Aku berjanji, Mira. Aku akan menceritakan semuanya. Namun, kau harus bersiap. Ada hal-hal yang mungkin sulit kau terima.”

Mira menatapnya, merasakan ketegangan yang menjalar di antara mereka. “Apakah itu menyangkut Kuil Kegelapan? Atau ada hal lain yang harus aku tahu?”

Evano menarik napas dalam-dalam, seperti menyiapkan diri untuk membeberkan sesuatu yang berat. “Kuil Kegelapan memang ada hubungannya. Namun, ada lebih dari itu. Ada kekuatan yang mengancam kita, dan aku terlibat dalam itu lebih dari yang kau bayangkan.”

Kata-kata Evano membuat Mira merinding. “Apa maksudmu? Apa ada yang mengancam kita sekarang?”

“Ya,” jawab Evano tegas. “Ada kekuatan yang ingin memanfaatkan aku untuk tujuan jahat. Dan aku harus berjuang tidak hanya untuk diriku, tapi juga untuk melindungimu.”

Mira merasakan hatinya berdebar. “Tapi… kenapa semua ini tidak kau ceritakan sebelumnya? Kenapa kau memilih untuk menyembunyikannya?”

“Karena aku tidak ingin membuatmu khawatir,” Evano menjawab dengan suara pelan. “Aku ingin kau fokus pada apa yang ada di depan kita, bukan pada masa lalu yang kelam. Tapi kini, aku sadar bahwa kejujuran adalah hal terpenting di antara kita.”

Mira merasa cemas. “Apa yang harus kita lakukan sekarang? Bagaimana kita bisa menghadapi semua ini?”

Evano mendekat, meraih tangannya dengan lembut, seolah-olah ingin memberikan kekuatan di saat keraguan menyelimuti mereka. “Kita harus bersatu, Mira. Kita perlu merencanakan langkah-langkah kita dengan hati-hati. Aku akan membagikan semua informasi yang aku miliki tentang Kuil Kegelapan dan rencana mereka. Kita harus tahu siapa musuh kita dan apa yang mereka inginkan.”

Mira menatap mata Evano, mencari ketenangan di dalamnya. Namun, bayang-bayang kegelapan tetap melingkupi pikirannya. “Tapi jika kau terlibat, bagaimana aku bisa mempercayai bahwa kita berada di pihak yang benar?”

Evano menundukkan kepalanya, tampak berjuang dengan kata-katanya. “Aku tahu itu sulit, dan aku tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi aku telah berjuang melawan Kuil Kegelapan, Mira. Aku tidak ingin kau terjebak dalam konflik ini. Aku ingin melindungimu, meskipun itu berarti aku harus menghadapi masa lalu yang ingin aku lupakan.”

Mira merasakan ada ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan Evano. “Apakah kau akan kembali ke mereka?” tanyanya pelan, meski hatinya sudah tahu jawabannya.

“Tidak!” Evano berseru, matanya menyala dengan semangat. “Aku tidak akan kembali ke sana. Aku akan melawan mereka. Bersama-sama, kita akan menghentikan mereka sebelum mereka bisa memanfaatkan kekuatanku. Kita tidak bisa membiarkan kegelapan mengambil alih.”

Mira mengangguk perlahan, merasa semangat Evano mengalir ke dalam dirinya. “Baiklah. Jika kita akan menghadapi ini bersama, kita harus membuat rencana. Kita tidak bisa melakukannya sendirian.”

“Benar,” jawab Evano, kembali mengambil tempat duduk di tepi ranjang. “Aku akan membagikan informasi yang aku miliki. Namun, kita juga perlu mencari sekutu. Kita tidak tahu seberapa besar kekuatan Kuil Kegelapan saat ini.”

Mira merasa semangatnya pulih. “Kita bisa menghubungi para pemimpin lain. Mungkin ada yang mau membantu kita.”

“Ya, kita perlu melakukannya dengan hati-hati. Kita tidak bisa menunjukkan kelemahan, apalagi jika Kuil Kegelapan mengawasi kita. Kita harus menyusun strategi dengan bijaksana,” kata Evano, sambil menggaruk-garuk dagunya.

Mira merasa ada harapan baru yang mulai tumbuh dalam hatinya. Meskipun ada keraguan, Evano berjuang untuk melindunginya. “Apa yang akan kau ceritakan padaku tentang Kuil Kegelapan?”

Evano mengangguk, meraih tangannya kembali. “Mereka tidak hanya organisasi gelap. Mereka adalah kelompok yang memiliki kekuatan supernatural. Aku tumbuh di dalamnya dan tahu banyak tentang cara mereka beroperasi. Mereka selalu mencari cara untuk mendapatkan kekuatan dari para pemimpin dan individu berpengaruh.”

“Apakah ada cara untuk menghentikan mereka?” Mira bertanya, merasa bersemangat.

“Ada,” kata Evano. “Namun, kita perlu mencari artefak kuno yang dapat melawan kekuatan mereka. Itu adalah satu-satunya cara untuk menghancurkan pengaruh mereka dan memastikan mereka tidak bisa kembali.”

“Artefak kuno? Di mana kita bisa menemukannya?” Mira penasaran.

“Tempat yang sangat rahasia. Aku hanya mendengar bisikan tentang itu dalam organisasi. Kita harus mencarinya dengan hati-hati, dan aku tahu kita bisa melakukannya bersama,” jawab Evano, menatap Mira dengan harapan.

Mira merasa seolah beban di pundaknya sedikit berkurang. “Aku siap, Evano. Kita akan menghadapi ini bersama.”

“Begitu aku keluar dari sini, kita akan pergi mencari informasi lebih lanjut. Kita akan mencari cara untuk mendapatkan artefak itu dan merencanakan langkah selanjutnya,” kata Evano, senyumnya penuh tekad.

Keberanian mulai kembali ke dalam diri Mira. Ia merasakan keinginan untuk berjuang, untuk tidak membiarkan kegelapan menguasai hidupnya. “Kita akan melakukannya,” ucapnya tegas.

Dengan semangat baru, Mira dan Evano merencanakan langkah-langkah selanjutnya, meskipun kegelapan dan keraguan masih menyelimuti hati mereka. Namun, di tengah semua itu, harapan akan masa depan yang lebih baik mulai menyala kembali.

Satu hal yang pasti: mereka tidak akan menghadapi kegelapan sendirian. Bersama-sama, mereka akan melawan semua ancaman yang datang, tidak peduli seberapa besar atau kuatnya itu. Mereka akan menjaga satu sama lain, karena cinta dan kepercayaan adalah senjata paling kuat di dunia yang penuh dengan kebohongan dan intrik ini.

Sebagai malam berlanjut, Mira tahu bahwa mereka berada di jalan yang berbahaya, namun dengan Evano di sisinya, ia merasakan kekuatan yang tak terduga. Dengan semangat baru, mereka bersiap menghadapi segala tantangan yang ada di depan.

Malam semakin larut saat Mira dan Evano merencanakan langkah-langkah mereka. Dengan setiap detik yang berlalu, ketegangan di udara semakin terasa, seolah hutan di luar kastil menyimpan ancaman yang lebih besar dari yang mereka bayangkan. Mira melihat Evano, yang tampak berjuang untuk tetap kuat meskipun lukanya masih menyakitkan.

“Kita perlu membuat daftar orang-orang yang bisa kita percaya,” ucap Mira, mencoba mengalihkan pikirannya dari kegelapan yang mengintai. “Siapa yang menurutmu bisa membantu kita?”

Evano mengerutkan kening, berpikir keras. “Pertama, ada Soren, pemimpin kelompok pemburu malam. Dia memiliki pengetahuan mendalam tentang Kuil Kegelapan dan mungkin bisa membantu kita menemukan artefak yang kita cari.”

Mira mengangguk. “Aku ingat Soren. Dia juga pernah membantu kita sebelumnya. Siapa lagi?”

“Selanjutnya, kita bisa mencari Alyssa,” kata Evano. “Dia seorang penyihir kuat yang mengetahui banyak tentang sejarah dan mitologi. Jika ada yang tahu tentang artefak kuno, itu dia.”

Mira merasa semangatnya semakin meningkat. “Kita harus menemui mereka secepat mungkin. Jika kita menunggu terlalu lama, Kuil Kegelapan mungkin mengambil langkah lebih dahulu.”

Evano mengangguk setuju. “Namun, kita harus melakukannya dengan hati-hati. Kita tidak bisa membiarkan Kuil Kegelapan mengetahui rencana kita.”

Mira merasakan tekanan di dadanya. “Aku takut, Evano. Jika mereka tahu, mereka bisa memanfaatkan kelemahan kita.”

“Tapi kita tidak akan membiarkan mereka menang,” jawab Evano tegas. “Bersama, kita akan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Kita akan mengejutkan mereka.”

Dengan semangat yang baru, mereka mulai membuat rencana. Mira mencatat setiap nama dan informasi yang mungkin berguna. Namun, semakin mereka mendalami rencana itu, semakin jelas bahwa jalan yang mereka pilih penuh dengan risiko.

Setelah beberapa saat berdiskusi, Evano menatap Mira. “Kau tahu, ada satu hal yang perlu kita bahas lebih lanjut—apa yang akan terjadi jika kita berhasil menemukan artefak itu. Kita perlu tahu bagaimana cara menggunakannya.”

Mira terdiam, merenungkan kata-kata Evano. “Kau benar. Kita harus memastikan kita memiliki semua informasi sebelum beraksi. Jika tidak, bisa jadi senjata itu malah berbalik melawan kita.”

“Dan kita harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk,” tambah Evano. “Kuil Kegelapan bisa memiliki lebih banyak kekuatan dari yang kita perkirakan.”

Dengan tekad yang kuat, Mira dan Evano melanjutkan perencanaan mereka hingga larut malam. Meskipun rasa cemas dan keraguan masih menghantui, mereka berusaha untuk tetap fokus pada tujuan mereka. Ketika mereka akhirnya beristirahat, Mira merasa bahwa mereka telah mengambil langkah pertama menuju pertempuran yang lebih besar.

Pagi menjelang, dan kabut tebal menyelimuti hutan di luar kastil. Cahaya lembut matahari mulai menyinari dinding-dinding kastil, menciptakan bayangan yang memanjang di lantai marmer. Mira dan Evano bersiap-siap untuk memulai perjalanan mereka.

“Mira, kau siap?” tanya Evano, mengamati wajahnya dengan seksama.

Mira mengangguk, meskipun perasaannya campur aduk. “Aku siap. Kita harus bergerak sekarang.”

Mereka meninggalkan kamar Evano dan menyusuri koridor menuju pintu keluar. Setiap langkah terasa berat, tetapi semangat mereka untuk melawan kegelapan menguatkan tekad mereka. Saat mereka tiba di pintu keluar, Mira menatap hutan yang terhampar di hadapan mereka, dan merasakan ketegangan di udaranya.

“Inginkan kau melawan kegelapan?” tanya Evano, menguatkan semangat Mira.

“Ya,” jawab Mira tegas. “Kita tidak bisa membiarkan mereka menang.”

Dengan langkah mantap, mereka melangkah keluar dari kastil, menatap jalan yang penuh tantangan di depan. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya, tetapi juga penuh harapan. Bersama, mereka akan mencari artefak kuno yang bisa menghentikan Kuil Kegelapan, dan mengungkap kebenaran yang selama ini tersembunyi.

Mira merasakan kekuatan Evano di sampingnya, dan meskipun mereka berada di jalur yang berbahaya, rasa percaya diri mulai tumbuh di dalam dirinya. Mereka tidak hanya berjuang untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk seluruh dunia yang terancam oleh kegelapan.

Di antara pepohonan yang menjulang tinggi dan suara angin yang berbisik, Mira bertekad untuk menghadapi semua rintangan yang akan mereka hadapi. Bersama Evano, ia tahu mereka akan berjuang untuk cahaya dalam kegelapan, tidak peduli seberapa dalam kegelapan itu berusaha menyelimuti mereka.

Mereka bergerak maju, siap menghadapi ancaman apa pun yang datang, karena saatnya untuk mengubah keraguan menjadi keberanian, dan ketidakpastian menjadi harapan. Saat langkah mereka semakin jauh, Mira merasakan semangat baru yang mengalir dalam dirinya, bersiap untuk pertempuran yang akan menentukan takdir mereka.

Setelah keluar dari kastil, cahaya pagi menyinari jalan setapak yang berkelok di antara pepohonan. Kabut tebal mulai perlahan menghilang, tetapi masih menyisakan rasa dingin yang menggigit. Mira menatap Evano, melihat ketekunan di wajahnya yang tegas. Mereka tidak punya waktu untuk disia-siakan.

“Ke mana kita harus pergi terlebih dahulu?” tanya Mira, berusaha menenangkan gejolak di dalam hatinya.

“Kita harus menuju ke tempat pertemuan Soren. Dia biasanya berkumpul di tepi Danau Silvan,” jawab Evano. “Dia seorang pemburu malam yang cerdik. Jika ada informasi tentang Kuil Kegelapan, dia yang paling mungkin mengetahuinya.”

Mira mengangguk, menyesuaikan langkahnya agar sejajar dengan langkah Evano. Keduanya melangkah cepat, hati mereka berdebar-debar dalam ketegangan yang tak terucapkan. Sepanjang perjalanan, Mira merasakan suasana di sekitar mereka berubah, seolah hutan itu hidup dengan mata-mata yang mengintai dari balik pepohonan.

“Apakah kau merasa kita diikuti?” Mira bertanya, menatap sekeliling dengan waspada.

Evano menanggapi dengan serius, “Kemungkinan. Kuil Kegelapan tidak akan membiarkan kita pergi tanpa memantau langkah kita. Kita harus tetap waspada dan tidak menunjukkan kelemahan.”

Mira mengangguk, meneguhkan tekadnya. “Kita harus bertindak cepat.”

Saat mereka terus berjalan, suara gemericik air dari Danau Silvan mulai terdengar. Hutan semakin sepi, dan ketegangan yang menyelimuti mereka semakin terasa. Akhirnya, mereka tiba di tepi danau, di mana permukaan air berkilau di bawah sinar matahari pagi.

Di sana, mereka melihat sosok tinggi dengan jubah gelap, berdiri di tepi danau, menatap jauh ke arah air. Itu adalah Soren, pemimpin kelompok pemburu malam yang mereka cari.

“Soren!” panggil Evano, melangkah maju dengan penuh keyakinan.

Soren berbalik, wajahnya menunjukkan keheranan. “Evano? Dan Mira? Apa yang membawa kalian ke sini?”

“Kami butuh bantuanmu,” jawab Mira, segera merasa lebih tenang melihat wajah akrab itu. “Kuil Kegelapan kembali bergerak, dan kami membutuhkan informasi tentang rencana mereka.”

Soren mengernyit, tampak serius. “Kuil Kegelapan? Mereka semakin berani. Mereka telah berusaha mengumpulkan kekuatan di balik layar. Ada rumor tentang artefak kuno yang mereka cari.”

“Apa yang kau tahu tentang artefak itu?” tanya Evano, bersiap untuk menyerap setiap informasi yang ada.

“Aku mendengar tentang lokasi artefak itu,” Soren menjelaskan. “Tapi tempat itu sangat berbahaya. Dikelilingi oleh makhluk-makhluk gelap yang setia kepada Kuil Kegelapan. Hanya mereka yang cukup kuat yang dapat mencapainya.”

Mira merasakan jantungnya berdebar. “Kita tidak punya pilihan lain. Kita harus pergi ke sana.”

“Baiklah,” Soren setuju, tetapi nada suaranya serius. “Namun, kita harus mempersiapkan diri dengan baik. Kita tidak bisa pergi tanpa persiapan. Jika tidak, kita bisa kehilangan nyawa kita.”

Evano menatap Mira, lalu mengangguk pada Soren. “Apa yang perlu kita lakukan?”

“Kita butuh perlengkapan yang cukup, termasuk senjata dan ramuan pelindung. Aku bisa membantumu mendapatkan apa yang kamu butuhkan,” kata Soren. “Tapi kita harus bergerak cepat sebelum mereka menyadari rencana kita.”

Mira merasa harapan tumbuh dalam dirinya. “Kita akan melakukannya. Apa yang perlu kita ambil?”

Soren memberi instruksi jelas tentang barang-barang yang diperlukan, dan dengan cepat, mereka mulai menyiapkan perlengkapan yang diperlukan. Dalam perjalanan ke tempat penyimpanan, ketegangan di udara semakin terasa. Setiap langkah terasa berat, seolah ada sesuatu yang mengintai dari bayang-bayang.

Ketika mereka tiba di tempat penyimpanan, Soren membuka pintu kayu tua yang berderit. Di dalam, ada berbagai senjata, ramuan, dan alat sihir. Mira terpesona melihat beragam perlengkapan yang bisa mereka gunakan.

“Pilihlah senjata yang paling kamu kuasai,” Soren menyarankan.

Mira melihat ke sekeliling, dan matanya tertuju pada sepasang belati berkilau. Dengan cepat, dia mengambilnya, merasakan keseimbangan yang sempurna di tangannya. Evano memilih pedang yang terlihat kokoh, dan Soren juga memilih busur dengan anak panah yang tajam.

“Sekarang, kita siap,” kata Soren, menatap mereka dengan serius. “Namun, ingatlah, makhluk-makhluk di luar sana tidak akan segan-segan menyerang jika mereka merasa terancam. Kita harus bergerak cepat dan hati-hati.”

Mira merasa adrenaline mengalir dalam dirinya. Mereka tidak hanya berhadapan dengan Kuil Kegelapan, tetapi juga dengan makhluk-makhluk yang siap menghalangi jalan mereka. “Kita bisa melakukannya,” katanya penuh keyakinan.

Mereka bertiga melangkah keluar dari tempat penyimpanan, bersiap menghadapi kegelapan yang akan menyambut mereka. Dengan perlengkapan yang telah dipersiapkan dan semangat yang menyala, Mira, Evano, dan Soren menatap jalan di depan mereka.

“Ini adalah awal dari pertempuran yang akan menentukan,” kata Soren. “Mari kita lakukan ini.”

Dengan langkah mantap, mereka bergerak maju menuju arah tujuan mereka, masing-masing menginginkan satu hal—menghentikan Kuil Kegelapan sebelum mereka bisa menyebarkan ancaman mereka lebih jauh. Bersama-sama, mereka siap menghadapi semua tantangan yang akan datang, tak peduli seberapa sulitnya. Karena kegelapan mungkin mengintai, tetapi cahaya harapan masih bersinar di dalam diri mereka.

Saat mereka melangkah menjauh dari tempat penyimpanan, suara alam mulai mengisi kesunyian di sekitar mereka. Namun, di dalam hati Mira, ketegangan semakin meningkat. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke kegelapan yang mengancam, dan dia tidak bisa mengabaikan rasa cemas yang melingkupi pikirannya.

“Jangan khawatir, Mira,” Evano berkata lembut, seolah bisa membaca perasaannya. “Kita sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Kita tidak sendiri.”

“Ya, aku tahu,” jawab Mira, mencoba untuk tenang. “Tapi aku merasa ada yang tidak beres. Seolah-olah sesuatu sedang menunggu kita.”

Soren memimpin jalan, matanya waspada terhadap setiap gerakan di sekitar mereka. “Kita harus tetap fokus. Kuil Kegelapan akan menggunakan segala cara untuk menghentikan kita. Mereka tahu kita mencari artefak itu.”

Mira mengangguk, berusaha mengalihkan pikirannya dari kegelapan yang mengintai. Mereka terus bergerak melalui hutan yang semakin lebat, dengan cabang-cabang pohon menjulang tinggi dan bayang-bayang yang menggerayangi di antara semak-semak. Setelah beberapa waktu, mereka mencapai tepi hutan dan melihat petunjuk menuju lokasi artefak itu.

“Ini dia,” Soren berkata, menunjuk ke arah jalan setapak yang memudar di antara pepohonan besar. “Kita harus melalui sini.”

“Mari kita bersiap-siap,” Evano berkata. “Tetap waspada, dan jangan terpisah.”

Dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan. Jalan setapak itu sempit dan dipenuhi dengan akar pohon yang menjulang ke atas, seolah berusaha menggenggam kaki mereka. Hutan menjadi semakin gelap, dan suara-suara hutan mulai memudar.

Ketika mereka mulai mendaki lereng, Mira merasa udara di sekitarnya berubah. Suasana semakin tegang, dan dia bisa merasakan keberadaan makhluk-makhluk gelap yang mengintai mereka dari balik bayang-bayang. Dia berusaha untuk tetap tenang, tetapi saat dia mendengar suara gemerisik yang tidak biasa, instingnya segera merespons.

“Stop!” Mira berteriak, menghentikan langkah mereka.

Soren dan Evano menoleh, mata mereka tajam. “Ada apa?” tanya Soren.

“Aku mendengar sesuatu,” kata Mira, menahan napasnya. “Sepertinya ada yang mengikuti kita.”

Soren mengeluarkan busurnya, siap untuk bertindak. “Siapkan senjata kalian.”

Saat mereka menunggu dalam ketegangan, tiba-tiba, dari balik semak-semak, muncul sosok gelap dengan mata bersinar merah menyala. Makhluk itu menyerang dengan cepat, memunculkan cakar yang tajam dan taring yang siap menerkam.

Mira tidak membuang waktu. Dia melemparkan belatinya dengan cepat, menghantam makhluk itu tepat di bagian samping. Makhluk itu mengeluarkan suara mengerikan, tetapi sebelum dia bisa mendapatkan keunggulan, dua makhluk lainnya muncul dari bayang-bayang.

“Evano!” teriak Mira, melawan insting untuk mundur. Dia bisa merasakan kekuatannya bangkit. Sebagai keturunan phoenix, api menyala di dalam dirinya, siap digunakan.

“Jaga belakangmu!” Evano memerintahkan, melibas pedangnya ke arah makhluk yang mendekat. Dalam hitungan detik, suasana tenang berubah menjadi kekacauan, suara benturan senjata dan jeritan makhluk mengisi udara.

Mira merasa nyala api mulai berkumpul di tangannya. Dengan sekali gerakan, dia memfokuskan energinya dan melepaskan gelombang api yang membakar makhluk yang berusaha menyerangnya. Api itu membakar sekelilingnya, menciptakan tembok pelindung antara mereka dan musuh.

“Bagus, Mira!” Soren berteriak, melepaskan anak panah ke arah makhluk yang lain, menembus jantungnya.

Evano bertarung dengan penuh semangat, pedangnya berkilau saat dia memotong makhluk yang mendekat. “Jangan biarkan mereka mengelilingi kita!” teriaknya.

Mira dan Evano bergerak selaras, satu sama lain mendukung dengan serangan yang terkoordinasi. Meskipun ketegangan memuncak, mereka berusaha untuk tetap fokus. Setiap makhluk yang jatuh menambah kepercayaan diri mereka.

Akhirnya, dengan satu serangan terakhir dari Evano, makhluk terakhir terjatuh, tubuhnya membentur tanah dengan keras. Keheningan mendalam menyelimuti mereka, hanya suara napas berat yang terdengar.

“Kita berhasil… untuk sementara,” Soren berkata, menarik napas dalam-dalam. “Tapi ini baru permulaan. Kita harus bergerak sebelum yang lain datang.”

Mira memandang ke sekeliling, merasakan kegugupan di dalam hatinya. “Kita harus cepat, kita tidak bisa memberi mereka waktu untuk memanggil yang lain.”

Mereka melanjutkan perjalanan, kini dengan lebih berhati-hati, menyadari bahwa mereka telah memasuki wilayah yang sangat berbahaya. Hutan yang tenang sebelumnya kini terasa seperti perangkap, dengan setiap suara dan bayangan menambah ketegangan.

“Mira, kau harus terus fokus,” Evano berbisik, menatap matanya dengan penuh perhatian. “Kita hampir sampai.”

Hutan semakin gelap, dan saat mereka mendekati lokasi artefak, mereka dapat merasakan energi gelap yang mengalir di sekitar. Setiap langkah terasa lebih berat, dan Mira merasakan tekanan yang tidak biasa, seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres.

“Ada sesuatu di depan,” Soren berkata, menghentikan langkahnya. “Aku bisa merasakan kekuatan gelap.”

Mira mengangguk, jantungnya berdebar. “Kita sudah sangat dekat. Kita harus tetap bersatu.”

Saat mereka melangkah maju, mereka tiba di sebuah clearing yang dikelilingi oleh batu-batu besar. Di tengah clearing, ada altar kuno yang berlumur darah, dan di atasnya, artefak yang mereka cari bersinar dengan cahaya misterius. Namun, aura gelap yang menyelimuti tempat itu membuat Mira merasa sangat tidak nyaman.

“Itu dia,” kata Soren, menunjuk ke artefak. “Tapi hati-hati, ada kemungkinan makhluk-makhluk lain sudah menunggu kita di sini.”

“Baiklah, kita harus cepat,” Evano bersiap, mengambil posisinya. “Mira, kau siap?”

“Ya,” jawab Mira, bertekad. “Kita tidak akan membiarkan mereka mengambilnya.”

Mereka berbaris, siap menghadapi ancaman yang ada di depan. Ketika langkah mereka semakin dekat, suara gemuruh bergema dari dalam hutan, dan bayangan mulai berkumpul di sekitar mereka. Kegelapan semakin mendekat, dan mereka tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan.

“Mari kita ambil artefak itu!” teriak Soren, dan dengan itu, mereka melangkah maju untuk menghadapi kegelapan yang mengancam di hadapan mereka, bersiap untuk pertempuran yang akan menentukan takdir mereka.

Mira, Evano, dan Soren berhadapan dengan ancaman yang semakin mendekat. Kegelapan di sekitar mereka tampak hidup, bergerak-gerak seperti gelombang bayangan yang siap menerkam. Dalam hati Mira, rasa takut dan tekad saling beradu. Dia tahu, mereka tidak bisa mundur sekarang.

“Siap?” tanya Evano, suaranya tenang meskipun situasi semakin genting.

“Siap,” jawab Mira, berusaha menyembunyikan kegelisahan di dalamnya. Dia merasakan energi phoenix dalam dirinya, menyala seperti api yang tak bisa dipadamkan.

Soren, yang berdiri di tengah, memimpin dengan mantap. “Kita akan bertarung untuk mendapatkan artefak itu. Jika kita bisa mengambilnya, kita bisa menghentikan Kuil Kegelapan.”

Mira mengangguk, menatap ke arah altar yang dikelilingi aura misterius. Artefak itu bersinar, seolah memanggil mereka. Namun, di antara kilauan cahaya itu, ada sesuatu yang lebih gelap, menunggu untuk menyerang.

Dari dalam bayangan, makhluk-makhluk gelap mulai muncul, sosok-sosok menyeramkan dengan mata merah menyala. Mereka melangkah ke depan, siap menyerang.

“Sekarang!” teriak Soren, melepaskan anak panah ke arah salah satu makhluk. Anak panah itu melesat dan tepat mengenai sasaran, makhluk itu terjatuh.

Evano tidak tinggal diam. Dia melompat maju, pedangnya bersinar saat dia memotong makhluk lain yang berusaha mendekat. “Jaga dirimu, Mira!” teriaknya, fokus pada pertarungan.

Mira merasakan panas membara di tangannya. Dia mengumpulkan energi, melepaskan gelombang api ke arah makhluk yang mendekat. Api itu membakar makhluk tersebut, membuatnya terjerembab ke tanah. “Ini semua karena kita harus menghentikan mereka!” serunya, berjuang melawan rasa takutnya.

Kehidupan di sekitar mereka berputar menjadi kekacauan. Suara jeritan makhluk dan dentingan senjata memenuhi udara. Soren, Evano, dan Mira berkoordinasi dengan baik, saling melindungi satu sama lain. Setiap makhluk yang jatuh memberi mereka sedikit kepercayaan diri.

Namun, mereka tahu bahwa ini baru permulaan. Dari kedalaman hutan, lebih banyak makhluk gelap mulai muncul, seolah jumlah mereka tak ada habisnya.

“Kita harus segera mengambil artefak itu!” Soren berkata, menarik napas dalam-dalam dan bersiap untuk melawan lebih banyak musuh. “Jika kita bisa sampai ke altar, kita mungkin bisa menghentikan mereka.”

“Lakukan dengan cepat!” Evano menambahkan, memotong makhluk lain yang mendekat. “Mira, kau di belakangku!”

Mira berlari, mengikuti Evano, dengan jantung berdebar keras. Mereka berusaha mendekat ke altar, tetapi makhluk-makhluk itu terus menyerang, berusaha menghentikan mereka dengan segala cara.

Soren dan Evano bertarung dengan gagah berani, tetapi jumlah makhluk itu semakin banyak. “Mira, sekarang!” seru Soren, memberi tanda untuk menyerang.

Dengan cepat, Mira mengumpulkan semua kekuatan di dalam dirinya, memusatkan energi phoenix-nya. Dia melangkah maju, membakar semangat yang ada dalam dirinya, dan melepaskan serangan api yang besar ke arah makhluk-makhluk gelap itu.

Api menyala dengan megah, menerangi clearing dan membakar semua yang ada di jalurnya. Makhluk-makhluk itu berteriak, terjatuh satu per satu di hadapan kekuatan Mira. Akhirnya, ruang di sekitar altar mulai kosong.

“Sekarang, ambil artefaknya!” Evano teriak, bersiap untuk menyerang lagi jika ada musuh yang mendekat.

Mira berlari ke arah altar, tangannya terulur menuju artefak yang bersinar itu. Begitu jarinya menyentuh permukaan dingin artefak, sebuah gelombang energi mengalir ke seluruh tubuhnya. Dia merasakan kekuatan luar biasa masuk ke dalam dirinya, seolah artefak itu membangkitkan potensi sejatinya.

“Tapi hati-hati!” Soren memperingatkan. “Energi itu bisa menarik perhatian makhluk lain!”

Mira menarik napas dalam-dalam, merasakan getaran energi di sekelilingnya. “Kita harus pergi sekarang!” serunya, menyadari bahwa waktu mereka semakin sedikit.

Namun, saat mereka bersiap untuk meninggalkan altar, makhluk-makhluk gelap yang tersisa kembali menyerang dengan penuh amarah. Kegelapan yang mengancam terasa semakin kuat, dan Mira tahu mereka harus melawan dengan sekuat tenaga.

“Lindungi Mira!” Evano berteriak, melindungi Mira dengan tubuhnya, berjuang melawan gelombang makhluk yang datang. Soren bersiap di samping mereka, membidik setiap makhluk yang mencoba mendekat.

Mira merasa semangatnya terbakar. Dengan kekuatan baru yang dia rasakan, dia mengeluarkan energi phoenix-nya lagi. “Kita tidak akan mundur!” teriaknya, mengeluarkan gelombang api besar yang membakar semua makhluk di sekitarnya.

Dengan satu serangan terakhir, mereka berhasil mengalahkan makhluk-makhluk gelap yang tersisa. Keheningan sejenak menyelimuti clearing, hanya suara napas berat yang terdengar.

“Apakah kita berhasil?” Soren bertanya, melihat ke sekeliling dengan hati-hati.

Mira mengangguk, masih merasakan detak jantungnya berdebar. “Kita harus pergi sebelum mereka kembali.”

Mereka bergerak cepat, menyusuri jalan keluar dari clearing. Dengan artefak di tangan dan kekuatan baru yang dia miliki, Mira merasakan harapan tumbuh dalam dirinya. “Kita bisa menghentikan Kuil Kegelapan!” katanya, bertekad.

“Ya,” Evano setuju, menatap Mira dengan penuh keyakinan. “Sekarang kita memiliki senjata untuk melawan mereka.”

Soren mengangguk. “Tapi kita harus tetap waspada. Ini baru permulaan. Kegelapan mungkin sudah mendekat.”

Dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan, siap menghadapi semua tantangan di depan mereka. Kegelapan mungkin mengintai, tetapi cahaya harapan dan tekad mereka bersinar lebih terang dari sebelumnya. Bersama-sama, mereka bertekad untuk melawan semua ancaman dan melindungi dunia dari kegelapan yang mengancam.

1
Yurika23
aku mampir ya thor....bagus ceritanya..penulisannya juga enak dibaca...lanjut terus Thor..
Yurika23: gak membingungkan kok kak...semangat terus...
Revanya Arsella Nataline: iya, makasih
maaf kalau agak membingungkan
total 2 replies
Afiq Danial Mohamad Azmir
Tidak sabar untuk mengetahui bagaimana kisah ini akan berakhir. Semangat thor! 💪
Revanya Arsella Nataline: makasih, maaf kalau kurang nyambung
total 1 replies
Ngực lép
Semoga semangatmu selalu terjaga agar bisa sering nulis, thor 💪
Revanya Arsella Nataline: makasih, semoga suka dengan ceritanya soalnya masih pemula
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!